13 Novel mahal?!

"Lu mau ngapain astaga!" pekik Misha panik ketika Ryan menutup pintu rumah pohon.

"Ga ngapa ngapain, kalo dibuka tar nyamuk pada masuk" ujar Ryan santai.

Misha menjadi sangat panik ketika, adik tersayang nya itu memutus telfon tanpa berniat menolong.

"Mau minum apa?" tanya Ryan.

"Lu gak bakal masukin yang aneh-aneh kan?"

tanya Misha balik.

"Lama-lama aku gemes sama kamu Ra, pen di gebukin" ujar Ryan tersenyum gemas.

"Lah? Ya maaf, gue gak pernah di giniin sebelumnya" ketus Misha.

Ryan menghela nafas, sepertinya Misha belum bisa percaya padanya. Apa tampang nya tidak meyakinkan sebagai orang yang tengah mencintai seorang gadis?

"Minum apa? Laper gak?" tanya Ryan lagi.

"Greentea, laper sih" terang Misha malu, Ryan tersenyum manis mendengarnya.

"Yaudah aku pesenin dulu," ujar Ryan dan mengotak atik hapenya.

Setelah memesan makanan Ryan mengajak Misha ke satu ruangan yang ada di sana, ternyata sebuah perpustakaan.

"Lu, isi ini semua sejak kapan?" tanya Misha takjub, sudah sangat lama ia belum melihat koleksi novel sebanyak ini.

"Sejak awal Smp, aku suka baca soalnya agak sulit berbaur sama temen" jelas Ryan.

"Jenis novel apa yang lu suka?" tanya Misha memperhatikan setiap buku di rak.

"Rata-rata nya sih Action, Fantasy gitu" jawab Ryan kikuk.

"Waah! Kalo gitu lu harus mampir ke penthouse gue!" pekik Misha antusias.

"Beneran?" tanya Ryan memastikan.

"Iya lah, gue seneng punya temen yang se hobi" ujar Misha senang.

Jlebb..

Ada yang menancap tapi bukan pisau, hati Ryan terasa di tusuk menggunakan panah oleh Misha.

"T-temen yah?"tanya Ryan pelan.

"Hn? Bukan yah? Gue kira temen" gumam Misha merasa malu sendiri.

"Pesanan~"

Kesunyian itu berhasil di hilangkan oleh kurir makanan, keduanya menghela nafas lega dan keluar dari perpustakaan.

Mereka menyantap sushi pesanan Ryan dalam diam, rasanya masih agak kikuk mengingat kejadian tadi.

***

"Selamat datang di penthouse gue!" pekik Misha antusias.

Setelah ditraktir eskrim oleh Ryan, ke kaku an tadi kini lenyap. Seakan memang tak pernah ada, Misha bersikap dengan antusias sekarang.

Ceklek..

Begitu pintu warna hitam milik Misha terbuka mata Ryan langsung di sambut cat dinding yang berwarna hitam.

"Penthouse kamu gelap banget?" celetuk Ryan setengah bertanya.

"Emang, soalnya gaenak kalo terang" tutur Misha tak nyambung.

"Mau minum apa nih? Gue buatin dulu" tawar Misha.

"Bisa gak mulai sekarang manggilnya aku kamu?" tanya Ryan setengah memohon.

"HA?!" pekik Misha tak percaya.

Misha tampak shock mendengar permohonan Ryan, sebelum ini ia tak pernah menggunakan kata itu selain pada keluarganya.

"Lo serius nyuruh gue ngomong kek gitu? Gak mungkin, sumpah" ujar Misha terbahak.

"Coba aja dulu," suruh Ryan membuat Misha menghela nafas.

"Yaudah iya, l-kamu mau minum apa?" tanya Misha kaku.

"Hot americano aja" ucap Ryan tersenyum, pipi Misha memerah saat melihat senyum Ryan yang memikat hati.

"Gulanya berapa sendok?" tanya Misha lagi.

"Gausah pake gula, aku liat kamu aja kopinya udah manis" ujar Ryan membuat kedua pipi Misha lagi-lagi memerah.

"K-kalo gitu lu bisa nunggu di perpustakaan, ruangannya pintu merah" jelas Misha dan ngacir ke dapur.

Ryan terkekeh senang melihat pipi Misha yang memerah, ia melangkah kan kaki menuju pintu merah dan membukanya.

"Lah? Gaada buku di sini" gumam Ryan dan masuk kedalam.

Berbanding terbaling dengan cat diruang tengah yang hitam, dikamar Misha nuansa nya putih. sangat sangat enak dipandang.

Foto foto Misha bersama keluarganya terpajang di tembok dalam bentuk sebuah polaroid. Beberapa kalimat motivasi yang mengilukan tertulis dengan jelas dipojok kamar menggunakan spidol merah.

"L-lu salah kamar anjim!" pekik Misha terputus putus.

Ia datang dengan nafas tersengal sengal dan segera menarik tangan Ryan keluar, setelah berhasil ia segera mengunci pintu itu.

"Yang ini baru perpustakan" ujar Misha menghela nafas.

"Gue pen lanjut buatin cemilan dulu" lanjut Misha beranjak.

Misha memasuki perpustakaan dengan nampan besar ditangan, ia melirik Ryan yang tengah membaca novel miliknya.

"Nih minumnya" ujar Misha.

