17 Bab 17/Dia Lagi

Hari minggu, hari yang ingin Zafran habiskan di atas kasur. Pria yang menyebut dirinya tampan itu meringkuk di dalam selimut, tidak ingin melakukan apa-apa, setelah belajar di sekolah, ia juga ingin belajar menikmati hidup santai.

Tidak peduli cahaya matahari yang sudah keluar, tidak peduli jam dinding dengan jarum yang sudah tinggi, tidak peduli dengan keributan Kak Eggy yang sedang menuju ke dalam kamarnya.

Selimut Zafran ditarik, membuat Zafran menatap kesal dengan seseorang yang sudah berani mengganggu hari minggunya, Zafran menatap tanpa peduli dengan muka bantalnya.

"Adek ku, Kakak mu ini ingin meminta tolong dirimu untuk pergi ke supermarket, bisakah kamu melakukan permintaan Kakanda?" pinta Eggy berlagak lembut

Zafran menarik kembali selimutnya setinggi dagu, menatap Eggy dengan mata menyipit.

"Gue cuma sekali seminggu bisa begini, jangan ganggu!" tolak Zafran.

"Gue juga sekali seminggu nyuruh lo ke supermarket," balas Eggy lebih benar.

Zafran berdecak keras, menutup wajahnya dengan selimut, semakin malas meladeni Eggy pagi-pagi. Atau sebenarnya, ini bukan pagi lagi?

Eggy menarik selimut Zafran lagi, membuat Zafran mengacak rambutnya frustasi, semakin ia menolak permintaan Eggy, maka akan sangat sering Eggy mengganggunya. Zafran merutuki kenapa Kakaknya tidak ada tugas dadakan saja di Rumah Sakit?

"Beliin gue minuman soda, roti tawar dengan selai kacang, mie instan tiga bungkus, kopi hitam, saus tomat, masker medis, termometer, obat deman, obat flu, dan obat batuk untuk kotak pertolongan pertama di rumah, jika ada yang ingin ditanyakan silahkan!" Eggy mengeluarkan dan memegang uang ratus ribuan, menunggu Zafran mengambilnya.

"Lo pikir otak gue robot sampai harus beli sebanyak itu?" protes Zafran tidak terima, "lagian, lo mau camping atau belajar jadi Ibu Rumah Tangga?"

"Mengajari lo menjadi adek yang berguna,"

"Nggak mau!" decak Zafran teguh pada pendiriannya, kembali meringkuk dalam selimut.

Eggy mendesis panjang, berpura-pura celingak-celinguk melihat sekeliling kamar Zafran, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menghembuskan nafasnya berat.

"Flashdisk di kamar gue mana, ya? padahal di sana ada data penting pasien. Kalau Papa tahu gue hilangin benda berharga, Papa bakal ngapain, ya?"

Eggy menutup mulutnya takut, sementara Zafran mengintip Eggy dari balik selimutnya, mendengarkan ucapan Eggy dengan takut. "apa Papa bakal sita keripik tempe? kurangin uang saku? atau diomeli sepanjang hari? duh... flashdisknya mana, ya?"

Eggy kaget bukan main ketika Zafran membuang selimut dan melompat dari atas kasur, cowok itu merampas uang dari tangan Eggy, dan melakukan hormat dengan tegap.

"Minuman soda, roti tawar dengan selai kacang, mie instan tiga bungkus, kopi hitam, saus tomat, masker medis, termometer, obat deman, obat flu, obat batuk. Hanya itu? siap laksanakan!" semangat Zafran tiba-tiba, membuat Eggy tersenyum penuh kemenangan.

"Ya, hanya itu!"

Zafran mengangguk, menampilkan senyum yang dipaksakan pada Eggy. Zafran berjalan melalui Eggy, baru satu langkah, Zafran langsung berhenti dari jalannya.

"Supermarket depan kompleks hari ini tutup, sepertinya para karyawan mereka lagi libur." info Eggy mengingatkan, Zafran yang mendengarnya langsung membuka mulutnya tak santai.

"Terus gue harus kemana?" tanya Zafran,

"Pergi ke supermarket yang kira-kira dekat dari sini selain di depan kompleks."

Zafran mendecih keras, "gue pakai motor!"

"Ah... motor hari ini sedang perawatan mingguan, nggak enak kalau diganggu."

Zafran semakin membuka mulutnya, merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Sementara Eggy berjalan ke arah adiknya, menepuk bahu Zafran pelan.

"Selamat berolahraga!" ucap Eggy tersenyum penuh kemenangan dan kepuasan dalam hati, lalu keluar dari kamar Zafran, meninggalkan Zafran yang tak bisa berkata-kata, yang hingga kini tidak dapat menggerakkan kakinya.

