webnovel

Murid Baru

Dunia mengandung banyak unsur teka-teki. Hanya perlu menjalaninya dan mencari jalan keluarnya.

Gadis dengan rambut cokelatnya yang tergerai bebas sejujurnya bingung akan jalan hidupnya. Ia belum menemukan hari terindah di kehidupannya. Setiap hari hanya kesialan yang dia terima. Hobi masuk ke Bk, membolos, berkelahi, bahkan terkadang merokok.

Alby menumpukkan kedua kakinya di atas meja yang terjajar rapi di kantin sekolah. Dua batang rokok telah lenyap dihisap olehnya. Ia hanya merokok di saat kondisi tengah kacau. Hanya itu. Selebihnya tidak.

Sang penjaga kantin tidak heran dengan perilaku Alby, toh sudah biasa. Membolos jam pelajaran? Tak usah ditanyakan lagi. Itu keahlian Alby Alexandra.

Alby menghembuskan asap rokoknya ke udara hingga menyebar ke seluruh ruangan kantin yang tidak seorang siswa pun ada di sana, kecuali penjaga kantin.

"Bosen hidup."

Sang penjaga kantin hanya menggelengkan kepala saat tidak sengaja mendengar gumaman dari anak murid itu.

"Jangan bilang kayak gitu. Masa depan kamu masih panjang, dan kamu belum nikah."

Begitulah ucapan Nyak— Si penjaga kantin. Alby membuang puntung rokoknya yang sudah habis ke dalam piringan kecil yang disediakan. Ia hendak mengambil kembali rokok dari bungkus, tapi tangan Nyak menghalanginya.

"Kalau mau pikiran tenang berdoa sama Tuhan. Pelampiaskan amarahmu kepada-Nya. Bukan ke rokok. Itu malah akan membunuhmu."

Alby terkekeh kecil. "Emang gue pengen mati, Nyak. Bosen hidup gini-gini aja. Nggak ada yang nyenengin."

"Nih, Nyak. Makasih."

Gadis itu meletakkan lembaran uang di meja. Setelahnya, ia melesat pergi. Nyak yang sudah terbiasa melihat kelakuan gadis itu hanya menghela napas pelam.

"Semoga dia cepat sadar kalau banyak hak yang belum dia temui."

***

Indra perabanya merapikan beberapa buku di atas meja untuk dimasukkan ke dalam ransel. Usai itu, ia melesat pergi. Keluar dari ruangan kelas yang telah sepi.

"Kak!"

Teriakan melengking dari balik punggung membuat pria itu membalikkan tubuhnya, mendapati sesosok gadis yang berlari menuju kepadanya. Sang empu hanya mendengus kesal. Gadis cerewet yang notabene-nya sebagai siswi kelas sepuluh selalu menghampirinya setiap hari. Namun, pria itu tak mempedulikan. Ia lebih memilih untuk membalikkan tubuh dan berniat pergi meninggalkan.

"Kak Devon!"

Devon berdecak kuat saat tangan siswi tersebut berusaha menahannya. Ia dengan cepat menghempaskan. Lalu, terpaksa membalikkan tubuh dengan wajah yang kurang mengenakkan.

"Gue nggak mau nerima kotak itu, ngerti?"

Hanya itu yang Devon ucapkan setiap hari, karena ia tahu jika gadis ini menemuinya pasti ada sesuatu yang akan diberikan. Devon tidak mengetahui nama gadis itu, bahkan ia tidak mengenalnya. Tapi, adik kelasnya selalu memberikan sebuah kado dengan isi yang berbeda. Dan dengan seenaknya berkata bahwa kado itu titipan dari seseorang penting dari hidup Devon. Apa Devon mempunyai orang seistimewa itu?

"Gue minta lo pergi sekarang!"

Gadis itu menggelengkan kepalanya. Pertanda, ia tidak mau pergi sebelum kotak itu berhasil diterima oleh 'penerima'.

"Nah. Bye!" Sang gadis pergi setelah meletakkan kotak yang ia bawa ke telapak tangan pria tampan di depannya.

Devon menatap lama kotak itu. Karena penasaran, ia membukanya seraya menghela napas. Padahal dalam hati dia tahu isi kotak tersebut karena sepanjang kotak yang Devon terima isinya selalu saja sama.

Deg!

