webnovel

Bab 1 Merajut Asa

Tino menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi dengan Andrea. Tidak mengantongi izin dari orang tua Andrea, karena perbedaan kasus sosial membuatnya memutuskan untuk tidak mengumumkan hubungan mereka secara terang-terangan. "Jangan pernah Kamu berpacaran dengan laki-laki sembarangan. Kalau Papa tahu Kamu menjalin hubungan dengan laki-laki seperti itu, jangan harap Papa akan memberimu uang bulanan dan membayar kuliahmu." Papa Andrea sempat mengancamnya untuk tidak memberi uang bulanan dan membayar uang kuliah, jika menjalin hubungan dengan orang seperti diriku.

Sehingga, Andrea tidak berani mengatakan bahwa dia sedang dekat denganku kepada papa dan mamanya. Namun, meskipun demikian, sepertinya mereka sudah tahu bahwa anak perempuan yang sangat mereka sayangi sedang dekat dengan seseorang. Sehingga, bukannya diminta untuk memperkenalkan aku kepada mereka, tapi Andrea malah sengaja dikenalkan dengan laki-laki lain yang dianggap lebih pantas bersanding dengannya daripada aku.

Aku bukanlah orang kaya yang bisa dianggap sederajat dengan keluarga Andrea. Jika patokan dari pantas tidaknya seseorang bersanding dengan Andrea adalah kekayaan, aku pasti tidak akan pernah punya tempat di sana. Aku hanya punya tekad dan kerja keras untuk merubah nasibku.

Lahir dari orang tua kaya tanpa pernah memikirkan esok akan makan apa menjadi impian semua anak di dunia. Begitu pun dengan bersekolah setinggi mungkin, lulus dengan nilai yang baik, diterima kerja di perusahaan besar di Indonesia, bahkan di dunia. Aku sama dengan mereka yang memimpikan semua itu dalam hidupku.

Panggil saja aku Tino. Aku bukanlah orang yang terlahir dari keluarga kaya atau pun bekerja di perusahaan besar di Indonesia, apalagi di mancanegara. Aku terlahir dari keluarga yang memiliki ekonomi rendah dan harus berjuang sendiri untuk masa depanku. Jangankan untuk kuliah, untuk menyelesaikan program sekolah wajib dari pemerintah saja orang tuaku sudah enggan dan malah memintaku membantu mereka di sawah.

Jangan panggil aku Tino, jika harus menyerah dengan keadaan. Aku memiliki tekad bulat untuk membuat kehidupan keluargaku jauh lebih baik dari sekarang. Terlebih aku adalah seorang laki-laki. Laki-laki diciptakan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Harus lebih kuat dan lebih tangguh untuk menghadapi cobaan hidup yang datang bertubi-tubi.

Dengan tekad kuat, restu kedua orang tua berhasil kudapatkan, sehingga aku berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi. Sebagai seorang anak pertama yang memiliki 2 (dua) orang adik perempuan, mungkin yang kulakukan tidak seperti kebanyakan anak pertama. Anak pertama yang mengalah dengan adik-adiknya dan memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya, kemudian memutuskan untuk bekerja saja. Bagiku, pendidikan adalah nomor satu. Langkah awal yang harus aku perjuangkan sebagai modal masa depanku.

Meskipun belum tahu nantinya akan pakai uang dari mana untuk menutupi biaya selama kuliah, tapi aku yakin bahwa Tuhan akan membantu hambanya yang selalu berusaha. Walaupun tanpa ada usaha keras masih ada orang yang sukses, misalnya yang didapatkannya dari orang tua, tapi aku tidak merasa iri terhadap mereka. Aku tak mau kalah dengan mereka yang tidak pernah merasakan kucuran keringat yang keluar dari dahi dan tidak tahu rasa perih akibat tersengat terik mentari, serta rasa lelah yang luar biasa.

Keras kepalaku kali ini akhirnya membuahkan hasil. Aku menolak tawaran Bapak untuk menjadi kondektur bus malam, sembari perlahan-lahan belajar menyetir. Aku memilih untuk tetap mengikuti instingku menggunakan tabungan hasil jualan pulsa untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Negeri di Kota Atlas, Semarang.

Uang yang kudapatkan dari hasil berjualan pulsa dari ruang kelas satu ke ruang kelas lainnya adalah pendapatan terbesarku. Receh memang, untung yang hanya 500 hingga 900 perak pada setiap transaksi yang kudapatkan menjadi penolongku saat itu. Setidaknya biaya pendaftaran sudah dapat terpenuhi. Perkara nanti kalau diterima harus mengeluarkan biaya gedung, SPP dan lain-lain adalah urusan belakangan.

Selang beberapa minggu setelah ujian masuk universitas, aku dinyatakan lulus dan harus membayar biaya yang sudah dijelaskan pada saat pendaftaran. Uang sebesar lima belas juta rupiah harus aku siapkan dalam waktu satu minggu sebelum masuk kuliah. Nominal yang sangat besar bagi aku dan keluarga. Tekadku yang semula kuat perlahan mulai melemah, tapi aku mencoba untuk tetap tenang agar bisa segera menemukan jalan keluar.

