webnovel

Tidak Sesuai Ekspektasi

"Benar, kalau begitu kamu kerjakan mulai besok saja. Dan, kamu jangan khawatirkan bagaimana kamu bisa sampai ke sini. Aku akan segera mempersiapkan tempat tinggalmu tidak jauh dari kediamanku." Raymond segera berlalu setelah menyelesaikan ucapannya.

Divya segera tersenyum lebar setelah mendengar ucapan Raymond. "Hahaha, aji mumpung! Beruntung sekali diriku ini. Dalam sekejap, aku bisa menjadi jutawan!" pikirnya.

Setelah pulang ke rumah, Divya segera mempersiapkan semua kebutuhan pribadinya. Karena besok ia akan pergi meninggalkan rumah itu. Ia juga tidak ingin membuang kesempatan itu untuk mencari keuntungan. ia berniat menyewakan rumahnya kepada orang lain agar bisa mendapatkan uang.

Namun, semua ekspektasi tidak sesuai kenyataannya. Ternyata, tidak semudah itu untuk mengurus semuankeprluan Raymond. Pria itu begitu beleter dalam segala hal. Divya sampai kewalahan menghadapi sikap sang atasan.

"Kenapa Raymond begitu banyak berbicara? Bahkan, ia terlalu sensitif pada masalah sekecil ini? Aku hanya salah mengurutkan jas kerjanya. Dia sudah semarah itu," gerutu Divya. "Kalau aku tahu seperti ini. Aku tidak mungkin mau menerima usulnya kemarin," lanjutnya seraya melirik ke arah Raymond yang masih duduk sambil menyilangkan kakinya di atas ranjang.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Cepat selesaikan pekerjaan kamu!" sentak Raymond kemudian.

"Baik, Pak!" Divya segera memalingkan tatapannya. "Untung saja hari ini libur. Kalau tidak, aku akan terlambat pergi ke kantor. Hariku akan menjadi sangat mengerikan setelah bekerja bersamanya di sepanjang hari. Kapan aku mendapatkan waktu libur? Argh, kenapa aku begitu bodoh? Seharusnya aku bernegosiasi kepadanya untuk mendapatkan 1 hari untuk mengistirahatkan tubuhku." 

Dengan sangat berhati-hati Divya mulai menyusun seluruh pakaian Raymond. Ya, Raymond mengidap penyakit OCD. Ia akan merasa cemas ketika melihat ketidaksinkronan dalam meletakkan sesuatu hal. Ia juga akan selalu bertindak cepat ketika seseorang melakukan sebuah kesalahan.

Hal itu juga baru Divya ketahui setelah ia salah menyusun rak pakaian dan benda-benda lainnya di dalam kamar pria itu. Namun, penyimpangan yang terjadi pada Raymond belum begitu parah. Sehingga, ia tidak perlu memeriksakan kekurangannya ke psikiater. Divya juga merasa sangat lega ketika Raymond mengatakan bahwa semua pekerjaannya sudah beres.

Wanita itu juga tidak menyangka ia sudah bekerja selama sepuluh jam di dalam tempat itu. Ia baru menyadari ketika melihat arloji yang masih berdetak dengan baik pada pergelangan tangannya. Ia segera terduduk lemas di dalam ruangan tengah. Tatapannya sedikit melirik tajam ke arah Raymond yang baru saja turun dari kamar.

Dengan mata yang terpejam, Divya kembali menggerutu, "Bagaimana besok? Apakah aku harus melakukan hal ini dalam durasi yang sama? Kalau seperti ini, mending aku berubah profesi sebagai pelayan saja!" gerutu Divya merasa sangat letih.

Setelah selesai mengatur napas, ia kembali beranjak dari sana. Ia berniat pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Namun, Raymond menolak, ia malah ingin mengajak Divya untuk menemaninya berbelanja. Mau tidak mau, wanita itu pun mengikuti permintaan sang atasan dengan berlapang hati.

"Jangan khawatir, aku yang akan mengurus kepindahanmu. Berikan saja kunci rumah dan alamat tempat tinggalmu kepada Luke. Dia yang akan mengurus segalanya di sana," ungkap Raymond setelah masuk ke dalam mobil.

"Terima kasih atas kebaikan Anda, Pak." Divya masih tidak berani menatap wajah pria yang ada di sampingnya.

"Raut wajahnya tampak tidak senang. Apakah aku terlalu keras memilihnya tadi? Ah, kenapa aku malah memikirkan hal itu? Memang sudah seharusnya dia menuruti setiap perintahku, 'kan? Aku mempekerjakannya dengan membayar gaji yang cukup fantastis. Seharusnya dia juga tidak keberatan dengan hal itu," gerutu Raymond di dalam benaknya. "Kamu lapar?" tanyanya untuk merilekskan suasana yang tegang itu.