Dugaannya tentang isi kotak itu salah besar. Devon mematung. Dunia seakan berhenti secara tiba-tiba. Netranya tak beralih dari sebuah kertas yang berada di tangannya.

"Nggak. Nggak mungkin."

***

Sepanjang perjalanan pulang, hanya hening yang mendominasi dua remaja ini. Alby bertanya dalam hati. Ia heran, biasanya seorang Devon Vincent sangat memperhatikannya. Tapi sekarang? Pria itu diam seribu bahasa. Tak berkutik sedikitpun. Kebungkaman pria itu membuat Alby penasaran, alhasil ia melirik ke arah wajah Devon dari samping. Diam dan nampak tenang. Jujur saja, ketampanan pria itu menjadi berlipat ganda saat tak banyak bicara.

Alby menggeleng-gelengkan kepala. Apa yang barusan ia pikirkan? Untung saja Sang empu tidak menyadari bahwa Alby sedaritadi menatapnya lama. Biasanya seorang Devon pasti akan terpesona melihat gadis pujaan memperhatikannya. Dan sekarang? Pria itu hanya diam layaknya patung hidup.

Karena terlalu lama diam dengan tatapan mata yang kosong, tanpa sengaja Devon hampir menabrak penjual yang berada di jalanan. Ia kontan menginjak rem, membuat Alby terkejut bukan main.

"Lo apa-apaan si! Mau bikin anak orang mati?!"

Devon mengerjapkan mata beberapa saat. Hanya tatapan datar ke arah jalanan yang ia tunjukkan, tanpa membalas ucapan dari Alby.

Akhirnya, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Hingga tidak terasa mereka sampai ke tempat tujuan—rumah Alby. Dalam hati, Alby masih tak percaya mengapa Devon berubah drastis seperti ini? Gadis itu masih diam di atas motor.

"Turun."

Alby mengerutkan keningnya saat Devon mengeluarkan suara. Pria itu benar-benar berubah hari ini. Alby mulai berpikir mungkin saja Devon sudah malas dengan dirinya, dan Devon tidak akan mengganggu kehidupannya lagi.

Gadis berseragam putih abu-abu itu melepas helm, lalu menyerahkan kepada pemilik. Tanpa menunggu Alby untuk memasuki rumah, Devon sudah melesat pergi menjauhi area perumahan. Pria itu hanya ingin cepat-cepat enyah dari hadapan Alby untuk saat ini. Ia tidak mau lukanya terlihat begitu saja.

"Please, jangan kehilangan untuk yang kedua kalinya."

***

Langit telah berangsur gelap. Lampu-lampu jalanan kembali menyala terang. Kendaraan pada kota masih berlalu-lalang. Gadis dengan kaos berwarna putih tengah melangkahkan kaki untuk pulang usai membeli brownies kesukaan mamanya. Namun, saat ia tepat melewati jalanan sepi. Sesuatu berhasil mengalihkan perhatian.

"Tolong ...."

"Tolong ...."

Rintihan itu jelas terdengar di telinga Sang gadis. Karena penasaran, ia mendekat ke arah suara itu. Tapi, beberapa detik kemudian dia membulatkan mata. Pasalnya, ada seorang wanita paruh baya tengah kesakitan memegang perut, terpapar lemah tak jauh dari posisinya. Dengan wajah yang pucat, juga rambut yang urakan, wanita itu merintih dengan memakai pakaian yang kumal.

Alby membekap mulutnya sendiri. Ia kaget dan bingung secara bersamaan. Apa yang harus ia lakukan?

Gadis itu berniat untuk melanjutkan langkah lagi, namun ia urungkan ketika seseorang lebih dulu menolong wanita paruh baya tersebut. Seorang pria keluar dari mobil hitam yang berhenti di depan sana. Alby tidak bisa melihat secara jelas wajah Si penolong, karena suasana malam itu sangat gelap.

Sedangkan Sang empu nampak khawatir dengan keadaan wanita yang ditemui. Lalu, membawa wanita itu masuk ke dalam mobilnya, dan melesat pergi dari posisi.

Alby pun menghela napas lega. Ia menjadi tidak risau karena ada orang baik yang menolong wanita paruh baya tadi.

Tapi mengapa hatinya merasa tidak rela meninggalkan wanita paruh baya itu?

