19 Bab 19/Hujan Pagi Hari

'10 DESEMBER 2016'

Hujan akhir tahun! Zafran berseragam SMP berlari tunggang langgang mencari tempat berteduh yang aman dari hujan yang turun dengan lebat hari ini. Ia berlari dengan menarik tangan teman perempuan yang sudah terbiasa dipanggilnya 'Gembul'. Tangan mereka bergandeng kuat takut terlepas di tengah hujan. Sementara telapak tangan satunya sibuk menutup kepala seakan telapak itu cukup untuk meneduhi mereka.

Zafran dan Gembul berhenti di depan sebuah Ruko tepi jalan, mereka mengatur nafas, menepuk-nepuk seragam mereka yang hampir basah kuyup.

"Kenapa nggak jalan aja? aku suka hujan!" ucap Gembul memberikan sarannya.

Zafran menatap malas pada Gembul, "tapi aku nggak! gimana kalau Papa marah sama aku?" khawatir Zafran.

"Itu kan kamu, bukan aku!"

"Dasar, Nenek tembem!" ujar Zafran dan dihadiahi dengan juluran lidah dari Gembul.

Zafran membuka tasnya, mengeluarkan payung lipat berwarna biru dari dalam sana. Payung yang sangat malas untuk Zafran kenakan.

"Kamu bawa payung, tapi kenapa malah milih lari? dasar otak keripik tempe!" kesal Gembul tidak habis fikir.

Zafran menghembuskan nafasnya pelan menatap Gembul, membuka payung lipatnya untuk diperlihatkan pada Gembul.

"Lihat! payungnya kecil, nggak akan muat untuk kita. Jangankan kita, aku aja yang pakai sendiri udah seperti batang jamur karena udah nggak cocok lagi pakai ini." Zafran menjelaskan, dan diangguki oleh Gembul.

"Kalau gitu, kenapa masih kamu bawa?" tanya Gembul merasa belum selesai dengan pertanyaannya.

Zafran semakin menghembuskan nafasnya berat dan pasrah, menatap sendu pada gagang payung yang dipegangnya kini. Zafran memayungi kepalanya dengan payung biru tersebut, menatap pada Gembul yang kini juga sedang menatapnya.

"Ini payung yang dibeliin Papa waktu aku kelas satu SD, sampai sekarang Papa masih suruh pakai ini, padahal di rumah ada belasan payung yang berjejer." curhat Zafran, "dan Papa kira aku ini masih anak kecil? disuruh pakai payung seperti ini?"

Gembul terkekeh kecil, mengacak rambut Zafran yang basah dengan gemas, "sikap kamu masih seperti anak kecil, Adek Aran!" goda Gembul membuat Zafran mendengus kesal.

Hujan semakin lebat, membuat pohon-pohon tertunduk tidak mampu menahan beban dari hujan. Angin semakin berhembus kencang, membuat Zafran dan Gembul yang hanya menggunakan seragam sekolah kedinginan.

Hujan semakin mengenai teras Ruko, membuat sepatu dan seragam dua sahabat itu terkena cipratan air hujan. Zafran mengembangkan payungnya, dan memayungi kepalanya dengan payung yang hanya cukup untuk dirinya.

"Gembul! kamu sini aja! biar kita kenanya setengah-setengah!" suruh Zafran sembari menggoyangkan tangannya menyuruh Gembul.

Cewek tembam dengan rambut se-leher itu menggeleng. "nggak mau! aku suka seperti ini aja!" tolaknya mentah-mentah.

"Ya udah! jangan dekat-dekat sama aku!" balas Zafran tidak peduli.

Gembul menjulurkan telapaknya untuk menangkap air hujan, tatapannya tenang memandangi hujan yang menetes. Setiap desibel bunyi yang dihasilkan ketika hujan jatuh, sangat indah menurut cewek tembam itu.

DUARRR!!!!

Petir menyambar tanpa memberi kode, Gembul kaget dan berlari menuju Zafran, menggenggam erat alma milik cowok tersebut. Zafran kaget bukan karena petir, melainkan karena Gembul yang tiba-tiba saja mengenggam ujung alma miliknya. Membuat Zafran menjatuhkan payungnya ke dalam hujan.

"Dibilangin, jangan dekat-dekat aku! kualat kan sama Kakanda Aran yang tampan, mapan dan sopan ini? lain kali harus lebih patuh lagi!" ledek Zafran pada Gembul.

"Aku cuma kaget!" bantah Gembul tidak terima.

Zafran menurunkan bahunya letih, menghembuskan nafasnya dengan panjang.

"Gembul...! kamu berat.....!" lirih Zafran, membuat Gembul mendengus kesal dan mendorong baju Zafran kesal. Cewek itu mengerucutkan bibirnya, membuat Zafran terkekeh puas.

Mata Zafran beralih pada payungnya yang tergeletak, mata Zafran membulat sempurna, dengan cepat ia melangkah menuju payungnya.

