webnovel

Tidur dengan Demit?

"Kemana sih Raflina?"

Tama berjalan mondar-mandir di depan rumah Raflina. Setelah pulang kerja, dia langsung menuju rumah kekasihnya itu. Tapi dia tidak mendapatinya disana. Pintunya terkunci rapat.

Pria itu sangat resah. Selama bekerja, pikirannya tidak fokus. Yang ada dibenaknya hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan Raflina. Ada hal penting yang ingin dia bicarakan secara serius. Sebuah rencana yang sudah dia pikir masak-masak dan mungkin bisa membuat Raflina insyaf akan perbuatannya.

Ingin sekali dia menghubungi Raflina, hanya saja gadis itu tidak mempunyai telepon genggam. Jadi kalau memang ada yang dibicarakan Tama menghubungi telefon rumah atau kalau enggak nomor kantornya. Sebenernya, Tama mau membelikannya tapi gadis itu menolaknya. Dia beralasan kalau ingin bertemu tinggal datangi saja rumahnya.

Tapi, kini gadis itu tidak ada di rumahnya. Padahal Tama sudah ingin membicarakan hal ini. akhirnya dia duduk di kursi teras sambil menanti kedatangan kekasihnya itu.

Pukul sembilan malam, Tama bangkit dari tempat duduknya saat mendapati Raflina tengah berjalan ke rumahnya.

"Kamu dari mana saya?" tanya Tama yang tampak gusar. Raflina tertegun dengan perubahan sikap tunangannya itu. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal tapi gadis itu terlihat sangat santai.

"Aku baru saja di terima sebagai tourguide tadi, dan langsung disuruh kerja makanya aku pulang sampai larut malam." gadis itu berlalu dari hadapan Tama yang menatapnya dengan pandangan yang serius. Dia merogoh kunci rumah dari tasnya untuk membuka pintu rumah.

"Raflina! aku sedang bicara denganmu!" Pria itu memegang kedua pundak mungil Raflina dan memutarnya kehadapannya. Dia tidak terima dengan kelakuan Raflina yang mengabaikannya, padahal dia ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

"Apa sih?" tukas Raflina sambil berusaha melepas pegangan tangan Tama, tapi percuma saja tenaga tama lebih kuat. Tama masih kekeh dengan posisi itu sembari menatap mata tunangannya yang diliputi kebingungan.

"Kamu kenapa sih? kok jadi aneh seperti ini." tanya Raflina sembari tatapannya yang tidak gentar berhadapan dengan tatapan Tama yang seakan mengintimidasinya.

"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu." Tama memejamkan matanya dalam-dalam sambil menghela nafas. Dia tengah mempersiapkan mental untuk mengatakan hal penting ini.

"Bicara apaan sih?" kejar Raflina yang tidak sabar.

"Aku ingin menikah secepatnya." Tuturnya pada akhirnya. Raflina terbelalak. Sejenak, mereka saling beradu pandang. Menyelami hati masing-masing melalui sorot mata.

Gadis itu menghalau kedua tangan Tama yang sudah mulai kendor cengkeramannya dan beringsut untuk membuka pintu. Tama berusaha memegang lengannya tapi gadis itu dengan tegas menepisnya.

"Sayang, ayo kita menikah. Aku tidak sabar ingin menjalani bahtera rumah tangga bersamamu." Ujar Tama penuh kesungguhan. Tapi Raflina tidak mengubrisnya. Begitu pintu terbuka, dia langsung menerobos masuk untuk menjauhi Tama.

"Raflina kenapa kamu diam saja! jawab!" seru Tama dari ambang pintu. Gadis itu berhenti dan membalikan badan.

"Kamu 'kan tahu sendiri kalau aku tidak mau untuk menikah, sebelum..." perkataannya menggantung.

"Sebelum apa? sebelum banyak nyawa orang yang tidak berdosa yang melayang di tanganmu! Sampai kapan Sayang. Sampai kapan kamu menuruti insting sesatmu ini!" Ujar Tama menggebu-gebu. Ada perasaan lega di dalam hatinya. Sesuatu yang sudah lama dia pendam-pendam akhirnya keluar juga.

Gadis itu terdiam. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tama menjadi merasa bersalah. Apa mungkin perkataanya tadi telah menggores hatinya? Ada sedikit rasa sesal yang menyesaki dadanya tatkala melihat orang yang dikasihinya menangis. Sudah dua kali dia melihat kekasihnya itu menangis. Pertama beberapa hari yang lalu ketika di desa sekartaji dan sekarang gadis itu memangis akibat perkataannya.

