1 Semua Berawal Dari Sini

Aku duduk termenung di kamarku, ditemani air mata yang mengalir deras, tubuhku pun masih terasa lemas. Sungguh tak percaya, adik kembarku telah pergi meninggalkanku di dunia yang fana ini.

Sekali lagi aku menangis, meraung histeris. Dadaku sesak, napasku seolah di tarik paksa hingga tersangkut di tenggorokan.

Padahal baru kemarin kami tertawa bersama, bagaimana bisa dia meninggal sedangkan aku baik-baik saja?

"Dinda! Keluar kamu!" Kudengar suara Mas Alan menggema, bersamaan dengan itu pintu kamarku digedor keras olehnya.

Aku semakin menangis, rasa takut dan bersalah bergerilya menjajah hatiku.

"Dinda!" teriaknya lagi.

Aku menghela napasku, dengan sedikit keberanian kubuka pintu kamarku.

Mas Alan seketika langsung melabrakku, pria itu bahkan sepertinya tak lagi pandang bulu. Dia mendorongku, hingga membuatku jatuh tersungkur di atas lantai.

"Alan ... tenang, Nak. Tenangkan dirimu. Sabar, semua bisa dibicarakan baik-baik," ujar ibunya, mertua almarhumah adik kembarku.

"Ini gara-gara kamu, semua gara-gara kamu!" teriaknya, pupil matanya terlihat melebar, dia tampak begitu mengerikan. Tubuhku bahkan merespon semua ketakutan yang aku rasakan, aku gemetar.

"Ma...maaf, Mas," ucapku diiringi isak tangis yang tiada henti.

Ya, aku mengakuinya, ini semua salahku, Diana meninggal karena aku. Karena aku yang terlalu memaksakan diri untuk tetap mengendarai mobil di malam yang sudah sangat larut.

"Maaf? Apa dengan kata maafmu itu Diana bisa hidup kembali, ha?!" sembur Mas Alan.

"Kamu seharusnya masuk penjara!" serunya.

"Jangan, Mas. Jangan. Aku minta maaf, aku mohon jangan masukin aku ke penjara, aku tahu kalau aku salah, tapi ini semua kecelakaan, Mas," uraiku, berharap hati pria itu melunak walau hanya sedikit saja.

Dengusan kesal terdengar dari diri Mas Alan, pria itu berkacak pinggang, dia mengatur napasnya yang tampak memburu sembari mengalihkan pandangannya dariku.

"Alan," panggil sebuah suara, itu ayahku.

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik," bujuk Ayah yang baru saja selesai menyambut para tamu yang datang bertakjiah.

Mas Alan menghela napasnya, pria itu kemudian keluar dari dalam kamarku.

Akhirnya aku pun bisa bernapas lega. Tante Rina—mertua almarhumah adikku—membantuku berdiri. Wanita paruh baya itu menatapku sendu, kemudian dia berkata, "Maafkan Alan ya, Din. Dia seperti itu karena sedang terpukul berat atas kematian istrinya."

Aku mengangguk, tak dapat seratus persen menyalahkan kelakuan Mas Alan padaku. Apa yang Tante Rini katakan benar, pria itu sedang kalut karena kematian istrinya yang begitu tiba-tiba.

***

Ayah menyuruh kami semua untuk duduk berkumpul di ruang tamu.

Aku duduk di samping Bunda yang tengah menggendong Airin—bayi berusia enam bulan yang harus kehilangan asupan ASI dari ibunya. Sungguh, aku merasa bersalah padanya.

"Kematian Diana, pasti sangat berat bagimu untuk menerimanya, Nak Alan," ucap Ayah. "Tapi ... yang namanya umur, tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Dan kematian Diana sudah menjadi takdirnya."

Alan mendengus, dia seolah tidak setuju dengan apa yang Ayah katakan.

"Jadi maksudnya, ini bukan salahnya? Begitu?!" serunya sembari menunjuk diriku.

"Alan," lirih Tante Rini.

"Ma, Diana meninggal, sedangkan Airin masih butuh sosok ibu. Kalau saja kemarin perempuan ini tidak mengajak Diana pergi keluar rumah, Diana pasti masih hidup sampai sekarang," ujar Mas Alan.

"Istighfar, Alan. Diana meninggal karena memang itu takdirnya, hanya sebatas itu umurnya," tegas Om Rudi, ayah dari Mas Alan.

"Kalian begini karena belain dia, 'kan?" sergahnya, ia kembali menunjukku dengan raut penuh kebencian.

"Bukan, Alan," bujuk Tante Rini.

"Lalu? Kenapa tidak ada yang melaporkannya ke polisi?!"

Aku menggelengkan kepalaku, tubuhku seketika membeku setiap kali kata penjara atau pun polisi disebut. Dua kata itu seolah menjadi ancaman tersendiri bagi mentalku.

"Alan," panggil Bunda. "Coba kamu lihat Airin. Kamu sayang 'kan sama anak kamu?"

"Tentu saja, dia anakku, bagaimana mungkin aku tidak menyayanginya, karena itu aku marah pada orang yang telah membunuh ibunya," ujar Mas Alan, hatiku kembali tertohok keras.

"Lan, kami sudah berdiskusi. Kami semua, para orang tua sepakat untuk mencari sosok ibu untuk Airin, cucu pertama kami," ujar Bunda.

"Maksud, Bunda?" tanya Mas Alan, keningnya tampak berkerut, wajahnya terlihat menampilkan raut kecemasan. Dia seperti menebak sesuatu.

"Kamu ingin Dinda bertanggung jawab atas kesalahannya, 'kan?" sahut Tante Rini.

Kali ini aku yang berkerut kening. Perasaanku entah kenapa tidak enak, rasanya seperti akan ada sesuatu yang membuat jantung berhenti berdetak.

"Iya, tentu saja dia harus bertanggungjawab atas kematian ibunya Airin," ujar Mas Alan, pria yang berusia lebih tua dua tahun dariku.

"Benar," ucap Tante Rini, "karena itu, kami akan menyuruh Dinda untuk menikah denganmu, dia akan menggantikan sosok Diana sebagai ibunya Airin, dia juga akan menggantikan Diana sebagai istrimu."

Mataku membelalak, tubuhku seketika itu seperti membeku di dalam freezer. Ini mustahil. Mereka menyuruhku bertanggungjawab dengan cara seperti ini? Ini sungguh tidak masuk akal.

Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang sangat membenci diriku.

Bersambung....

avataravatar