16 Chapter 15

Keesokan harinya, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka berdua, Rui dan Aldo. Bahkan, seorang anak laki-laki tengah bermain di meja makan, sembari disuapin oleh pembantu rumah tangga juga tidak digubrisnya.

Aldo seperti biasa, setelah sarapan dia langsung berangkat kerja. Melihat putra kecilnya masih belum selesai makan, mau tak mau dia menunggu. Jika dilihat lebih lama wajah putranya, tentu dia tidak akan melibatkan permasalahan hubungan keluarga sendiri.

Rui, sendiri pun membisu. Dia ingin mengajak bicara dengan Aldo. Tapi, melihat sikap Aldo masih mendiaminya, dia pun mengurungkannya.

"Ayo, Nak Albert. Dua suap lagi habis. Kasihan Papa sudah menunggu," bujuk pembantu itu agar Albert mau menghabiskan sarapannya.

Albert tetap tidak membukakan mulutnya. Walaupun di mulutnya masih ada nasi belum dia telan. Dia malah keasyikan bermain mobil-mobilan pemberian dari Claudia.

Rui bangkit dari duduknya, dan mencoba membujuk putranya. Rui berharap kalau putranya mau menuruti kata-katanya. Dia tidak ingin melihat Aldo mendiami karena tidak bisa mendidiknya putranya sendiri.

"Sini biar saya yang suapi, Albert. Bibi lanjut pekerjaan saja!" ucap Rui kepada pembantunya.

"Tapi, Bu?"

Mau tak mau pembantu itu serahkan pada majikannya, dia pamit melanjutkan pekerjaannya tersebut.

Rui menghela kemudian berusaha beri senyuman manis kepada putranya, walau dia kesulitan untuk membujuk putranya untuk menyelesaikan sarapan.

"Sayang, ayo satu suap lagi, habis sarapan nanti Mama bawa kamu ke ...."

"Ke rumah tante Monika?" Albert langsung menjawab sembari menatap Rui penuh harap.

Aldo masih membaca surat kabar pasti mendengar jawaban dari anak laki-laki itu. Rui langsung bungkam setelah perkataannya dipotong oleh putranya sendiri. Pasti Rui merasa jengkel di pagi buta ini. Tetapi Rui berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mudah emosi, meskipun putranya masih mengujinya.

"Kok Mama diam?" Albert kembali bertanya, Rui dapat melihat kedua mata putranya mulai berkaca-kaca.

"Nan--"

Rui baru akan membuka suara, sikap Albert memberontak, semua mainan di depannya dia buang. Tetiba menangis, menjerit, Aldo diam di tempat tidak sedikitpun mencoba menenangkan putranya.

Rui meletakkan sarapan putranya, sekali lagi mencoba menenangkan Albert. Dengan cara apa pun Rui membujuk sembari dengan cara berbeda tetapi tidak untuk ke rumah Monika.

"Kok dibuang semua mainannya? Kasihan mereka, Mama capek-capek beli masa kamu tega rusaki mereka? Nanti Mama tidak mau beli mainan baru lagi buat Albert!" ucap Rui dengan nada ramah.

Tetapi siapa yang bisa menghentikan seorang anak laki-laki berusia lima tahun itu. Watak begitu keras, mudah emosional jika permintaan tidak dituruti.

"ALBERT MAU KE RUMAH TANTE MONIKA! ALBERT NGGAK MAU MAINAN BARU!" Suara Albert semakin menggila, menggema setiap sisi rumah mereka.

Pembantu di rumah ini pun, tergopoh-gopoh untuk membantu menenangkan putra majikannya. Tetapi Rui menghadangnya, dia harus bisa menenangkan putranya sendiri. Meskipun kesabaran dia miliki sudah di atas ubun-ubun kepalanya.

Bahkan Rui sempat melihat suaminya tidak membantu untuk menenangkan putranya. Ya, Rui tahu diri tidak akan meminta bantuan apa pun. Karena dia yakin bisa mendidik putranya, darah dagingnya.