Tama pun mendekatinya. Dia menarik tubuh gadis itu ke dadanya. Memberikan sandaran atas sebuah luka yang mengangga. Gadis itu semakin terisak.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk menyakitimu." Lirih Tama. Lalu dia membimbing gadis itu di duduk di sofa. Tapi secara tidak terduga, Raflina mendorong tubuh Tama hingga terjengkang di sofa. lalu dia berlari menuju kamarnya dan menutupnya rapat-rapat.

"Raflina!" pekik Tama. Pria itu menyusulnya sampai depan pintu kamar. sembari mengetuk pintunya, dia berkata.

"Maafkan aku Raflina, aku tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu! Aku hanya ingin supaya kita cepat menikah dan hidup dengan bahagia!"

Tapi mau dia berbicara sekuat apapun, gadis itu tidak akan membuka pintunya. Tama menyerah, dia melangkah gontai menuju ruang tamu dan duduk di sofa. dia memegang keningnya yang terasa berdenyut.

Awalnya dia berpikir kalau Raflina menikah dengannya, maka secara tidak langsung dia akan terfokus dengan sebuah kebahagiaan dan bisa melupakan atas dendam yang mendarah daging itu. Tapi siapa sangka, justru sikapnya tadi telah menyakiti kekasihnya itu. Tindakan superbodoh dan egois dengan memaksa pasangan yang belum siap untuk menikah.

Akhirnya, Tama hanya bisa menyandarkan tubuhnya di sofa yang empuk. Dia memutuskan untuk berada di sana sampai Raflina keluar dari kamarnya. Walaubagaimanapun dia tidak mau untuk meninggal Raflina dalam kondisi seperti ini.

Tiba-tiba suasanya menjadi sangat hening. Tidak ada hembusan angin yang membelai dedaunan diluar sana pun dengan binatang malam yang seolah membisu. Tama tertegun sejenak. Dia yang semua bersandar pun menegak karena merasakan bulu romanya yang menegak. Nafasnya menderu. Perasaannya sangat tidak enak.

Tiba-tiba dari pintu utama yang terbuka, masuklah sekelebat bayangan putih yang melintas didepannya dengan sangat cepat. Tama hampir melonjak dibuatnya. Tatapannya nanar melihat ke arah ruang tengah. Lantas dia teringat dengan mahluk mengerikan yang dia temui di ruang rahasia itu.

Tunggu dulu

Dia tercenung sesaat setelah menyadari sesuatu. Hantu yang dia temui di rumah ini sama persis dengan hantu yang dia temui di rumah belanda yang estetik itu. Hantu kebaya merah dengan jarik yang dipenuhi oleh darah. Sebuah pertanyaan besar timbul dibenaknya. Kenapa hantu itu terus menghantuinya.

Di tengah pikirannya yang berkecamuk, tiba-tiba pintu kamar Raflia terbuka seperti dibanting. Lalu munculah Raflina. wajah gadis itu tampak pucat, matanya terbelalak lebih besar dari biasanya, serta dia menyeringai seperti psikopat.

Tama pun bangkit dan segera menghampiri pacarnya itu. Memeluknya dengan sangat erat sambil berkata minta maaf atas perkataannya tadi. Sekilas Tama mencium bau anyir seperti darah, tapi dia mengabaikannya. Dia lebih terfokus kepada Raflina.

Beberapa saat kemudian, Tama melepas pelukannya. Dia memandang wajah Raflina yang masih tersenyum psikopat dengan mata yang terbelalak. Tama menangkap bahwa gadis itu telah memaafkannya dan berniat untuk pulang ke rumah.

"Tidurlah bersamaku disini." lirihnya dengan suara datar. Tama menaikan alisnya sebelah. Tidak biasanya tunangannya ini memintanya untuk tidur bersamanya. Paling banter kalau menginap, dia tidur di sofa, tidak pernah sekamar.

"Kamu serius?"

Gadis itu tidak menanggapi perkataan Tama. Dia menarik tangan pria itu dan memintanya untuk terbalik di kamar. Tama yang belum percaya sepenuhnya lantas menurutinya. Sebenernya jauh di dalam hatinya, dia sangat menginginkan hal ini. Dengan sangat antusias, dia tidur telentang. Lalu perempuan itu mengambil posisi tidur diatas dada Tama dan memeluknya dengan sangat erat. Tama memejamkan mata sambil tersenyum. Tangannya sibuk mengelus-elus rambut kekasihnya itu, yang tidak dia sadari adalah jelmaan dari mahluk mengerikan itu.

Next chapter