webnovel

Bad Luck

Nilailah diri sendiri, sebelum menilai orang lain.

Salah satu hal yang ia benci selain guru BK adalah berjalan kaki. Dengan alat penggerak yang malas untuk digerakkan gadis berseragam putih abu-abu itu menghembuskan napas kasar berkali-kali. Orang tuanya tidak pernah mengizinkan untuk membawa kendaraan pribadi, itulah sebabnya Alby selalu berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Kantong hitam yang berisi obat titipan mamanya selalu ia bawa setiap pulang sekolah. Meski terasa berat, mau bagaimanapun dia tidak mengelak. Mamanya sudah menjaganya sedari dulu kini saatnya Alby untuk membalas jasa mesti tidak sebanding.

Walau terasa penat, keindahan yang semesta sajikan berhasil membuat rasa lelahnya menghilang. Semilir angin sore yang membelai pipi, beserta senja yang terpapar pada langit membuat senyum tipis dari Alby muncul. Akan tetapi, saat ia tengah asyik menikmati, Alby dibuat terkejut oleh seseorang dengan motor besar yang melaju cepat dan lawan arah. Hingga tanpa, disadari, genangan air hujan yang terletak pada jalanan berlubang, berhasil mengguyur sekujur tubuhnya.

Warna coklat menjijikan telah menutupi seragam yang Alby kenakan. Dan sialnya lagi, kantong hitam yang berada di tangan na'as jatuh berserakan tanpa sisa sedikitpun. Alby menatap miris tubuh dan obat yang jatuh secara bergantian. Rasa menyesal datang pada dirinya secara bertubi-tubi. Netranya beralih ke arah sang pelaku yang tampak menghentikan laju kendaraan.

Disertai tatapan tajam, Alby berkacak pinggang melihat pria yang berbalik menuju arahnya. Si pengendara motor menghentikan kendaraannya, lalu melepas helm full-face yang dipakai. Pria berparas sempurna itu menukkikan alisnya tajam. Rupanya, setelah melepas jaket juga, pria tersebut memakai seragam abu-abu dengan almamater yang berbeda. Pria itu berjalan menghampiri 'korban' disertai tatapan menyebalkan. Tampangnya yang terlihat tidak merasa berdosa, menghampiri Alby.

"Punya mata, kan? Kalau jalan itu yang bener!"sentak pria itu. Alby yang masih terdiam nampak menghela napas pelan. Ia melangkah maju mendekati sosok dihadapannya.

"Apa lo nggak bisa intropeksi diri sendiri? Apa lo nggak sadar sama apa yang udah terjadi ke gue?" Hanya Alby, yang bisa sesantai dan sedatar itu namun terdengar mengerikan oleh lawan bicaranya.

Tatapan Alby turun, menatap name-tag yang tertera di seragam pria itu.

"Bawa motor nggak seharusnya ugal-ugalan. Ini masih mending yang jadi korbannya gue, kalau nenek-nenek gimana? Masih mau ngamuk juga, Arga Revano Gavin?"tambahnya lagi.

Pria bernama Arga mendengus jengah dan mendorong pelan pundak Alby agar menjauh dari hadapannya.

"Pergi. Gue nggak peduli sama lo!." Ia sudah akan bersiap memakai jaketnya kembali, namun tiba-tiba tangan yang terulur berhasil menahan niatnya.

Ia menatap Alby dengan tatapan penuh amarh. "Lo mau gue bunuh?!"

"Gue nggak mau dibunuh." Alby memajukan kakinya selangkah. "Yang gue mau lo minta maaf karena udah naik motor ugal-ugalan dan buat gue kotor, bahkan obat buat mama gue terbuang begitu saja."

Arga meneliti paras Alby dari atas kepala hingga kaki.

"Lo jalannya yang nggak bener! Kalau di jalanan itu lihat-lihat, bukan sembarangan!"

"Harusnya gue yang bilang itu, bukan lo."

Alby menarik ransel Arga. "Lo nggak perlu ganti rugi obat ini. Tapi, gue cuma mau lo minta maaf atas kesalahan yang diperbuat."

Tatapannya lurus menatap pria itu. "Apa hanya dengan minta maaf, itu berat banget buat lo?"lanjut Alby.

Arga mengibaskan tangannya, melepas tangan Alby yang melingkar pada ransel. "Gue nggak mau berurusan sama cewek bodoh kayak lo!"elaknya.