"Payung..!!! kamu nggak apa-apa, kan? nggak ada yang patah? nggak ada yang sobek? apa ada yang perlu dioperasi?" panik Zafran tidak tentu.

Gembul berdecih, menatap Zafran kesal.

"Kamu lebih pentingkan payung daripada aku?"

Zafran menatap Gembul malas, menunjuk ke arah payung yang telah dilipatnya kembali.

"Kamu nggak sepenting payung ini! keripik tempe aku menjadi taruhannya kalau payung ini kenapa-kenapa." jelas Zafran, "Papa aku memang banyak duit, tapi kalau ada barang yang rusak atau hilang karena keteledoran aku, Papa pasti akan ngomel. Aku belum siap diomeli."

Gembul mengangguk mengerti, menepuk bahu Zafran, "yang sabar! terus jadi anak yang bandel!"

DUARR..!!!!

Petir sekali lagi menyambar, membuat Gembul melonjak meremas alma Zafran kembali, nafasnya menggebu, wajahnya pucat, semakin mengenggam alma Zafran dengan erat.

Sekali lagi, payung Zafran terjatuh. Kini Zafran hanya menatap usil pada Gembul di depannya.

"Aran! aku kaget!" ucap Gembul masih belum melepaskan genggamannya.

Zafran tersenyum licik, "bilang aja sebenarnya kamu takut, bukan kaget!"

"Aku kaget, Aran!" Gembul tidak terima

Zafran mengangguk saja, kini ia menatap payungnya yang tergeletak di lantai. Matanya menatap tidak santai ketika gagang kayu dari payung birunya telah patah.

"Keripik tempe aku!!!"

***

'2021'

Duduk saling berhadapan, kaki bergetar di bawah meja, pandangan tak peduli dengan sekitar, dunia seperti sedang menyoroti duel oleh dua orang tersebut, akankah kali ini salah satu anak menjadi iblis kembali? atau salah satunya akan kembali menjadi tukang kalah?

Rintik dan detak hujan menjadi suara ketegangan bagi mereka, AS, Jack, Queen, dan King tidak bisa ia keluarkan. Sekop, Wajik, Semanggi, dan Hati menjadi pilihan satu-satunya untuk dia. Dengan lihai, tangannya mengeluarkan kartu Semanggi, meletakkan dengan nafas menggebu di atas meja.

"Tujuh Semanggi!" sentak Raka pada Bintang,

Bintang tersenyum sinis, menggeleng lemah melihat kartu di tangannya yang tinggal satu. Dengan santai ia mengeluarkan satu-satunya kartu yang ia miliki.

"King Semanggi!" sentak Bintang balik, "Anda sudah kalah tujuh kali, Bapak Raka si tukang kalah!"

Raka mendengus kasar, menjatuhkan begitu saja Kartu Remi yang tinggal sepuluh buah dari tangannya, mengacak-acak kartu di meja dengan frustasi.

"Dasar Iblis! semua kartu yang tinggi ada semua dengan, Lo! hari ini gue hanya lagi nggak beruntung." Raka protes tidak terima.

Bintang menepuk bahu Raka berkali-kali, "sebenarnya, tidak beruntung di setiap permainan." Bintang meluruskan, membuat Raka semakin mendengus kesal.

Tidak lama setelah perdebatan dua sekawan tersebut, seorang anak lelaki memasuki kelas dengan berlari kecil dan menutupi kepalanya menggunakan tas sebagai payung. Pagi indah yang diawali dengan hujan.

Anak yang bernama Zafran, dengan otak bertolak belakang dengan wajahnya, Sang Pencinta keripik tempe itu, Menghempaskan tas-nya di atas meja, duduk begitu saja di kursi, menghembuskan nafasnya lega. Untung saja bajunya hanya basah terkena rintikan kecil air hujan.

Zafran melirik ke samping, melihat dua temannya yang sama sekali masih kering.

"Kenapa kalian nggak basah?" sewot Zafran,

Raka mengambil tissue dari bawah lacinya, menggeser ke arah meja Zafran,

"Karena kita datangnya cepat, tidak seperti Anda yang datang cepat jika belum mengerjakan PR." jawab Raka menusuk.

"Lo ngomongin gue, kan?" tanya Bintang tersinggung.

"Bapak Bintang merasa? baguslah!" puas Raka merasa menang.

Zafran mendengus, tangannya sibuk mengelap tas sekolah berwarna birunya dengan tissue yang diberikan oleh Raka. Zafran sibuk merutuki harinya.

"Ini semua karena Kak Eggy yang berlagak pengen ngantar gue, tapi pagi-pagi lupa naruh kunci mobil di mana!" kesal Zafran mengingat kejadian tadi pagi,

"Lo yakin kuncinya nggak hilang karena lo? atau lo tanpa sengaja memasukkan kunci mobil ke dalam toples keripik tempe?" tanya Raka yang sudah memahami sifat Zafran.

