3 Tembok Restu

"Rick, Papa lihat belakangan ini ada yang berbeda dari kamu," ucap Papa suatu pagi saat kami sedang sarapan.

"Beda bagaimana, perasaan Ricky biasa saja?'

"Papa perhatikan kamu jadi semakin rajin dan sering liburan," jelasnya.

"Iya, Ricky bosan di rumah terus. Sekali-sekali pengen juga seperti teman-teman yang lain."

"Bagus itu, jangan di rumah terus, biar bisa ketemu orang banyak, siapa tahu ketemu jodoh," ujar Papa yang membuatku tersedak.

"satu lagi, sepertinya akhir-akhir ini kamu juga makin rajin sholat," tambahnya.

"Soal itu ... Ricky ...."

"Ada apa Rick?" Papa bertanya penasaran. Sebenarnya aku ingin mengatakan kalau jodoh itu sudah datang, tapi mendadak keraguan menyergap.

"Tidak ada apa-apa kok, Pa," jawabku akhirnya.

"Kalau mau cari pacar, cari yang benar. Jangan asal dekat terus dipacari, lihat latar belakangnya dulu seperti apa," jelas Papa menasehatiku.

"Iya Pa, Ricky paham, tahu, Papa tenang saja, nanti kalau sudah ada orangnya, Ricky kenalkan ke keluarga. Ya sudah, Ricky berangkat kerja dulu."

Seharusnya ini hal yang mudah, cukup mengatakan kalau aku sedang naksir seseorang, tapi ada seperti ada sesuatu yang berbisik dan membuatku ragu.

Selesai bersiap, aku menuju warung tempatku bekerja. Karena sedang sepi, iseng-iseng kubuka kembali foto-foto di Kota Lama waktu itu. Rasanya menyenangkan melihat foto-foto tersebut. Salah satu yang paling menarik bagiku adalah saat Ayu memainkan rambutnya dengan jari. Sejurus kemudian, sebuah ide melintas, untuk membuat versi sketsanya.

'Ini bakal jadi kejutan manis untuk dia, yo ... let's rock!' batinku semangat. Segera kuambil selembar kertas dan kemudian mulai menggambar. Setelah selesai, aku kirimkan hasilnya ke Ayu.

[Wah, ini yang kemarin, kan? Keren banget bisa dibuat sketsa. Kamu buat sendiri?]

Aku tersenyum puas melihat responnya.

[Iya, iseng-iseng saja sih, masih belajar].

[Ini kalau Maya lihat pasti senang banget], balasnya.

*****

Sembari membaca chatt history, kenangan-kenangan kami berkelebat. 'Mungkin ini saatnya memberi tahu keluarga. Bismillah, nanti malam pas kumpul.'

"Pa, Ma, ini mumpung lagi ngumpul, Ricky mau ngomong," ucapku yang membuat mereka kebingungan.

"Ada apa, Nak?" tanya Mama penasaran.

"Ricky sedang dekat dengan seseorang, kami bertemu dua bulan lalu di pasar rakyat," jelasku menahan gugup. Entah bagaimana reaksi mereka.

"Oh, pantas kamu berubah seperti sekarang, jadi karena itu ...."

"Siapa namanya, kapan dibawa ke rumah?" tanya Mama antusias.

"Namanya Ayu, ya nanti kapan-kapan Ricky coba ajak dia main ke rumah."

Mendapat respon positif, aku mulai memikirkan cara mengajak Ayu ke rumah. Akhirnya terlintas sebuah ide. Kuakui, tak mudah mengajaknya berkunjung. Namun akhirnya ia mau juga

Hari Minggu, setelah bersepeda aku mengajaknya. Sempat menolak, namun akhirnya dia setuju.

"Oh, jadi kamu yang namanya Ayu, dia sering cerita soal kamu. Ayo masuk," sapa Papa yang membuatku merasa malu.

'Papa bisa saja bikin malu anaknya, baru juga bilang satu kali, kok dibilang sering,' batinku kesal.

Percakapan kami berjalan seru, kadang-kadang diselingi tawa, sampai kemudian pada sebuah pertanyaan, "Nak Ayu tinggal dimana?"

Saat tahu Ayu tinggal di jalan Nangka, raut wajah Papa terlihat berubah.

"Nangka, ya. Saya punya teman disana, namanya Pak Alex, tahu?"

"Pak Alex, Alex Sumargo?" tanya Ayu seolah ingin memastikan.

"Ya, Pak Alex Sumargo," jawab Papa dengan nada yang berat, seperti menahan amarah.

"Saya anaknya, Om."

Mendengar jawaban Ayu tersebut, Papa langsung bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang tamu. Tak lama terdengar suara meja digebrak.

"Pergi kamu, jangan pernah dekati anak saya!" usir Papa tiba-tiba. Aku yang bingung dengan perubahan sikap Papa coba menenangkan.

"Diam kamu, jangan ikut-ikutan kamu!"