"Lo bilang gue odoh? Di rumah nggak ada kaca?" Alby tersenyum. "Nilai diri lo sendiri, sebelum menilai orang lain."

Arga berdecih singkat. Semakin lama, emosinya meningkat. Gadis yang satu ini berhasil membuat moodnya makin kacau. Arga hendak beranjak dari sana, akan tetapi Alby menarik ransel milik Arga lagi.

"Mau ke mana? Setelah apa yang lo lakuin ke gue sekarang lo mau kabur?"

"Kabur?" Arga mulai terusik dengan keberanian Alby. Ia menarik lengan gadis di hadapannya, lalu menyentak secara kuat.

"Kalau lo mau bikin masalah, jangan sama gue. Atau lo akan mendapat akibatnya!"

"Selain kasar, kamu juga pecundang."

Perkataan itu telak menghantam Arga. Ia menghempas lengan Alby dengan kuat, lalu menatap sinis ke arah gadis itu. Arga meraih sebuah dompet dari dalam tas-nya. Ia mengambil beberapa lembar uang berwarna merah, kemudian melemparkannya ke wajah Alby.

"Yang lo butuhin sebenarnya itu, kan? Kebanyakan basa-basi. Nyuruh gue buat minta maaf segala, emangnya lo siapa?!"sergah Arga dengan nada yang meninggi.

Alby tersenyum tipis. "Ternyata mitos cowok lebih galak dan kejam dari cewek memang ada, ya." Gadis itu merendahkan tubuhnya dan memungut lembaran merah yang berada di tangan. Ia menarik tangan Arga, lalu meletakkan uang tersebut pada pemiliknya.

"Ambil balik uang lo. Gue nggak mau nerima uang dari orang sarkas kayak lo,"kata Alby.

Dengan mengangkat dagunya tinggi, Arga berdecih. "Kalau nggak mampu bilang aja, nggak usah sok nolak gitu!"

"Untuk apa menerima sesuatu dari seseorang yang nggak ikhlas?" Alby menatap manik Arga dengan dalam. "Gue cuma mau lo minta maaf, simple,"sambung dia.

"Dan itu nggak akan terjadi,"tolak Arga mentah-mentah."Gue mau pulang. Malas berurusan sama cewek cupu kayak lo!"

Arga hendak memakai helmnya, namun lagi-lagi Alby menahan. Kini, emosi Arga kontan meningkat. Alby sukses membuat amarahnya kian tak terkendali. Pria itu mendorong tubuh Alby dengan kuat, sehingga membuat sang korban jatuh tersungkur ke jalan yang dipenuhi air keruh bekas hujan.

Alby membulat mata saat genangan coklat memenuhi tubuhnya. Ia bangun dalam keadaan basah kuyup dan kotor. Sedangkan pria di hadapannya malah menaiki motor dan melesat pergi tanpa berkata apapun. Meninggalkan Alby yang menatap pria itu dengan tatapan sengit

"Urusan kita belum selesai, Arga"

***

Setelah melewati hari yang panjang, akhirnya Alby telah tiba di rumah. Ia sudah membersihkan diri. Saat aroma wangi tercium dari arah dapur, indra penciuman Alby mengarah ke sana. Ia menghampiri mamanya yang tengah mamasak sesuatu untuknya. Alby melingkarkan tangan pada pinggang Sang mama, lalu menghela napas.

"Ma, maafin Alby, ya. Obat mama jatuh di jalan barusan,"ujarnya dengan jujur.

Maya melirik ke arah anaknya. "Apa yang terjadi, Alby?" Alby tersenyum miris, lalu melepas pelukan. Membiarkan sang mama meletakkan makanan pada tempat, tak lain meja makan.

Seraya duduk berhadapan, Alby pun menceritakan kejadian yang menimpanya beberapa jam yang lalu. Maya mengelus pundak anaknya dengan lembut.

"Sudah, nggak pa-pa. Ikhlaskan saja, ya. Jangan ada dendam." Ini yang Alby banggakan dari mamanya. Maya sangat sabar dalam menghadapi keadaan seberat apapun.

"Alby janji akan ganti obat mama nanti,"ucap gadis itu.

Maya menggelengkan kepalanya pelan. "Biar mama yang beli sendiri nanti. Sekarang kamu makan. Semua hal bisa menunggu, kecuali makanan hangat. Jika terlalu lama didiamkan, dia akan dingin setelahnya."

Alby pun ikut arahan. Ia menyantap masakan mamaya dengan lahap. Tak dapat dipungkiri, masakan Maya jauh lebih enak dari makanan kafe.