"Tapi, Bu ..." Pembantu itu bersikeras untuk membantu, Rui tidak menanggapi.

Albert terus memberontak, hingga mainan dia lempar ke sana ke mari, mengenai wajah Rui. Rui meringis ketika wajahnya mengenai benda mainan itu.

Kesabaran Rui pun membludak, dia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Dengan keemosiannya, dia pun beranjak dan menyeret putranya ke gudang. Albert semakin histeris atas perilaku dari Rui. Pembantu itu panik, dia takut jikalau putra majikannya dianiaya oleh mamanya sendiri.

"Bu, Bu! Sudah, Bu!" Pembantu itu berusaha melerai emosian Rui.

"Diam! Jangan ikut campur! Anak ini harus diberi pelajaran!" sergah Rui membentak pembantu itu.

Aldo masih setia di tempat, dia sudah biasa dengan sikap istrinya setiap melihat putranya diperlakukan tidak baik. Untuk Aldo baginya bukan tugasnya. Dia menerima sebuah panggilan telepon dari kantor.

Pembantu itu berlari mendekati Aldo. "Pak! Saya mohon, Pak! Ibu Rui, Nak Albert!" Malahan Aldo tidak menggubris permohonan dari pembantunya, dia malah lebih pentingkan panggilan telepon itu.

Sementara di rumah Monika,  orangtua Monika sedang menikmati sarapan di meja. Suasana di rumah bagai kuburan, tak ada satu patah kata dari bibir mereka sendiri. Setelah percakapan kemarin, Santi pun tak akan berbincang-bincang panjang lebar dengan menantunya.

"Setelah sarapan ini, kami langsung pulang saja!" ucap Santi membuka percakapan pertama.

Monika langsung menunda suapan terakhir, terkejut dengan ucapan dari mamanya.

"Semalam Mama baru datang? Kenapa mendadak pulang lagi?" Monika bertanya, suasana kembali hening.

"Percuma Mama di sini, kalau sambutan kalian tidak dihargai," jawabnya meletakkan kedua sendok dan garpu di piring bersih. Kemudian beliau pun beranjak meninggalkan ketiga orang di meja makan itu.

Monika menatap punggung mamanya semakin tidak enak hati dengan beliau, dia pun ikut menyusul tetapi dicegah oleh Nico.

"Selesaikan dulu sarapanmu!" pintanya.

Monika melirih piringnya, dia kelupaan belum menghabiskan sarapannya, sedangkan papanya santai menyantap makanan sendiri.

Monika merasa mamanya tersinggung atas perkataan dari suaminya kemarin. Siapa tidak sakit hati dibalas dengan kata-kata lebih tua darinya. Untuk membujuk mamanya saja Monika harus berpikir kedua kalinya. Tidak mudah meluluhkan hati seorang ibu.

****

Setelah selesai makan, Monika mencoba membujuk mamanya untuk tidak pulang ke kampung. Hanya Monika yang bisa meluluhkan hatinya, dengan cara apa pun ia berusaha, karena hanya beliau yang ia selalu patuhi.

"Ma, inap beberapa hari lagi, ya! Soal ucapan Nico kemarin, jangan terlalu masuk ke hati. Dia memang begitu, bukannya Mama sudah tahu sifat-sifatnya?" ucap Monika lembut, meskipun cara bicaranya masih ragu-ragu.

Santi tetap memasukan bajunya ke dalam tas, beliau menghentikan kegiatan, dan melirih putri satu-satunya. Monika bertepatan dalam posisi menunggu mamanya menjawab.

"Untuk apa? Kamu tahu, Mama datang jauh-jauh ke sini ingin lihat perkembangan kamu dengan suami kamu. Tetapi apa yang Mama dapatkan dari jawaban menantu tidak tahu berterimakasih? Menyetujui pernikahan denganmu atas permintaan neneknya. Jikalau bukan neneknya memohon, Mama juga ..." Santi menjeda kata-kata tetiba Nico di depan pintu kamar untuk meminta maaf. Tetapi mendengar pengakuan dari mertuanya membuat hati Nico terombang-ambing. Dengan cepat Monika ikut menoleh, pasti akan terjadi hawa panas lagi.

