14 Chapter 13

Tiba di rumah, Fera merebahkan diri ke sofa, sedangkan Claudia dibawa oleh Chandra masuk ke kamarnya. Fera mengelus-elus perut yang membesar.

Chandra keluar dari kamar putrinya dan mendapatkan istrinya tengah bersantai sembari memainkan gadgetnya. Fera masih belum melupakan kejadian di mal tadi, ia tidak habis pikir dengan sikap istrinya Aldo.

"Ini minum dulu, bagaimana? Masih sakit?" Chandra berikan teh hangat untuk Fera, dan bertanya keadaan istrinya. Chandra benar-benar sangat khawatir akan  kehamilan yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

Rasanya Chandra ingin memaki wanita yang tega mendorong istrinya begitu keterlaluan. Untung tempat berada di keramaian tentu ia sendiri tidak ingin membuat putri kecilnya, Claudia kaget atas perilakunya.

Fera senyum manis dan bersandar di bahu suaminya itu sambil mengelus perut yang membulat. "Tidak apa-apa, sudah lebih baik, kok. Terima kasih, ya!" jawabnya pelan dan lembut.

Chandra juga mengelus perut istrinya, dapat ia rasakan penggerakkan di dalam perut itu. Tiga bulan lagi, akan bertambah penghuni baru di sini. Chandra tidak bisa pungkiri, jika melihat putri kecilnya, Claudia---bahagia menjadi seorang kakak.

"Terima kasih untuk apa?" Chandra bertanya lagi sembari mengecup rambut kepala istrinya.

"Terima kasih sudah menjadi suami sempurna, dan sabar menjaga serta melindungi ku hingga sekarang. Kamu tau, aku bangga punya suami seperti mu. Seandainya dulu tak ada perjodohan di antara aku dan kamu. Mungkin, aku akan bertemu dengan orang-orang tidak bertanggung jawab dan juga akan mengalami hal serupa seperti di mal," ungkapnya menatap Chandra begitu sendu.

Chandra tentu membalas tatapan istrinya, tidak lupa berikan kecupan hangat. Sebagai suami sudah tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Sebagaimana pun, Chandra tetap akan menjaga dan membangun hingga napas berhenti tak dapat berikan embusan untuk beban hidupnya.

"Kenapa bicara seperti itu? Ini sudah takdir dari atas. Kamu harusnya bersyukur. Jika aku tidak dipertemukan denganmu. Mungkin nasibku akan serupa dengan kejadian tadi, aku juga bangga memiliki istri yang dulu keras kepala, bandel, tidak suka dibilangin, suka berfoya-foya. Pada akhirnya kamu bisa mengubah hidupmu sendiri."

Fera kembali bersandar di depan dada bidang suaminya. Meskipun tidak berotot lagi, tetap saja Chandra tetaplah Chandra, yang selalu Fera cintai hingga hayatnya.

*****

Di rumah bertingkat lantai dua, Monika dan Nico sudah dua jam lebih berdiam di tempat tanpa ada satu kata yang keluar dari mulut mereka masing-masing.

Monika sekali lagi melirik suaminya, Nico sedang sibuk dengan laptop di pangkuan amat serius. Sejak di mal, sikap Nico berubah delapan puluh lima derajat.

Perasaan Monika tidak nyaman, ia ingin bertanya namun takut Nico akan memarahinya. Di saat Nico sedang mengerjakan sesuatu, disaat itu pula Monika ingin bertanya satu hal. Ia risau memikirkan Albert.

"Ada apa? Katakan saja, tidak perlu kamu melihatku seperti. Jika kamu ingin bertanya, tanya saja. Aku siap mendengarkan?" ucap Nico mengejutkan Monika sedari tadi bisu, dan diam-diam mencuri pandangan ke suaminya.

"Eh ... itu ... Aku hanya ingin ... tidak jadi. Lanjut saja pekerjaanmu. Aku ke kamar dulu, setelah itu ku siapkan makan malam untukmu." Monika beranjak dari duduknya, lalu menuju ke kamar.

Nico mendongak dan menutup laptop di pangkuannya, kemudian melepaskan kacamata bertengger di hidungnya berjam-jam.

Ia menghela sembari memijit pangkal hidungnya. Ia menatap langit rumahnya. Ya, Nico sengaja meminta istrinya pulang ke rumah dan tidak melanjutkan kembali jalan-jalan ke mal. Sementara nenek Gwen terpaksa Nico antar ke rumah bibi Rika.