Gadis berpakaian kaos hitam itu menatap mamanya yang tengah makan. "Selain sifat, yang Alby suka dari mama itu masakannya. Apalagi mie goreng ini. Dibuat dengan bumbu juga cinta. Paket komplit!"seru Alby seraya tersenyum sumringah.

Maya tersenyum juga saat mendengar itu. "Jangan melebih-lebihkan. Ini sudah tugas mama sebagai orang tua."

Di sela pembicaraan mereka berdua, suara ketukan pintu terdengar dari arah depan. Tadinya Maya mau membuka pintu, namun Alby memaksa. Ia beranjak ke depan, membukakan pintu untuk sang tamu.

Alby kontan membulatkan mata saat pintu telah terbuka, mendapati pria bertubuh jangkung yang berdiri di luar.

"Lebih baik lo pergi,"ujar Alby tanpa basa-basi. Ia hendak menutup pintu kembali, namun pria itu bersikeras menahannya.

"Alby, kalau ada tamu itu dipersilakan, bukan diusir." Suara yang berasal dari belakang membuat sang pemilik nama mendengus kesal. Akhirnya ia pasra, dan membiarkan pria itu duduk di sofa berhadapan dengannya. Mereka berdua terdiam. Pria di hadapan Alby hanya menatap secara lama.

"To the point saja, Von,"ucap Alby setelah sekian lama hening tercipta. Pria bernama Devon Vincent itu menatap gadis cantik di hadapannya."

"Bagaimana kabar-"

"Nggak usah basa-basi. Untuk apa lo kesini?"potong Alby.

Devon mengulum senyum. "Lo 'kan suka martabak, gue bawain buat lo." Pria itu meletakkan makanan itu ke telapak tangan Alby.

"Makasih. Udah itu aja? Gue mau tidur,"timpal Alby seadanya. Sang lawan bicara tersenyum lagi.

"Besok berangkat bareng gue, ya?"

Alby membulatkan mata. "Nggak,"tolaknya mentah-mentah.

"Tapi, gue nggak suka penolakan." Devon bangkit dari tempat, lalu menatap Alby. "Gue ke sini jam enam lebih tiga puluh. Jangan telat bangun, ya. Salam buat tante Maya. Gue pamit."

Devon melangkah pergi, Melesat jauh dari rumah Alby menggunakan mobil milik pria itu. Beberapa detik kemudian, ponsel Alby berbunyi. Menandakan terdapat notifikasi pesan masuk dari Devon.

"See you. Jangan lupa besok."

Devon akan menjemputnya? Berangkat bersama orang itu? Rasanya Alby ingin menghilang saja.

"Awh!" Karena terlalu lama menatap layar ponsel, hingga ia tak menyadari bahwa martabak yang berada di tangannya kini sudah berserakan.

***

Terlalu sibuk berbicara tentang kekurangan mereka. Sampai lupa kita pun kurang porsinya.

"Di mana sih, lo?"

Sejak pagi tadi, Alby masih sibuk mencari dasi sekolah yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Ia menggerutu kesal, sesekali mengumpat tak terima atas kesialannya yang datang dari kemarin sampai sekarang.

"Kenapa gue selalu sial dari kemarin!"

"Ke mana sih tuh dasi?! Dicari nggak ada, giliran dianggurin, nongol!"

Alby menggeram kesal. Pasalnya, ia sudah mencari pemicu pusing kepalanya, dari meja belajar, kolong meja, kolong ranjang, sampai sudut pada atap kamarnya pun ia teliti, barangkali diambil cicak.

"Kenapa, Al?"

Suara lembut seseorang muncul dari balik pintu kamarnya. Alby menegakkan tubuhnya yang sedaritadi masih dalam posisi berjongkok—mencari dasi di bawah karpet kamarnya.

"Oke. Positif hari ini, pagi ini, detik ini, lo akan dapat kesialan berlipat ganda Alby. Sabarin diri lo. Jangan emosi buat manggang idup-idup manusia di hadapan lo," batin Alby yang berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Devon terkekeh geli kala melihat penampilan gadis di hadapannya—sangat absurd. Tidak pantas jika Alby dilahirkan menjadi seorang gadis. Seharusnya seorang gadis memiliki sifat lemah lembut, menjaga penampilan, dan agak menye-menye atau terkesan manja, tapi tidak dengan Alby Alexandra. Dia berbanding terbalik dengan sisi gadis pada umumnya. Pantas jika Alby sering dijuluki "Preman" jutek di sekolah.