Nico malah pergi dari kamar itu, untuk meminta maaf kepada mama mertua pun hilang setelah apa yang ia dengar tadi. Santi tidak peduli atas sikap angkuh dari menantunya, malah beliau melanjutkan perkataannya. Bahkan, beliau semakin menjadi omelan agar Nico mendengar atas kebenaran yang diucap oleh mertuanya.

"..., lihat itu! Begini sikap menantu terhadap mertuanya? Kamu masih mau suruh Mama menginap di rumah ini sambil melihat wajah angkuh seperti dia? Mama menyesal menikahi kamu dengan pria seperti dia. Jika bukan karena nenek Gwen memohon pada Mama! Mama juga tidak akan pernah sudi menerima hakekat dari orang lebih tua dari Mama!"

Nico tentu mendengar sangat jelas, bahkan Monika sendiri berusaha untuk meredakan suasana panas di rumah ini.

"Ma! Sudahlah, masalah yang lalu jangan diungkit-ungkit lagi. Kalau sudah terjadi apa yang harus Mama ubah? Ini sudah takdir, Ma! Bukankah Mama juga mendesak aku menikah?" Kali ini Monika yang berbicara tegas, walau beliau terbawa tidak suka atas sikap putrinya sendiri.

"Ya, Mama memang paksa kamu menikah dengan dia. Tidak dengan cara perlakukan kamu seperti pembantu! Kamu pikir Mama tidak tahu apa yang dilakukan oleh suami kamu sendiri? Selama kamu menikah, apa pernah kamu pulang  melihat keadaan Mama dan Papa kamu? Pernah menelepon bertanya bagaimana keadaan kami?"

Monika tidak bisa menjawab, ia pun bingung untuk memberi jawaban tepat untuk mamanya. Sedangkan Nico lebih sibuk dengan ponselnya. Santi yang melihat pasangan suami istri ini pun bisa mengembus dalam-dalam.

"Kamu sendiri tidak bisa menjawab, bagaimana dengan Mama? Mama di luar belanja, setiap kali bertemu dengan para tetangga. Mendengar ocehan tidak penting, bahas cucu mereka, bahas anak mereka, bahkan tanya hubungan kalian berdua? Mama sendiri menyesal menyetujui kamu menerima pria seperti dia, hanya pentingkan ego sendiri! Mama setiap kali datang ke kantor hanya ingin tahu keadaan kamu, jika bukan kamu putri Mama satu-satunya, mungkin Mama tidak akan anggap kamu itu putri kandung Mama lagi!" Santi berpanjang lebar menceramahi Monika dan Nico.

Nico masa bodoh dengan ucapan mertuanya, tidak ada kaitan dengannya meskipun terdapat rasa jengkel pada dirinya sendiri. Nico pun bangkit dari duduknya setelah selesai melihat ponsel miliknya.

"Kalau rasa Mama tidak bahagia aku menikah dengan putrimu, tinggal tinggalkan surat cerai. Lalu Mama tinggal cari saja pengganti suami lebih menguntungkan untuk putrimu!" ujarnya berlalu pergi dari rumahnya.

Santi tertohok atas ujaran menantunya, "Kamu!" Monika langsung menahan mamanya untuk tidak melanjutkan panas ini. Semakin dibahas, akan semakin panjang permasalahan rumah tangga mereka.

"Lihat! Lihat sikapnya! Begini yang kamu bilang ke Mama dia akan berubah setelah menikah dengan kamu! Mungkin dia akan berubah setelah Mama mati di depannya!" emosinya membuat hati Monika tabah.

Untung saja ayahnya di luar, jadi tidak mendengar pertengkaran singkat ini. Entah apa yang akan terjadi jika ayahnya melihat sikap Nico terhadap mamanya.

****

Semoga kalian suka. Ini cerita dialog, tak ambil dari kisah pribadi sendiri :)

Semoga aja pernah kalian alami 😄

Vote + komentar kalian.

avataravatar
Next chapter