***

Tak lama, ia telah sampai di rumahnya kembali. Namun, langkah dan tatapannya terhenti saat melihat mamanya yang tengah duduk menikmati udara malam di taman rumah.

"Hai, Ma," sapa Alby dengan lembut disertai kedua tangannya yang melingkar manis di leher Mamanya.

"Kamu kok lama, kenapa?"

Alby berpindah posisi ke depan Maya, lalu mengulum senyum. "Ada kendala baru dan di jalan, tapi nggak pa-pa, kok."

Maya mengelus puncak kepala anaknya dengan lembut. Matanya menurun ke arah pesanannya. "Ya sudah, ayo makan browniesnya. Kamu masuk duluan, nanti Mama nyusul," ujar paruh baya itu.

Alby pun ikut perintah. Ia melenggang pergi ke dalam rumah untuk menyiapkan wadah. Sedangkan Maya masih tetap dalam posisinya. Duduk dengan mata yang menatap hamparan langit malam yang luas. Nampaknya, tidak ada bintang berkelip seperti malam kemarin. Sudah berdiam diri di sini hampir satu jam, namun Maya belum menemukan titik tenangnya.

"Jangan sekarang, aku mohon."

02.30.

Meskipun buku yang di tangannya menemani waktu malamnya, entah kenapa pikiran khawatir datang pada dirinya soal wanita paruh baya yang ia temukan. Bahkan, Alby sudah berusaha agar perhatiannya teralih dengan membaca tiga buku sekaligus dalam satu malam. Namun, hasilnya tetap nihil. Alby sesekali terbangun dari mimpi buruknya.

Perlahan, ia memaksakan diri untuk memejamkan mata lagi. Namun, samar-samar suara yang menghantui mimpi mulai membuatnya terbangun kembali.

"Nak, tolong ibu."

"Aaaa!"

Alby menjerit histeris untuk ketiga kalinya. Untung saja sang Mama tidak terbangun. Ia terus dihantui oleh suara itu. Alby tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Sela beberapa menit, terdengar suara deraian air yang turun dari atas langit. Hujan kembali menumpahkan rasa rindunya ke bumi. Mengguyur belahan manapun hingga basah tanpa sisa.

Tapi satu yang harus kalian tahu. Selain ruang BK dan berjalan kaki yang Alby benci, ia juga membenci hujan. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Kebanyakan seseorang sangat menyukai Rahmat dari Tuhan tersebut, tapi tidak dengannya. Saat mendengar guyuran hujan, rasa sesak di bagian dadanya terasa sangat sakit.

Tes.

Tes.

Tes.

Alby membenci hujan. Ia menutup telinganya dengan bantal dan menutup wajahnya menggunakan selimut.

Perlahan buliran hangat keluar dari matanya. Turun ke seluruh area pipi. Memang sudah kebiasaan Alby yang menangis pada saat hujan turun. Ini yang Alby benci. Mengapa di saat hujan ia selalu menangis tanpa alasan? Sungguh, Alby muak. Sangat muak.

Ia semakin menutup telinganya rapat-rapat dengan bantal. Tangisnya mulai reda bersamaan dengan hujan yang mulai berangsur ke rintikan kecil. Dengan mata yang sembab, bibir gemetar, Alby mulai memejamkan matanya. Tenang.

***

Diam. Kau tak perlu banyak bicara. Cukup angin lalu yang membawa segala keluh kesahmu. Walau helaan napas keluar dari indra penciumanmu, tolong tahan dulu. Tunjukkan bahwa kau kuat.

Mentari pagi menyinari bumi seperti biasanya. Kicauan burung terdengar indah di indra pendengaran. Sinar yang menilik dari celah langut memberi kehangatan tersendiri bagi penikmatnya. Embun-embun mulai berjatuhan dari dedaunan tanaman. Udara terasa lebih sejuk dan membuat nyaman siapa saja yang menghirupnya.

Seperti halnya Alby. Gadis manis itu tengah menikmati suasana yang disajikan oleh semesta pagi ini. Alby betah berlama-lama di taman samping rumahnya. Lengkungan tipis tercetak di bibirnya. Ia ikut tersenyum, seakan membalas senyum hangat dari matahari. Alby tidak mau menyia-nyiakan moment ini. Moment yang baginya istimewa dan nyaman kedua setelah senja, favoritnya.