Raut wajah Alby mulai memerah, menandakan ia tengah emosi. Rambut acak-acakkan, seragam yang tanpa sadar dikeluarkan, ikat pinggang yang terlepas nampak tidak dipedulikan.

Alby berdiri jauh dari hadapan Devon, lalu menatap pria itu seraya menampilkan wajah datar. "Ngapain lo masuk ke kamar gue? Sembarangan aja masuk kamar orang, kamar cewek lagi!" protes Alby.

Devon melangkah lebih dekat menuju Sang gadis.

"Nggak usah deket-deket!"

Alby bergidik ngeri. Jarak antara dirinya dengan Devon terlalu dekat. Namun, sentuhan dari tangan lembut milik Devon yang merapihkan rambut Alby, membuat gadis itu bungkam sejenak. Ia dapat melihat rahang tegas pria di hadapannya. Melihat lekuk wajah yang indah. Tapi, Alby mengerjapkan mata beberapa kali. Karena terlalu lama dan risih, Alby mendorong tubuh Devon tanpa rasa ampun, lalu memundurkan langkah lagi.

Devon yang sedikit terpental malah terkekeh dengan perlakuan Sang gadis.

"Santai saja, Alby. Gue nggak akan apa-apain lo, kok. Lo nyari apa?" balas Devon dengan lembut.

"Nggak usah sok perhatian jadi orang," timpal Alby yang kemudian melangkahkan kakinya—keluar dari kamarnya. Tak peduli dengan benda menyebalkan itu, tak peduli pula ia meninggalkan Devon di kamarnya.

Alby yang masih dikelabuhi emosi langsung menyerobot sebuah roti dan segelas susu hangat yang sudah tersedia di atas meja. Melahap dengan cepat agar tidak terlambat.

"Alby. Kamu mau sekolah?" tanya Maya yang sekarang tengah berhadapan dengan Alby di seberang meja makan itu.

"Mau hunting, Ma."

Maya membulatkan mata, akan tetapi terkekeh sejenak. Ia tahu betul meski anaknya terkenal cuek, namun ada sisi humor sedikit di dalamnya.

Paruh baya itu menggelengkan kepala. "Jangan kayak gitu Alby. Kamu sudah besar. Pikirin masa depanmu buat banggain Mama. Kamu akan menentukan jalan hidup sendiri nantinya."

"Paham, Mama sayang. Sekarang lebih baik Mama usir tikus di kamar Alby aja, deh," sela gadis itu.

"Tikus? 'Kan kemarin baru aja mamah buang dua tikus, besar pula. Masa ini ada lagi?" tanya Maya dengan alis yang bertautan.

Alby menghela napas. "Tikusnya lebih besar dua kali lipat dari dua tikus yang dibuang Mama kemarin."

Perkataan Alby terdengar janggal bagi Maya akan apa dan siapa yang sedang dibicarakan. Belum sempat menjadi jawab, anaknya sudah berlalu pergi setelah mencium punggung tangan Maya.

"Alby mau berangkat sekarang ya, Ma. Bye!"

Alby bergegas keluar dari rumah untuk berjalan kaki. Setiap hari hanya ini yang ia lakukan. Jika saja tidak ada pria tadi, Alby malas untuk berangkat sepagi ini.

"Alby, kamu bareng Devon aja," kata Maya yang tiba-tiba berada di ambang pintu depan. Alby yang mendengar nama pria tadi kontan menghentikan langkah, lalu memutar bola matanya dengan malas.

Gadis dengan rambut yang tergerai bebas itu melangkah lagi tanpa mendengarkan perkataan dari Maya. Akan tetapi, seseorang lain menghadang tepat di hadapannya. Alby menatap datar Sang pria. Sepertinya, pagi ini sangat buruk baginya.

"Ini 'kan yang lo cari, Al? Gue nemuin di tempat sampah kamar mandi punya lo."

Netra Alby turun menatap benda yang dicari, rupanya sudah berada di genggaman tangan Devon Vincent.

Mata gadis itu menatap ke arah lain tanpa menatap Devon. "Siapa juga yang nyuruh lo buat cari dasi? Gue nggak butuh."

Berbeda dengan Maya yang melihat anaknya dari ambang pintu, ia hanya menggelengkan kepala.

Devon menarik lembut tangan Sang gadis, meletakkan dasi tersebut pada genggaman Alby, lalu berkata, "bareng gue."