"Ayo, cepat pergi, awas kalau berani dekati anak saya lagi!" bentak Papa pada Ayu yang masih terpaku. Aku memberinya kode untuk pulang saja.

"Ricky, mau kemana kamu, gak usah sok-sok an mengantar dia pulang!"

Melihat kemarahan Papa, Ayu segera pamit pulang.

Situasi mendadak tegang, aku masih bingung dengan perubahan sikap Papa tadi. Papa lantas memperingatkanku agar tidak mendekati Ayu lagi.

"Awas kalau kamu dekat-dekat lagi sama Ayu, Papa usir kamu!"

"Memang ada masalah a....?" Aku coba bertanya.

"Kamu gak perlu tahu, bukan urusanmu. Cari wanita lain!" bentak Papa memotong pertanyaanku.

"Sudah, Rick, turuti saja Papamu." Mama yang sejak tadi diam coba menengahi.

"nanti kita jelaskan, sekarang Papamu sedang emosi," imbuhnya. Tak ada pilihan lain, aku meninggalkan mereka dan masuk ke kamarku.

Dari dalam kamar, aku dapat mendengar Papa dan Mama bertengkar. Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi hingga Papa begitu membenci pak Alex. Aku memandang sketsa wajah yang kemarin kubuat. "Kok jadi seperti ini?" ucapku lirih sambil memandangi sketsa tersebut.

[Maaf ya atas kejadian tadi], kukirim pesan tersebut ke Ayu. Cukup lama tak ada balasan darinya, pesan yang tadi kukirim hanya dibaca. Melihat itu, rasanya ada sedih yang menyergap. Dua pesan berikutnya bahkan sama sekali tidak dibaca. Aku merasa hancur.

Waktu makan malam biasanya menjadi waktu yang menyenangkan, namun setelah kejadian tadi siang, makan malam kali ini terasa dingin.

"Kamu tahu, terkadang apa yang kita inginkan tak selalu kita dapatkan," ucap Papa membuka percakapan. Aku mendengus kesal. Aku yakin yang Papa maksud adalah aku.

"Pah ...." Mama seolah memberi kode agar tidak melanjutkan. Tapi sepertinya Papa tidak mengindahkan.

"Maafkan Papa sudah mengusir Ayu ...," ucap Papa mengambang.

"Memang Ayu salah apa?" tanyaku bergetar menahan marah.

"Yang salah adalah ayahnya. Dulu kami adalah sahabat, sampai akhirnya dia mengkhianati kepercayaan Papa, dia hampir menghancurkan bisnis yang kami bangun," jelas Papa yang membuatku tercengang.

"Sudahlah, Pa. Jangan diteruskan lagi, wong ya belum terbukti." Mama kembali meminta Papa menghentikan.

"Memang tidak ada bukti nyata, tapi kesaksian para karyawan dulu sudah cukup!"

"orang tuanya saja seperti itu, bisa saja itu menurun ke anaknya. Kamu harus hati-hati. Jauhi dia, kamu gak perlu terlalu mikir jodoh. Cewek lain masih banyak kok," tambah Papa padaku.

Deg, jantungku serasa berhenti mendengar kata jodoh. Kembali ingatan tentang Ayu berkelebat. Aku segera meninggalkan ruang makan.

"Hei, mau kemana kamu?!" panggil Papa.

Aku tak menjawab dan memilih masuk ke kamar.

"Kenapa seperti ini, kenapa cinta pertamaku seperti ini," bisikku sambil memandangi fotonya.

"Mas berharap kita bisa lebih dari ini. Mas kenalkan kamu ke keluarga karena Mas yakin kamu itu ... ah sudahlah ... tapi malah ...."

"Rick, yang sabar ya, nanti cari yang lain. Cewek masih banyak, kok," ujar Mama tenang.

"Buka pintunya, Nak. Mama mau bicara, kamu suka kan sama Ayu?" tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut, aku akhirnya membuka pintu.

"Iya Ma, Ricky suka sama dia, pada pandangan pertama sudah langsung suka, dia ... itu begitu berarti, dia yang membuat Ricky jadi lebih baik," jawabku sambil sedikit terisak.

"Cie, cinta pada pandangan pertama nih ceritanya. Mau Mama bantuin?" Mama menawarkan bantuan.

"Bantuin gimana?" tanyaku bersemangat.

"Ya nanti kamu tahu sendiri. Tapi tidak bisa Mama sendiri, kamu juga harus berusaha, dan juga minta bantuan dari Allah, bisa?"

"Bisa, Ma. Siap!" jawabku mantap.

Mama tersenyum mendengar jawabanku. " Mama bisa merasakan, kalian sebenarnya jodoh. Ya sudah, sekarang istirahat sana, jangan nangis lagi. Cowok kok gampang nangis."

Mendapat dukungan dari Mama membuatku kembali bersemangat. 'Sekarang saatnya berjuang!' batinku

avataravatar
Next chapter