Tiba-tiba Zafran berdehem keras, menelan ludahnya dengan susah payah, sepertinya teman-temannya sudah sangat hafal dengan dirinya. Hampir semua ucapan Raka itu benar, dan Zafran tidak dapat menyanggahnya.

Zafran mengalihkan pandangannya pada Kartu Remi di meja Bintang, dengan alasan untuk mengubah topik. Zafran menunjuk kartu tersebut dengan dagunya.

"Kalian dapat dari mana Kartu Reminya?" tanya Zafran beralih topik.

Raka mengarahkan jempolnya ke belakang, menunjuk seorang gadis berkacamata yang sedang sibuk membaca buku komik. Sudah pasti, dan Zafran yakin jika itu adalah Kayla lagi.

"Mimi!" panggil Zafran, membuat Kayla beralih dari komiknya dan menatap Zafran. Sepertinya panggilan 'Mimi' sudah melekat untuk Kayla, "kali ini nyogok apaan? nggak sengaja matahin gagang loker?"

Kayla memutar bola matanya malas, memilih untuk kembali baca buku komiknya, kegiatan membacanya tidak boleh dirusak oleh pria seperti Zafran. Zafran terkekeh puas karena berhasil membuat cewek itu kesal, sepertinya hidup Zafran sangat hampa jika tidak mengusik orang-orang, apalagi orang seperti Kayla.

Raka tiba-tiba mengeluarkan kertas dari dalam tas-nya, menunjukkan kepada dua temannya. Kini Zafran dan Bintang menatap penuh tanya pada kertas tersebut.

"Ini nama-nama siswa di kelas ini," ucap Raka sebelum dua temannya bertanya.

"Urusannya sama kita apa?" tanya Bintang.

"Gue nggak perlu dikasih ini juga udah hafal semua nama yang ada di kelas." tambah Zafran masih belum mengerti dengan maksud Raka.

Raka memijit pelipisnya, berusaha untuk tetap sabar. "dengarin gue dulu!"

Zafran hormat dengan tegap, "siap Pak Ketua!"

"Jadi ini daftar nama-nama murid yang akan ikut dalam Festival Olahraga Tahunan Sekolah, gue pengen kalian tulis pertandingan olahraga apa yang ingin kalian ikuti!" suruh dan jelas Raka langsung pada intinya.

Bintang menggaruk kepalanya, sedikit bingung ingin berpartisipasi dengan olahraga apa. Sementara Zafran tanpa ragu, mengambil bolpoin dari meja Raka, menulis tanpa pikir panjang.

"Udah! gue sudah jelas akan ikut dalam pertandingan ini." semangat Zafran menunjuk pada hasil tulisannya. Raka dan Bintang mengangguk sudah yakin ketika melihat nama 'Basket' ditulis oleh Zafran.

"Lo? ikut apa?" kini Bintang melontarkan pertanyaan pada Raka. Membuat Raka juga ikut kebingungan ingin memilih olahraga apa.

"Sepertinya gue tahu!" ucap Zafran membuat Raka dan Bintang menatap Zafran penuh tanya.

Zafran mengembangkan senyumnya lebar, menatap Raka dengan tatapan usil, mengeluarkan jempolnya dan menaik turunkan alisnya.

"Lomba main boneka Ultraman!"

***

Sarah memeluk tasnya melewati koridor menuju kelasnya, tas itu baru saja ia jadikan payung ketika harus melewati halaman sekolah untuk menuju ke sini. Sarah bisa saja datang lebih awal jika ia tidak harus menghafal dan mengulang materi yang terlupakan karena hari ini ada Ulangan IPA.

Sarah berjalan menuju kelasnya, terlihat anak-anak yang sedang me-ngepel lantai di depan kelas karena rintikan hujan yang sampai di sana.

Sarah masuk melewati pintu kelas, dan menghentikan langkah tepat di depan pintu. Sarah menjuru menatap meja paling kiri, nomor dua dari depan, tetapi bukan yang paling sudut.

Bukan tanpa sebab, hanya saja Sarah melakukannya karena tadi pagi ia membaca sebuah catatan di cerminnya untuk mengingat nama seseorang yang duduk di meja itu.

Itulah yang dilakukan Sarah sebagai kewajibannya setiap hari. Yaitu mengingat orang-orang yang ada di catatannya, meski terkadang Sarah tidak yakin alasan kenapa ia harus mengingat orang tersebut, ataupun alasan kenapa orang tersebut minta diingat. Setidaknya, Sarah sudah mengingat orang itu untuk hari ini.

Mata Sarah terhenti pada seorang cowok yang kini juga sedang menatapnya dengan senyum dan tatapan penuh harap. Sarah mengulas senyum tipis, menghembuskan nafasnya pelan. Berbeda dengan yang lainnya, kali ini Sarah punya alasan kenapa ia harus mengingat cowok itu.

"Oke! dia Zafran Andara Romero! si Pengingat!"

avataravatar
Next chapter