Ia pun menyusul ke kamar, saat pintu itu tak dikunci oleh Monika. Seketika Monika menoleh dalam keadaan untuk berganti baju. Sontak Monika terdiam di tempat, dan Nico tidak menghiraukan. Ia tetap akan masuk.

"Aku ... hanya ingin meletakkan laptop dan kacamata ..." ucapnya gugup, ada apa dengan Nico?

Monika selesai berpakaian, ia pun segera untuk ke kamar mandi. Namun Nico mencegahnya, "Maaf."  Monika langsung menoleh, dan mengernyit atas apa yang ia dengar dari mulut suaminya. 'Maaf'

"Untuk?"

Kembali Monika bertanya, ia tidak tau maksud arti kata 'Maaf' setau Monika, suaminya paling anti soal ucapan empat huruf itu. Meskipun dia selalu melakukan kesalahan, tidak pernah mengucapkan kalimat itu. Selama dua tahun bukan hal mudah untuk Monika memahami sifat-sifat pria egois seperti Nico. Walau pun di pernikahannya yang tidak memberi rasa kebahagiaan baginya cukup dengan kesibukan sehari-harinya.

"Cepatlah mandi, aku sudah lapar. Jangan buat aku marah atas lambat mu?!" ujarnya meninggalkan kamarnya.

Monika semakin mengernyit dan bingung atas sikap suaminya akhir-akhir ini. Bahkan Monika menghela kasar, tidak cukup dirinya membuat keluarga sepupunya mencari keberadaan dirinya. Belum lagi dengan seenak dirinya pulang tanpa pamit. Apalagi mengantar nenek Gwen ke rumah bibi Rika.

Rasanya Monika ingin memaki suaminya sendiri. Akan tetapi, buat apa mengurus tipe pria seperti Nico. Buang-buang tenaganya, lebih baik gunakan untuk hal yang lebih penting.

Nico mengempaskan badannya di sofa, ia mengusap wajahnya begitu kasar. Helaan napas yang berat seakan frustrasi. Membayangkan tubuh istrinya di kamar saat ia membuka pintu kamarnya.

"Ada apa denganmu, Nico? Dia istrimu, istri resmi?" batinnya

Dia kembali melamunkan ke masa-masa berjumpa dengan Monika ketika akan melamarnya dalam perjodohan mendadak. Perjodohan secara terpaksa bukan karena adanya ia tertarik dengan Monika.

Dua tahun pernikahan bukan hal wajar bagi Nico dan Monika. Jika dilihat larut wajah istrinya saat menginap di rumah Rui. Ada rasa gusar di benaknya.

Deringan ponsel Nico bergetar, dirogoh dan melihat layar terpampang nama kontak. Mama mertua

"Ya, halo, ma?" sapa Nico sopan.

Derapan kaki terdengar oleh Nico, Nico menoleh, ternyata Monika sudah selesai mandi. Tetap saja cantik walau tanpa make up. Ia masih melirih istrinya hingga ke dapur.

Entahlah, Nico saat ini ingin melihat istrinya terus-terusan. Apakah karena kejadian ia cemburu melihat chat-chat dari Aldo?

"Hah! Ya, ma?" Nico tidak fokus dengan telepon dari mamanya Monika.

"Baik, ma. Besok Nico jemput. Tidak perlu, ma." Nico mengakhiri panggilan telepon dan beranjak ke dapur untuk memberitahukan kepada istrinya bahwa orangtuanya akan datang ke rumah untuk berkunjung.

Melihat kesibukan istrinya di dapur, sejak pembantu rumah tangga pulang kampung. Jauh berbeda dari biasanya. Monika masih tetap sama tidak pernah meninggalkan pekerjaan rumah meskipun pulang selalu malam.

"Besok mama dan papa akan datang ke rumah ini. Aku harap kita tidak bersikap seperti ini. Jika kamu tidak ingin ditegur oleh mama dan papa mu," ucap Nico bersuara dari tadi memperhatikan Monika mengiris wortel.

Monika tidak menanggapi, ia sudah tau. Karena mamanya tadi menelepon sebelum akan mandi.

****

Vote + komen buat uda nunggu

avataravatar
Next chapter