PRAK!

Suara pecahan sebuah benda mengalihkan perhatiannya. Alby beranjak dari tempat, lalu mencari sumber suara tadi. Gadis itu melangkah ke arah dapur karena suaranya terdengar jelas dari arah sana. Saat melangkah, ia tak sengaja menginjak pecahan gelas yang sudah retak menjadi kepingan kecil. Kakinya tergores, membuat Alby meringis kecil. Bercakan darah keluar pun ternyata sudah dari telapak kakinya.

Tak memperdulikan kaki, tatapan dia justru menyeluruh ke sudut ruangan, tak ada siapapun seseorang yang berada di dapur. Alby kira kejadian tadi perlakuan mamanya, tapi dugaannya salah. Tak ada batang hidung sang mama di tempat itu.

Tunggu.

Alby mendengar sesuatu berasal dari kamar yang berdekatan dengan dapur. Tak lain kamar Maya—Mamanya. Ia kontan melangkah lebih dekat ke arah pintu ruangan tersebut. Perlahan, Alby menempelkan indra pendengarannya ke badan pintu—berusaha menguping pembicaraan Maya dengan seseorang di sebrang telepon.

"Tolong, jangan sekarang ...."

"Aku masih sayang dia, aku nggak mau kehilangan dia. Cuma dia yang aku punya satu-satunya."

"Mungkin aku egois, tapi tolong beri aku waktu beberapa bulan untuk bersamanya. Setelah itu akan ku katakan yang sebenarnya."

Hanya kalimat itu yang terdengar samar di indra pendengaran Alby. Alby juga mendengar ringisan kecil dari Maya. Entah apa yang terjadi dengan Mamanya, sampai harus meninggalkan pecahan gelas yang telah melukai anaknya.

Pikiran Alby mulai kacau. Di saat ia sudah mendapatkan ketenangan yang disajikan semesta untuknya, kini dia malah mendapatkan hal yang membingungkan. Alby masih saja berdiri di depan pintu kamar Mamanya, seraya mendengarkan ringisan kecil dari Maya yang masih terdengar.

Rasanya, gadis itu ingin masuk ke dalam kamar Maya dan melihat bagaimana keadaan mamanya. Rasanya, Alby ingin segera memeluk malaikat tanpa sayapnya itu jika menangis. Bahkan, Alby akan membunuh seseorang yang telah membuat Maya menangis tersedu seperti itu. Alby sempat melangkahkan kakinya ke depan, tapi ia mengurungkan niat. Dia kembali memundurkan langkah. Tak pantas jika seorang anak ikut campur dengan masalah mamanya. Alby hanya membiarkan tangisan Maya reda, sampai tangisan itu tak terdengar lagi di telinganya.

Alby bingung dengan semua ini. Sebuah tanda tanya besar datang ke hidupnya. Ini terlalu rumit. Tidak semudah memecahkan teka-teki silang yang ada di koran ataupun majalah. Sebelumnya, Maya tidak seaneh sekarang. Namun, beberapa hari sikap paruh baya itu agak berbeda.

Alby menghela napas pelan. Akhirnya, dia memilih untuk pergi. Walaupun harus berjalan dengan pincang karena bercakan merah yang masih menghiasi telapak kakinya, Alby tetap melenggang pergi.

Bukan sekolah tempat tujuan Alby, melainkan tempat tersembunyi yang kerap kali membuatnya enggan pergi dari tempat itu.

***

Bau semerbak berbagai bunga memasuki indra penciumannya. Gadis itu tenang. Sangat tenang. Matanya masih tertuju ke arah berbagai macam bunga di hadapannya, dan sesekali menghirup aromanya pelan. Ia tak peduli dengan urusan sekolahnya, karena sesungguhnya membolos ke tempat ini sudah menjadi kebiasaannya.

Taman bunga yang berada di bawah jembatan pusat kota itu nampak indah. Hanya saja orang-orang tidak mengetahui bahwa ada taman indah di bawah jembatan penyeberangan itu. Mereka hanya memandang dari cover, tidak dari dalamnya.

