1 Joseph, Anna dan James

Pria itu menatap wanita yang berdiri di hadapannya dengan pandangan menilai. Kaki jenjang dengan badan yang langsing serta warna kulit yang sexy. Tapi begitu pria itu melihat biodata di genggamannya, ia menggeleng pelan. Tangannya membuat gerakan seolah mengusir.

"Terlalu tua. Next!"

Wanita selanjutnya, "Terlalu putih. Ganti."

Lalu pria itu terkekeh pelan begitu melihat wanita selanjutnya, "Kau kurang tinggi. Sana-sana!"

"Ya Tuhan, Josh!"

Adam mengerang lalu menatap sahabatnya jengah, "Sebenarnya kau ini ingin model yang seperti apa?"

"Begini Adam," Pria itu-Joseph-melepas kacamatanya, "Tinggi, eksotis, dewasa, dan sexy. Itu yang kubutuhkan."

"Lalu wanita pertama tadi? Dia sudah memenuhi semua kemauanmu itu."

"Ah ya, aku juga ingin yang masih muda."

"Lalu kenapa tidak memakai Kyle Jenner saja sih? You wasted your time."

"No-no." Joseph menggeleng, "Aku ingin wajah baru."

"For god sake Joseph Chritian! Banyak mau sekali dirimu."

"Well," Joseph mengangkat bahunya acuh, "I'm the boss anyway."

Fuck. Adam ingin sekali melempar sepatu ke wajah sombong sahabatnya ini.

"Sudahlah." Adam berdiri merapikan jasnya, "Besok akan aku carikan lagi. Aku pergi."

"Hm."

"Setidaknya katakan terima kasih, bangsat!"

*

Gadis itu menjerit takut. Wajahnya basah dengan rambut yang berantakan. Matanya membengkak karena terlalu lama menangis.

Ia menjerit begitu tubuhnya di lempar ke ranjang. Ia ingin segera bangun jika saja pria itu tidak langsung menindih tubuh kecilnya.

Demi tuhan, ia sungguh merasa jijik.

Takut.

Dan khawatir.

Sebab pria yang sedang menindihnya ini adalah kakak kandungnya sendiri.

"Demi tuhan, James! Stop!!"

"Oh come on, honey,"

James tertawa kecil. Begitu senang melihat wajah ketakutan adik masnisnya.

"Jangan membuatnya menjadi sulit, hum. Cukup diam dan nikmati saja."

Ariana Petrova -gadis itu-menjerit. Ia menangis begitu merasa lidah James menyentuh leher dan cuping telinganya. Tangannya terus memberontak walau percuma karena dicekal oleh lengan kuat James.

Ia menjerit. Tidak perduli bahwa tenggorokannya sudah sakit dan suaranya habis. Demi tuhan, James itu kakaknya.

"Kumohon, James!" gadis itu terisak sedih. "Kumohon jangan lakukan ini padaku."

James menaruh jarinya di bibir Anna, "Ssssttt. Jangan menangis, honey."

"Kumohon, hiks. Kumohon."

James menatap adiknya yang juga menatapnya dengan tatapan mengiba. "Please James, I begging you. Don't do this to me."

"Okay." James mengangkat alisnya dan tersenyum miring, "Then kiss me."

Ia tidak mau. "James..." lirihnya.

"Hm?" nadanya melembut. James menarik tubuh adiknya agar terbangun dan mengurungnya dengan kedua kakinya. Ia dengan telaten mengusap air mata di wajah gadis itu dan merapikan rambutnya dengan jari tangannya.

"I can't."

"Why?"

"Kita bersaudara James. Kita tidak bisa--."

"I don't care." James menyela Anna dan menatapnya tajam. "C'mon, I'm waiting."

"Tapi--"

"Atau kau lebih suka aku melanjutkan hal yang tadi, hm?"

Anna sontak menggeleng keras. Tubuhnya tidak bisa bergerak leluasa karena kungkungan kakaknya. Ia berusaha menghindari tulang keringnya agar tidak terus-terusan bersentuhan dengan kejantanan James yang for god sake-terasa keras.

"Kiss me, Anna. Jangan membuatku mengulanginya lagi."

Anna mengangkat wajahnya. Menatap James yang memang lebih tinggi darinya. Kedua tangannya menyentuh pipi tirus kakaknya itu. James bisa merasakan kalau tangan Anna bergetar. Tapi ia tak perduli. Ia lebih berfokus pada degupan kencang di dadanya karena tak sabar ingin merasakan bibir adiknya.

"JAMES! ANNA! WE'RE HOME!!"

"Fuck!"

James mengumpat pelan begitu mendengar suara ibunya yang berada di lantai bawah. Ia menatap Anna yang sepertinya terlihat bahagia, terbukti dengan matanya yang berbinar dan senyumnya melebar.

Ya tentu saja bahagia, bodoh. Ia bisa terlepas dari pria gila sepertimu James.

"Baiklah. Kau bebas, sayang. Mungkin aku akan mengambil kesempatan lain kali."

James berdiri ia mengambil celana panjang miliknya yang berceceran di lantai. Lalu memakainya dengan santai. Pria itu bertingkah seolah dia tidak melakukan apapun sebelumnya.

"Basuh wajahmu dan bereskan pakaianmu, honey. Aku akan menyambut ibu di depan."

Anna mengangguk, perlahan bangkit dan menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamarnya. Ia bisa mendengar suara pintu ditutup pertanda kakaknya sudah keluar dari kamarnya.

Tubuh Anna merosot di pintu kamar mandi. Ia menunduk. Menekuk lututnya dan menempatkan wajahnya di lipatan tangan. Anna menangis. Merasa kotor dan jijik terhadap dirinya sendiri karena telah di sentuh kakaknya.

Ya tuhan, kapan ini berakhir...

*

*

*

To be continue...

avataravatar
Next chapter