Ketika aku meminta solusi dari orang tuaku, bapak terlihat murka. "Kan sudah Bapak beritahu sejak awal, Kamu tetap ngeyel! Uang segitu Bapak dapat dari mana? Mbok ya Kamu mikir!" tegas bapak.

"Sabar, Pak. Namanya juga Tino ingin nasib keluarga kita bisa lebih baik, tidak susah terus seperti sekarang," ucap ibu mencoba menenangkan bapak.

"Tidak susah seperti sekarang bagaimana? Ya ini, Tino malah membuat kita jadi tambah susah. Duwit lima belas juta mau dapat darimana?" teriak Bapak.

"Itukan masih ada sawah. Jual saja tidak apa-apa, insyaallah nanti ada rezeki lagi. Masak Bapak tidak mau anaknya jadi sarjana. Nanti kita juga yang akan bangga," rayu ibu.

"Sawah tinggal satu kok mau dijual, terus Bapak mau menggarap apa kalau sawah itu dijual?" tanya bapak.

"Kan Bapak masih bisa menggarap sawah tetangga, sapi juga masih bisa diternak dan nanti beranak pinak." Ibu mencoba meyakinkan.

"Tino janji, apa yang sudah Bapak dan Ibu korbankan saat ini, akan Tino bayar dikemudian hari," tandasku.

"Sudahlah, Nak. Tidak perlu seperti itu. Memang sudah kewajiban Ibu dan Bapak untuk menyekolahkan Kamu dan adik-adikmu setinggi mungkin. Cuma ya seperti inilah keadaan Bapak Ibu, tidak bisa membantu dan menjanjikan banyak kepada kalian," lirih Ibu.

"Tidak apa-apa Bu, kami mengerti kok. Tino berterima kasih sekali sudah diizinkan melanjutkan kuliah dan dibantu membayar uang gedung dan SPP yang belum bisa Tino bayarkan sendiri. Besok kalau sudah kuliah, Tino mau kerja part time biar tidak menyusahkan Bapak Ibu lagi. Kuliah bisa pakai duit sendiri. Bapak dan Ibu cukup memikirkan Nina dan Lila saja setelah ini," pintaku.

"Ya sudah kalau mau Kamu seperti itu. Benar kata ibumu, memang ini kewajiban kami untuk menyekolahkan Kamu dan adik-adikmu sampai kuliah sekalipun. Siapa tahu nanti Kamu bisa membantu kami menyekolahkan adik-adikmu. Bapak dan Ibu sudah tua, bekerja sudah tidak sekuat dulu," terang Bapak.

"Iya, Pak. Tino janji dan akan terus mengingat janji Tino kepada Bapak dan Ibu," ungkapku.

***

Berkat Bapak dan Ibu yang bersedia menjual satu-satunya sawah yang dimiliki keluarga kami, aku bisa melanjutkan kuliah. Demi menepati janjiku kepada bapak dan ibu, aku harus lebih semangat dan lebih berusaha lagi untuk bisa meraih impianku menjadikan keluarga kami lebih baik dari saat ini. Kuliah sambil bekerja adalah satu-satunya solusi yang saat ini ada dibenakku. Semoga setelah masuk perkuliahan nanti, aku bisa mendapatkan beasiswa yang akan meringankan bebanku.

***

Masa orientasi mahasiswa baru sudah tiba. Aku ditunjuk sebagai perwakilan dari mahasiswa baru di jurusanku. "Tino Ananda silahkan maju ke depan," pinta salah satu senior yang mendampingi kami. Setiap jurusan harus mempersembahkan sebuah pertunjukan. Sebagai perwakilan jurusan, akulah yang ditunjuk untuk melakukan performance. Kupetik senar gitar, kuiringi salah satu mahasiswi jurusanku untuk bernyanyi. Karena mendadak, aku tak sempat berkenalan dengannya.

Suara yang sangat merdu, membuatku tertegun dan sesekali terperangkap dalam lamunan berkat suara lembutnya. Dia cantik dengan mata indah yang dia miliki, hingga membuatku enggan berkedip dan ingin terus memandanginya. "Andrea, keren banget!" Pujian salah satu mahasiswa jurusan kami setelah penampilan yang kami persembahkan. "Oh, namanya Andrea," ucapku dalam hati.

***

Acara berjalan lancar hingga seorang mahasiswi yang berdiri di sampingku tiba-tiba pingsan dan jatuh tersungkur di hadapanku. Dengan sigap aku menangkap tubuhnya yang terasa hangat. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya lemas tak sadarkan diri.

Aku menggendongnya dan berlari menuju ruang KSR PMI (Korp Suka Rela Palang Merah Indonesia) Universitas yang kebetulah tidak jauh dari lokasi acara. Suasana yang tenang berubah menjadi gaduh dan penuh dengan kepanikan. Namun, para senior pendamping berupaya untuk menenangkan para peserta orientasi, sehingga keadaan mulai terkendali beberapa menit kemudian.