Alby hanya diam. Muak melihat wajah memelas dari pria itu. Bayang-bayang dulu kembali terputar pada otaknya. Ketika ia memasang wajah sama seperti halnya yang dilakukan Devon, dan lebih parahnya disertai buliran hangat yang keluar dari matanya, tapi apa respon pria itu?

"Sorry, gue nggak bisa." Sungguh, itu pengalaman paling buruk seumur hidup Alby.

"Minggir." Alby sudah akan beranjak, namun langkahnya dihalang oleh kaki yang berlagak ingin menyandungnya. Membuat Alby hampir saja jatuh, tapi untungnya bisa menyeimbangkan diri. Ia berbalik, disertai rasa amarah.

"Lo kalau mau nyari gara-gara jangan sepagi ini, deh. Malas gue keluarin tenaga," sungut Alby.

Raut wajah Devon berubah drastis. Yang tadinya sendu, kini malah lengkungan manis di bibirnya disertai lesung pipi yang muncul seketika.

"Gue suka liat lo kesel sama gue." Devon menjeda ucapannya, "rindu saja sama masa-masa dulu."

Mendengar itu, membuat mood gadis itu semakin tidak baik. Alby beranjak dari sana dengan cepat, namun Devon menarik lengannya. Berusaha menahan.

"Alby, kenapa nggak bareng Devon saja biar kamu nggak kecapekan?" Suara dari Sang Mama membuat Alby menghembuskan napas kasar.

Alby pun mengalah. Ia tidak mau membuat kondisi Mamanya down begitu saja. Gadis itu terdiam sejenak. Memutar bola matanya sesaat.

"Cepat berangkat, nanti gue terlambat."

Devon tersenyum puas melihat Alby yang menerima tawarannya. Ia memakaikan helm pada kepala gadis itu. Keduanya pun naik ke atas motor. Setelahnya mereka melesat pergi meninggalkan area perumahan.

Selama di perjalanan, Alby dan Devon saling terdiam. Alby memilih menutup rapat-rapat mulutnya, malas rasanya mengeluarkan suara. Buang-buang waktu saja.

Kurang lebih satu jam, mereka telah sampai ke tempat tujuan. Turun dari motor besar milik Devon, lalu berjalan tanpa sadar ada sesuatu yang mengganjal.

"Al!" panggil Devon dari belakang punggungnya. Alby berdecak pelan, lalu membalikkan tubuh.

"Helmnya belum dilepas, jangan main kabur aja."

Alby kontan menyentuh area kepala. Rupanya, benar. Helm yang ia kenakan masih terpasang. Dengan rasa sedikit malu, ia kembali ke posisi Devon lalu menyerahkan benda tersebut. Tanpa mengatakan apapun, Alby pergi dari sana.

Semua tatapan murid yang berada di parkiran tertuju padanya. Alby hanya berjalan tanpa mempedulikan semua orang yang berbisik membicarakannya. Namun, kehadiran Devon yang di sampingnya membuat Alby menghela napas.

"Bisa nggak, sih, nggak usah jalan bareng?" tanya Alby dengan tatapan lurus ke depan. Devon tidak menjawab perkataan dari Sang gadis, pria itu berjalan ke arah lain, karena kebetulan arah kelas dengan kelas Alby berbeda.

Tanpa sadar semua murid menyoraki mereka berdua sedaritadi. Devon Vincent yang notabene-nya menjadi siswa famous di sekolah, membuat Alby merasa risih karena kabar tidak benar tersebar ke seluruh antero. Untung saja, mereka berdua telah berpisah jalan. Sorakan itu pun tidak ada lagi.

Alby semakin mempercepat langkahnya. Akan tetapi, gerombolan gadis berjumlah lima orang menghentikan langkahnya. Lagi dan lagi, Alby menghentikan langkah. Ia menatap orang-orang di depannya dengan memasang wajah datar.

"Si preman main jadi pelakor ya, sekarang."

"Udah miskin, penampilan kumel, wajahnya? Masih cantikan gue kemana-mana kali!"

"Lo sama Devon itu kayak bungkusan makanan basi. Devon bungkusnya sebagai pelengkap kekurangan lo, dan lo makanan basinya!"

"Adek kelas nggak tau diri!"

Gelakan tawa terdengar dari arah lima gadis itu, yang notabene-nya sebagai kakak body goals dengan sajian make up tebalnya beberapa lapis. Seperti tante muda saja.