Alby duduk di atas batu hitam besar yang terdapat di tanah dengan penuh rumput hijau di sekelilingnya. Ia masih menikmati suasana di mana kenyamanan itu ada. Sewaktu Alby kecil dulu, ia selalu mampir ke tempat ini hanya untuk menangis dikarenakan mamanya tidak mau membelikan ice cream saat dia pilek. Alby terkekeh kecil mengingat kejadian itu. Tatapannya kembali menatap berbagai bunga yang terjajar rapi di hadapannya.

"Akan ada apalagi setelah ini?"

"Gue nggak mau mendapat ujian yang lebih berat dari sebelumnya. Gue capek."

"Apa, sih, yang kurang dari gue? Gue kurang apa sampai Tuhan memberi cobaan berat ini?"

Alby merintih sangat lirih. Hanya dirinya sendiri yang dapat mendengarkan. Gadis itu sering menahan air matanya agar tak jatuh, dan sering menahan isakan kecil agar tak terdengar oleh siapapun. Ia berusaha tegar di depan seseorang, walaupun hati yang sebenarnya tengah hhancur

Ia hanya memiliki seorang mama yang menyayanginya. Alby tidak mau kehilangan mamanya. Alby hanya ingin bahagia, meski sekejap mata. Dia hanya ingin merasakan begitu indahnya hidup di dunia, dan Alby hanya ingin membuat orang lain bahagia karena ulahnya. Hanya itu.

Tapi semesta seakan menolak keinginannya. Hidup Alby berbanding balik. Realita tak semanis ekspetasi adalah gambaran yang tepat untuk hidup Alby. Tak apa baginya ketika ia harus menahan hal menyakitkan sekalipun, demi orang-orang yang disayanginya. Mungkin ini memang takdirnya menjadi seseorang yang sengsara.

"Al ...."

Suara lembut yang hadir ke telinga Alby mengalihkan perhatian. Pria bertubuh jangkung berdiri tepat di hadapannya, dengan pakaian jas hitam yang rapi, pria itu tersenyum manis. Tapi, sulit rasanya ketika Alby ingin mendekat melihat wajah tampan pria itu. Ia mengucek matanya dan berdiri di hadapan Sang Pria.

"Diam. Kau tak perlu banyak bicara. Cukup angin lalu yang membawa segala keluh kesahmu. Walau helaan napas keluar dari indra penciumanmu, tolong tahan dulu. Tunjukkan bahwa kau kuat."

"Semangat. Tunggu gue datang ke hidup lo."

Hanya kalimat manis itu yang diucapkan Sang pria, setelahnya dia pergi. Alby tidak akan membiarkan pria itu pergi. Ia mengejar, berlari, berusaha meraih punggung Si pria yang semakin menjauh. Tapi tiba-tiba bayangan itu perlahan menghilang dan ....

"Al, bangun."

Tubuhnya sedikit terguncang akibat seseorang yang mengguncang pelan tubuhnya. Alby membuka matanya, perlahan pria di hadapannya nampak jelas. Senyuman gadis itu tercetak kembali. Tapi ketika pandangannya tak buram lagi, senyuman Alby kontan hilang seketika. Siapa sangka, pria itu Devon Vincent.

Alby baru menyadari bahwa pria tampan jangkung tadi hanya mampir ke alam mimpinya. Ia berdecak pelan ketika Devon tersenyum ke arahnya. Sungguh muak. Rasanya ia ingin tertidur dan menemui pria mimpinya tadi. Pria dalam mimpi penenang dan pembawa senyum bagi Alby.

Just dream.

"Yuk, berangkat."

"Nggak mau."

Devon menghela napasnya, "Lo nggak kasian sama tante Maya yang berjuang nyekolahin lo?"

"Peduli apa lo soal gue? Nggak usah ngebacot, masih pagi juga."

Entah kapan seorang Alby Alexandra tidak mengeluarkan emosinya, apalagi di dekat Devon. Ingin rasanya Alby mencabik wajah pria itu. Menyebalkan.

***

Paginya hancur. Seakan semua runtuh dihantam oleh batu besar. Devon Vincent yang membuat paginya terasa lebih buruk. Padahal pria itu kemarin bersikap aneh dengannya, tapi mengapa Devon masih tetap menjemputnya? Muak rasanya bagi Alby.

Alby dengan gampang terseret ke dalam mobilnya Devon, dengan pria itu membopong tubuh kurusnya, dan usaha pria itu berhasil.