Zafran menatap sendu pada bantal gulingnya, meratapi nasibnya di hari Minggu ini. Zafran menghembuskan nafasnya panjang dan berat.

"Guling oh guling! apa rasanya nggak punya Kakak?"

***

Sarah membuka plastik bening yang biasanya berisi note kecil persegi berwarna kuning. Sudah tidak ada lagi sisa di sana. Sarah tidak bisa tanpa itu, Sarah sangat membutuhkan catatan kecil itu. Tanpa itu, Sarah akan sulit menjalani hari-harinya yang tak biasa ini.

Sarah memutuskan untuk membeli catatan yang baru. Kini Sarah mengganti pakaiannya dengan baju kaus lengan panjang berwarna pink, celana jins selutut, dan menguncir rambut panjangnya hingga habis.

Sarah berjalan menuruni tangga, mendapati Mamanya yang sedang membersihkan toge sambil bersenandung kecil di meja makan, tangannya sibuk dengan toge, tapi matanya sesekali melirik televisi di ruang tamu, tidak ingin ketinggalan acara FTV pagi favoritnya. Bahkan Sarah masih bingung, karena Mamanya selalu saja menonton film anak muda, tidak seperti ibu-ibu lainnya.

Sarah berdiri di samping Mamanya, membuat Mamanya beralih menatap dirinya.

"Sarah mau pergi ke supermarket dulu ya, Ma. Catatan Sarah udah habis, mau beli yang baru." ucap Sarah menjelaskan tujuannya.

"Kamu bisa ingat jalan ke supermarket?" tanya Salma sedikit khawatir.

Sarah mengangguk, "sepertinya bisa!"

"Kalau gitu, hati-hati! kalau kamu lupa jalan, telfon Mama! jangan terlalu percaya sama orang yang baru dilihat, karena belum tentu mereka sudah pernah bertemu kamu." Salma memperingati.

Sarah mengembangkan senyumnya, menatap Mamanya dengan kekehan kecil.

"Iya, Ma! Mama lupa ingatan Sarah sekuat apa dalam sehari?" Sarah mencoba meyakinkan.

"Iya, iya!" luluh Salma pada akhirnya. Walaupun ia tahu ingatan Sarah sangat kuat dalam sehari, tapi kekhawatiran tak akan pernah hilang dari dirinya terhadap anak satu-satunya.

Sarah pun berbalik, berjalan meninggalkan Mamanya. Sebelum itu, Sarah menunjuk film di televisi, menatap Mamanya dengan cengiran.

"Ma! awas sakit hati nonton ini terus," goda Sarah, lalu benar-benar pergi dari sana.

Salma pun hanya menggeleng melihat tingkah putrinya. Tak lama, mata Salma menatap kepergian Sarah sendu, ia menghembuskan nafasnya lemah.

"Dia nggak akan ingat soal buku itu, kan?"

***

Zafran tidak henti-hentinya merutuki Eggy yang sangat tega membuatnya berjalan jauh sejauh dua kali lipat dari Supermarket depan kompleks.

Olahraga? yang benar saja! bahkan Eggy sangat jarang melakukan olahraga, dengan alasan jika dirinya sudah sehat. Dan kini, berani-beraninya ia menyuruh Zafran untuk berolahraga? jika bukan tentang flashdisk itu, Zafran tidak akan bersedia jauh-jauh ke sini.

Kini Zafran mengelilingi rak-rak panjang di Supermarket, membeli pesanan Kakaknya, yang bagi anak lelaki seperti Zafran itu sangat banyak.

"Minuman soda, roti tawar, selai kacang, saus tomat, kopi," Zafran mengabsen belanjaannya sambil menggaruk kepalanya yang sedang mencoba mengingat, "apa lagi ya?"

"Ah... tempat medis!" ingat Zafran dan berjalan menuju rak-rak tempat menjual masker dan teman-temannya.

Zafran mengambil berkotak-kotak masker dengan kesal, "biar dia nggak nyuruh gue beli lagi, gue beli aja sebanyak mungkin. Kalau bisa, suruh Papa beliin pabriknya!" omel Zafran merasa masih kesal.

"Terus... termometer!" Mata Zafran menjuru di sepanjang rak, lalu menemukan benda yang dicarinya. Zafran hendak mengambil termometer tersebut, tapi tangannya tiba-tiba bersenggolan dengan tangan seseorang yang hendak mengambil buku, tepat di sebelah termometer.

Zafran beralih menatap pemilik tangan, tanpa sadar Zafran melebarkan matanya, menutup mulutnya dengan kaget secara berlebihan, dan menunjuk orang yang kini di depannya.

"Oh, sulit dipercaya! Mbak Amnesia!"

avataravatar
Next chapter