"Makasih udah cerca gue, Kak. Tapi, gue nggak ada waktu buat nurutin ego gue sendiri buat ngabisin kalian semua," sahut Alby dengan nada santai.

Kelima gadis itu tertawa meremehkan mendengar respon Alby yang menurut mereka tidak memiliki rasa takut sedikitpun. Jika saja ini bukan di sekolah, sisi hitam dari Alby Alexandra mungkin saja akan keluar. Namun, Alby bersikeras menahan amarahnya.

Salah satu gadis di hadapannya mulai memajukan langkah. Mendekati Alby yang terdiam. Menyentuh rambut milik gadis itu secara perlahan. Lalu, ia mendekatkan bibir ke telinga Alby.

"Jangan deketin Devon lagi, atau kamu bakalan dapet akibatnya," bisik gadis itu.

Alby tersenyum tipis. "Urus saja Devon kalian, gue juga nggak butuh dia. Dia yang deketin tanpa gue suruh. Jadi, gue malah bersyukur karena kalian berusaha jauhin dia dari gue."

"Halah, nggak usah sok jual mahal deh, lo!" teriak gadis yang lain.

"Emang dasarnya kegatelan, cewek murahan"

Alby menutup matanya sejenak, lalu membuka matanya kembali seraya mengayunkan tangan, menarik kerah seragam dari salah satu gerombolan gadis tadi, yang tak lain ketua geng tersebut secara kasar.

"Mulut lo disaring dulu sebelum ngomong!"

Perkataan Alby yang mulai tidak terkendali kini terdengar menyeramkan bagi yang mendengar, tapi tidak dengan Si pemilik kerah yang nampak tersenyum miring.

"Wait. Sebelum gue mati, lo yang akan mati duluan."

Kepalan panas yang sudah bersiap ingin menonjok wajah Sang pemilik kerah telah digagalkan oleh teriakan seseorang yang menghampiri.

"Alby Alexandra!"

Kini kelima gadis di hadapannya tersenyum miring, terlebih pada ketua geng itu. Dia tersenyum penuh kemenangan ketika Alby melepas kerah seragamnya.

"Bye. Nikmati kesenangan lo hari ini."

***

Tempat ruangan khusus yang tertuliskan "Bimbingan konseling" sudah beribu kali Alby menginjakkan kakinya di tempat ini. Tempat yang sangat dia benci. Kala disuruh menceritakan, Alby justru enggan. Devon yang selalu berada di samping gadis itu menjelaskan kronologi kejadian. Herannya, padahal dia sama sekali tidak melihat secara langsung kejadian itu. Seperti biasa, Devon hanya mengarang cerita agar Alby terbebas dari hukuman.

"Maafin Alby, ya, Bu. Dia cuma kepancing sama omongan lima anak tadi. Alby nggak salah, Bu," pinta pria itu.

"Ibu paham dengan perilaku Alby di sekolah ini. Selalu membuat keributan."

Devon nampak memohon dan menghela napasnya. Sedangkan Alby hanya terdiam sambil memasang wajah datar dan tak peduli.

"Alby, mau sampai kapan kamu begini?" tanya Bu Rini selaku guru BK. Sedangkan Alby tidak menjawab apapun. Ia hanya bosan, setiap kali memasuki ruangan ini, hanya pertanyaan ini yang keluar dari mulut Bu Rini.

"Bu, pagi itu diawali dengan senyuman, bukan marahin anak orang." Gadis itu membuang muka ke arah lain.

Bu Rini menghembuskan napas kasar. "Alby, kamu ibu scorsese tiga hari mulai minggu depan!"

"Nggak sekalian satu minggu, Bu?"

Pertanyaan itu membuat Devon dan Bu Rini membulatkan mata secara kompak. Mereka tak habis pikir dengan gadis yang satu ini.

"Sering-sering gini ya, Bu. Alby malas sekolah soalnya."

Hanya ucapan itu yang Alby keluarkan, setelahnya ia pergi keluar begitu saja. Meninggalkan Devon yang masih mematung melihat sikap Alby terhadap gurunya.

"Maafin Alby ya, Bu, dan Devon mohon batalin Scorsese nya." Devon pun kemudian ikut melesat pergi keluar ruangan—mengejar Alby.

Kini tinggal Bu Rini yang masih di ruangannya. Guru BK itu memijit keningnya yang terasa pening.

"Harus periksa ke dokter pulang ini. Takutnya darah naik lagi."

Next chapter