Divya segera mengangguk. "Sejak tadi pagi saya tidak mengkonsumsi apapun, Pak. Energi yang ada di dalam tubuh saya sudah terkuras sangat banyak," ungkap Divya dengan suara yang terdengar sangat lemas.

Raymond kembali menatap sekilas wanita yang ada di sampingnya. "Setelah sampai nanti aku akan mengajakmu makan. Adakah restoran yang kamu rekomendasikan untuk tempat makan siang kita hari ini?"

Divya segera menatap wajah Raymond. "Tidak ada, Pak. Tempat makan saya semuanya di pinggir jalan. Bapak tidak akan merasa nyaman makan di tempat yang seperti itu."

Raymond kembali menatap wajah sekretarisnya. Kedua netra mereka pun saling bertaut intens. Setelah sampai di tempat tujuan, Raymond segera mengajak sekretaris ke salah toko yang menjadi tempat langganannya berbelanja. Ia pun segera mengambilkan satu pasang pakaian untuk wanita yang sudah terlihat sangat lusuh itu.

Setelah dari sana, ia segera membawa Divya ke tempat perawatan kecantikan. Ia juga memerintahkan seluruh pelayan yang ada di sana untuk membersihkan tubuh sekretarianya. Raut wajah kelimpungan masih terus membekas pada wanita tersebut. Namun. Ia tidak bisa banyak berucap karena mengingat keharusannya sebagai pekerja sang atasan.

"Aku juga tidak mau mengajak wanita berpenampilan begitu untuk menemaniku berbelanja," gerutu Raymond setelah memastikan bahwa Divya sudah masuk ke dalam ruangan.

***

"Permisi, Nona-nona. Bisakah saya membersihkan diri saya sendiri?" pinta Divya, ia merasa sangat tertekan dengan sentuhan-sentuhan para pelayan.

"Tentu saja, Nyonya. Silakan!" ucap salah seorang pelayan.

Divya segera masuk ke dalam ruangan khusus itu. Netranya masih merasa sangat takjub melihat kemewahan yang ada di dalam kamar mandi. Dengan cepat, ia segera meletakkan pakaian gantinya pada salah satu lemari yang ada di sana. Satu persatu ia mulai melucuti pakaiannya.

"Hm, kenapa Raymond memperlakukan aku seperti ini? Apakah dia benar hanya menganggapku sebagai sekretarisnya saja? Namun, firasatku tidak demikian. Sepertinya dia mulai tertarik dengan diriku," gerutunya seraya mulai masuk ke dalam bak mandi.

Sudah hampir satu jam waktu berlalu. Kini, Raymond sudah mulai merasa sangat gelisah. Ia pun merasakan panas yang berlebihan pada tempat duduknya. Untuk meringankan rasa itu, ia mencoba untuk berjalan bolak balik di sana.

"Pak!" panggil Divya setelah selesai mendapatkan perawatan.

Raymond segera berbalik, ia merasa terpanah melihat perubahan yang  terjadi kepada sekretarisnya. Sangat menawan dan afdal dilihat oleh mata loncos. Raymond juga sampai terpaku dan tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Divya segera mengernyitkan dahinya ketika melihat reaksi sang atasan. Ia juga mulai mengayunkan tangannya di depan wajah Raymond.

"Pak Raymond? Kenapa Anda menatap saya seperti itu? Apakah Anda tidak menyukai pakaian ini?" tanya Divya setelah tidak mendapatkan respon apapun dari Raymond.

Raymond langsung tersentak dan secepat mungkin ia alihkan pandangan wajahnya. "Hm, sudah selesai, ya?"

"Sudah sejak tadi, Pak." Divya masih berusaha melihat pandangan wajah Raymond. "Karena wajahnya menjadi merah itu? Dia sudah melihat apa?" tanya Divya merasa sangat penasaran.

Divya kembali menatap cara berpakaiannya dari cermin datar yang ada di sana. Ia pun mulai menaikkan pakaiannya yang sedikit terbuka di bagian dada. Setelah itu, ia kembali merapikan rambutnya yang sedikit terhempas oleh angin. Rasa insecure-nya tidak berhenti sampai di sana saja. Ia juga mulai mengendus aroma parfum yang sudah ia pakai.

"Semuanya tampak baik. Namun, kenapa Raymond masih mengalihkan pandangannya dari diriku? Dia ini kenapa?" tanya Divya seraya kembali melirik tajam ke arah pria tersebut.