"Oh makasih, emm.. Deera, kok novel novel lu gak pernah gue liat di toko buku?" tanya Ryan heran.

"Ya gak ada lah, orang gue mesen secara pribadi ke penulis langganan gue" jelas Misha terkekeh.

"Laah, pantes" gumam Ryan.

"Seru kan? Gue males beli di toko buku, soalnya mainstream" ucap Misha.

"Berapa harga satu novel ini Misha? Aku pen beli juga rasanya" jujur Ryan.

"Gak mahal kok, cuma Lima ratus doang"

terang Misha.

"Lima ratus ribu? Waah, bisa nih gue mesen" ucap Ryan senang.

Misha menerjab dan menyentuh lengannya, ia berfikir apakah bagus meralat perkataan Ryan atau tidak.

"Engg, bukan segitu sih" ringis Misha.

"Ha? Terus?" tanya Ryan.

"Lima ratus juta, Dean"

Ryan terdiam ditempat, perkataan Misha tadi terngiang ngiang di kepala nya. Dia menatap jejeran novel yang terususun apik pada banyak rak buku.

Jika satunya saja lima ratus juta, ini semua berapa? Jumlah novel di sini saja bisa lebih dari 100.

Ia menatap Misha dengan tatapan bertanya-tanya, se kaya apa Misha sampai bisa menghambur-hamburkan uang hanya demi sebuah kertas bertinta.

"Kenapa?" heran Misha.

"Ini.. Make uang ortu?" tanya Ryan sedikit tak enak.

"Ha? Uang ortu? Hahahaha! Ya kagak lah, ini murni uang gue" Misha tertawa lepas mendengar pertanyaan Ryan.

"Gimana bisa remaja kek kita punya uang sebanyak ini?" heran Ryan.

"Gue buka usaha kali, Dah lama.. Sejak umur 14 tahun," terang Misha.

"Dan gue gak langsung beli semua Novel ini, sebulan gue beli 7 doang" lanjut Misha.

Oke, sebanyak apa penghasilan yang Misha hasilkan? Apakah mungkin usaha yang di bangun Misha mampu menghasilkan 2,5 milyar lebih dalam sebulan?

"Kamu buka usaha apa?" tanya Ryan penasaran.

"Cuma Càfe, Restoran, Salon sama butik kok"

Sebanyak apa yang Misha bangun? Apa ada usaha yang ber penghasilan 2,5 milyar lebih sebulan? Ryan terus berfikir sehingga kerutan di keningnya terlihat, Misha merasa bersalah karena membuat Ryan berfikir keras.

"Gausah dipikirin Dean, tar gua ajak ke Càfe milik gue" ujar Misha diangguki Ryan.

Saat mereka asik asik membaca dan menikmati camilan buatan Misha, bel penthouse berbunyi. Misha segera beranjak menuju ruang tengah di ikuti Ryan karena penasaran, saat pintu terbuka betapa kagetnya ia karena pria berseragam merah berdiri di sana.

"Ada apa yah?" tanya Misha.

"Pesanan novel anda," ujar pria itu tersenyum.

"Ah! Bentar yah, saya ngambil dompet" ucap Misha diangguki pria itu. Misha segera berlari meninggalkan Ryan dan pria itu dipintu, setelah Misha tak terlihat Ryan mendekati pria itu.

"Novelnya ada berapa pak?" tanya Ryan pelan.

"Kali ini ada 14 buah," terang pria itu.

"Satunya berapa pak?" tanya Ryan penasaran.

"Tujuh ratus juta dek," ujar pria itu meringis.

Ryan terbengong-bengong mendengar jumlah harga satuan dari novel dalam koper yang di bawa pria itu.

"Berapa pak?" tanya Misha enteng dengan dompet berwarna putih di tangan.

"9,8 milyar dek" ringis pria itu.

Misha mengambil sebuah cek dari dompetnya dan menulis nominal yang telah disebutkan di sana. Setelah selesai ia merobeknya dan menyerahkan pada sang kurir, koper di pegangan sang kurir kini berpindah ke tangan Misha.

"Kalau gitu saya pamit dek" kurir itu pamit.

"Eeeh! Pak!" pekik Misha saat kurir itu pergi.

"Kenapa dek?" tanya kurir itu kembali kedepan penthouse Misha.

Misha mengeluarkan uang tunai miliknya tanpa perhitungan dan menyodorkan pada kurir tadi.

"Apa ini dek?" heran kurir itu.

"Upah anter nya pak, pasti berat bawa novel novel saya" ujar Misha tersenyum.

"Gausah dek! Saya udah dapet gaji kok," tolak kurir itu.

"Kalo gak nerima aku bakal komplain ke perusahaan bapak!" ancam Misha.

Mau tak mau kurir itu menerimanya dengan berat hati dan berterima kasih pada Misha, ia beranjak dengan langkah gontai.

"Katanya 7 novel perbulan, ini malah kelihatannya" sindir Ryan membuat Misha meringis.

"Pihak penulisnya bikin gue ngiler, apalagi halaman setiap novel ini tiga ribu halaman"

Misha membela diri.

"Haah, lain kali jangan buang buang uang yah.. Meski uang kamu sendiri mending simpen uangnya" tegur Ryan lembut.

Misha hanya mengangguk patuh dan menerjab, mereka masuk dan Misha memperlihatkan isi novel yang mampu membuat Ryan terperangah.

***

avataravatar
Next chapter