Hening.

Devon masih saja diam, fokus dengan berkendaranya. Tatapannya lurus, tak mencuri-curi pandang Alby lagi seperti beberapa hari yang lalu. Tidak secerewet biasanya, ia masih tetap sama seperti kemarin.

"Al, lo tahu nggak, kenapa sih semua orang yang gue sayang harus pergi?"

Ucapan Devon tadi membuat Alby terlonjak kecil. Ucapan penuh dengan nada keluh kesah yang mendalam. Baru kali ini Alby tertarik akan pembicaraan pria itu. Biasanya sama sekali tidak melirik sedikitpun. Alby sempat iba kepada pria itu. Tapi ia menahan untuk mengeluarkan suaranya—menunggu Sang pria berbicara kembali.

"Gue capek kayak gini terus, gue capek kehilangan terus, gue nggak tahu alur hidup gue akan seperti apa keadaannya, mungkin hambar," keluh Devon.

Sungguh. Alby sebenarnya tidak tega melihat Devon mengucapkan kalimat yang sangat menyentuh hatinya. Alby sesekali menatap wajah Devon dari samping yang nampak tampan, tatapan pria itu masih lurus ke depan, tidak ke Alby. Kisah yang Devon ceritakan sama seperti dirinya.

Raut wajah, mata, dan bibir pria itu mengisyaratkan bahwa Devon tengah dilanda masalah besar. Tapi apa masalahnya? Alby tak memikirkan itu. Hidupnya juga sudah terlalu rumit. Cukup jadi pendengar saja.

Devon diam kembali. Meskipun ia tidak mendapatkan respon dari gadis di sebelahnya, setidaknya dia sudah mengeluarkan unek-unek yang sedari malam menghantuinya.

Tak lama, dua remaja itu sampai ke tempat tujuannya. Sekolah. Alby mengdengkus kesal. Sebenarnya ia muak bertemu dengan bangunan bertingkat tiga ini. Malas. Dia hanya butuh ketenangan. Tapi apalah daya, ini sudah menjadi jalan takdirnya hari ini.

Devon melenggang pergi tanpa membukakan pintu untuk Alby layaknya seorang permaisuri turun dari kereta kencana, pria itu bersikap aneh kembali.

"Si dasar bego."

Alby mengumpat seraya membuka pintu mobil pria itu. Sedangkan sang pria? Sudah melenggang jauh dari hadapannya.

Tak lama, Alby telah sampai di kelasnya. Sebelas MIPA 2. Kelas ini didominasi oleh kaum yang pintar, favorit pula. Namun, beberapa sikap dari penghuni kelas membuat passion-nya sebagai kelas terpintar kini menurun. Alby jarang menginjakkan kakinya di tempat ini. Gadis itu memasuki ruangan kelas yang nampak gaduh seperti biasanya. Gaduh akan tugas—pekerjaan rumah. Sedangkan Alby Alexandra? Diam dan santai. Itu kebiasaannya.

Dobrak!!

Alby melempar tas-nya asal, lalu mendaratkan tulang ekornya ke kursi.

"By, lo dari kemarin kemana aja sih? Bolos lagi?" tanya Odel Nasyata, yang kerap dipanggil Odel—teman sebangku Alby. Sedangkan Sang empu masih terdiam. Tatapannya tajam ke OOdel

"Iya, By. Alby bolos ke kolong jembatan lagi?" Pertanyaan polos dari teman salah satu temannya yang duduk di depannya—Atalia atau Ata membuat Alby muak dengan mulut kecil teman satunya itu.

Teman-teman yang lain terbahak.

"Taman kecil, bego! Bukan kolong jembatan," ralat gadis lain yang bernama Leora Orion. Sering disapa Leora, tak lain teman sebangku Ata.

"Bisa nggak lo semua nggak usah manggil gue dengan sebutan, By? Emang gue pembantu kalian atau baby kalian," ujar Alby dengan nada malas. Ketiga temannya bungkam, lalu saling menyalahkan.

"Iya, Al. Maaf, ya, udah lancang," ucap Leora.

Dua anak lainnya hanya mengangguk dan membinarkan matanya masing-masing, seakan meminta permohonan maaf dari Alby. Lebih tepatnya takut kaki mereka diputuskan oleh preman kelas itu.

Next chapter