Ketika sekolah dulu, aku aktif sebagai anggota PMR (Palang Merah Remaja). Jadi setidaknya penanganan kejadian seperti ini cukup kumengerti. Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) sudah sangat aku kuasai, sehingga aku tidak panik seperti mahasiswa lain pada saat kejadian berlangsung.

Anggota KSR yang sedang berjaga mulai memberikan penanganan dan aku berusaha membantu setelah menjelaskan kronologi kejadian. Tak banyak yang kami lakukan, hanya memberikan minyak kayu putih, memposisikan kaki sedikit lebih tinggi dari kepalanya dan mencoba memijit kaki dan tangannya. Yang pasti untuk urusan memijit, aku tidak terlibat di dalamnya. Ada anggota KSR perempuan yang melakukannya.

Akhirnya setelah beberapa menit tak sadarkan diri, mahasiswi yang semula pingsan tersebut mulai siuman. Ketika cukup lama mengamatinya, ternyata mahasiswi itu adalah Andrea. Gadis yang menyanyi dan kuiringi dengan petikan gitarku pagi tadi. Aku mencoba mengajaknya bicara sekaligus memastikan keadaannya. "Ini kesempatanku," pikirku.

"Hai, perkenalkan, Aku Tino. Nama Kamu siapa?" tanyaku.

"Hai, Aku Andrea. Kok aku ada di sini ya, bukannya barusan aku ikut acara orientasi mahasiswa baru?" tanyanya heran.

"Iya, tadi Kamu pingsan. Jadi, Aku larikan saja ke ruang KSR," jawabku.

"Duh, pasti gara-gara tadi pagi enggak sarapan. Jadi, yang bawa Aku ke sini, Kamu?" tanyanya.

"Iya, soalnya tadi pas Kamu pingsan, Aku berdiri tepat di sebelahmu. Eh, tiba-tiba badanmu ambruk, jadi aku tangkap saja," jelasku pada Andrea yang mencoba bangun dari tempat tidurnya.

"Wah, terima kasih. Pasti berat ya gendong Aku?" tanya Andrea.

"Hehehe ... enggak juga, enteng kok." Aku berusaha menenangkannya.

"Pasti Kamu rajin berolahraga. Masak badan gendut begini dibilang enteng?"

Sejak kejadian hari itu, aku semakin penasaran dengan Andrea. Karena, meskipun baru pertama kali bertemu, dia sudah sangat akrab denganku. Dan bukannya marah atau sungkan karena sudah kugendong, dia malah berterima kasih dan mengajakku bercanda mencoba mengakrabkan suasana.

Aku tahu, tidak sedikit laki-laki di kampus yang mencoba mendekatinya. Namun, aku sudah bertekad untuk bisa lebih dekat dengannya. Mungkin orang bilang, aku tidak tahu diri, tapi bagiku di dunia ini semua orang berhak bahagia dan tidak ada hal yang tidak mungkin.

"No, kamu yakin mau PDKT sama Andrea?" tanya Okta sahabatku.

"Yakinlah, kenapa enggak?" tegasku.

"Ya … Kamu tahu sendirilah! Andrea itu penggemarnya banyak, anak orang tajir, kuliah saja bawanya mobil, sementara Kamu?" tegas Okta.

"Harta itu bisa dicari, Kawan! Yang penting yakin saja dulu," tukasku. Okta adalah teman akrabku. Kami berasal dari SMA yang sama dan mendaftar di universitas, bahkan di jurusan yang sama.

***

Aku mulai sering mengirimkan pesan untuk Andrea. Dia sangat baik, tidak satu pun dari pesan yang kukirimkan padanya yang diabaikan. Jadi, aku berpikir bahwa dia memberikanku kesempatan untuk mendekatinya.

Setelah sekitar satu minggu aku mendekatinya, ada seseorang yang meneleponku, "Eh, Kamu yang namanya Tino? Dasar enggak tahu diri! Tampang jelek gitu enggak ada cakep-cakepnya kok berani-beraninya Kamu ngedeketin cewekku! Awas ya, kalau Kamu berani deketin cewekku lagi, Aku habisi!" ancamnya.

Aku tidak sekalipun merasa takut. Karena menurutku, dialah yang pengecut. Hanya berani mengancam melalui telepon, tidak berani bertemu secara langsung. Aku sudah memastikan kepada Andrea bahwa dia masih sendiri. Jadi, sekalipun ada orang seperti itu, dia hanyalah orang yang terobsesi untuk mendapatkan hati Andrea.

Berjalannya waktu, aku bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi dekat kampus. Suatu malam Andrea datang, berdua dengan seorang pria. Hatiku remuk, hancur berkeping-keping melihatnya bersama laki-laki lain. Tetap kulayani mereka secara profesional, walaupun tangan ini bergetar tak mampu menahan. Sampai akhirnya, "Pyar ...." Gelas berisikan coffee late pesanan Andrea pecah, tumpah berserakan layaknya hatiku yang telah hancur lebur malam itu.

***

Next chapter