webnovel

Aku Pergi....

Lewi sangat puas. Dia pun tidak akan meminta lebih. Dia menepuk pundak Deon, "Anak baik, anak baik. Sekarang pergilah, bukankah perusahaan juga sangat penting? Jangan khawatirkan aku." Wanita tua itu tertawa semringah, wajahnya berbinar. Setelah mengatakan itu, dia masih berbicara, tapi kali ini pada kepala pelayannya, Annya, "Annya, cucuku memintaku untuk istirahat yang banyak. Bawa aku ke kamar, biar aku istirahat."

Melihat tingkah neneknya yang berubah 180°, Deon pun hanya bisa menghela napas. Dia telah salah bicara! Dia telah berjanji, ingin menarik ucapan itu lagi, mana mungkin.

Akhirnya dia pun melangkah dengan berat meninggalkan rumah tua keluarganya.

Di dalam mobil, Deon mengusap wajahnya dengan gusar. Bagaimana dia harus menyanggupi permintaan neneknya yang menurutnya sangat tidak masuk akal?

Seorang istri? Itu adalah hal yang tidak pernah terbesit dalam benaknya!

Jangankan untuk memiliki seorang istri, sekadar ingin memiliki suatu hubungan yang spesial dengan seorang wanita, pun tidak pernah terbayang olehnya, dan sekarang neneknya ingin dia memiliki istri, dan anak pula!

Bukan tanpa sebab jika Deon tidak tertarik menjalin sebuah hubungan asmara, tapi hubungan yang gagal membuatnya menjadi takut untuk mencecap hal itu lagi.

Di masa mudanya, dia pernah sangat mencintai seorang wanita, bahkan sampai saat ini, wanita itu masih bertahta di hatinya. Sangat sulit baginya untuk melupakan cinta pertamanya itu meskipun dia sendiri telah dikhianiti dan ditinggalkan begitu saja.

_Flashback_

Di sebuah kapal persiar mewah yang sedang berlayar, di tengah keindahan laut malam, seorang pria yang gagah dan tampan sedang berlulut membungkuk di depan wanitanya. Di tangan kirinya ada sebuah kotak berwarna merah kecil yang berbentuk hati, di dalam kotak itu ada sebuah cincin berlian yang sedang mengeluarkan kilaunya. Sementara tangannya yang lain diletakkan di dadanya. Dengan mantap sambil diiringi suara yang sedikit gemetar, ia berucap, "Davira Abercio, aku akan terus mencintaimu hingga sampai kapan pun dan apa pun yang terjadi. Ini tidak hanya sekadar janji, melainkan aku akan membuktikan ucapanku, jadilah milikku selamanya, oke?"

Wanita dengan rambut panjang itu terlihat berkaca-kaca. Mulutnya terbuka lebar tetapi malah tidak mampu menjawab apa pun. Hanya anggukan kecil yang ia berikan sebagai tanda bahwa ia sangat setuju.

"Sayang, katakanlah lebih jelas lagi. Aku hanya menerima jawaban dari mulutmu." Pria itu sangat menuntut. Meski saat ini tubuhnya terlihat gemetaran, tetapi ekspresinya sungguh penuh dengan pengharapan.

Sekali lagi wanita itu mengangguk, sembari berkata, "Iya, aku bersedia." Dia menjawab dengan penuh keyakinan dengan mata yang berkaca-kaca penuh haru.

"Yes...." Spontan pria yang sedang berlutut itu melompat kegirangan. Lamarannya telah diterima oleh wanita yang sudah menjadi kekasihnya selama lebih dari 3 tahun terakhir ini. Wajah tampannya merona, tampak sekali kalau dia sedang malu dan berbahagia.

"Yuhuu.... Hore.... Yeeeee... selamat berbahagia kalian berdua." Beberapa teman yang sengaja ia kumpulkan untuk sebagai saksi dari pernyataan ajakan untuk seumur hidup itu, berbondong-bondong menyuarakan sorakan kebahagiaan.

"Deon, rupanya kau akan lebih dulu mendapatkan seorang istri sebelum mengambil ahli perusahaan orang tuamu."

"Deon, Davira... malam ini akan menjadi saksi betapa kalian berdua sangat serasi."

"Aku berbahagia untuk kalian berdua. Cheerrss..."

Lamaran itu bisa dikatakan sangat sukses.

Awalnya, kisah itu sangat indah. Banyak anak muda yang menaruh rasa iri dan kecemburuan melihat dua sijoli ini. Terhadap Deon sendiri, dia berpikir bahwa wanita yang menjadi pacar pertama dan cinta pertamanya ini adalah pelabuhan terakhirnya. Segala yang terbaik dan mencoba menjadi yang terbaik, ia lakukan bagi seorang Davira.

Davira juga terlihat sangat mencintainya. Sepanjang waktu yang dilakukan wanita itu adalah menemani Deon; selalu di sampingnya dan mendukungnya.

Hubungan keduanya pun didukung oleh banyak pihak. Bahkan sudah akan membahas tentang pernikahan.

Namun, siapa yang tahu kapan badai akan menghampiri. Kecelaan tunggal yang dialami Deon kala itu membuatnya harus bergantung hidup pada kursi roda, bahkan seluruh wajah tampannya menjadi cacat karena luka yang cukup parah.

Kala itu, Deon sangat depresi. Dia merasa sudah tidak layak untuk hidup. Segalanya hampir saja diambil dari tangannya. Perusahaan keluarganya terancam akan bangkrut dan kesempatan untuknya bisa berjalan sangat sedikit. Dia yang terpuruk seperti ini tentu saja membutuhkan dukungan dari orang yang terkasih, apalagi selama ini dia memang memilikinya.

Tapi yang diharapkan malah tidak terjadi.

Devira, wanita itu mendatangi Deon dengan bunga hydrangea di tangan. Kala itu, Deon masih ingat betul perasaannya saat pertama kali melihat kedatangan Devira di ambang pintu. Tidak perlu dijelaskan, tentu saja dia sangat berbahagia! Wanita yang begitu dicintainya akhirnya menjenguknya untuk pertama kali setelah dia masuk ke rumah sakit.

"Devira, sayang...." Deon memberikan senyuman terbaiknya meski kala itu seluruh tubuhnya terasa sakit.

Devira dengan tanpa ekspresi meletakkan bunga yang ia bawa ke atas meja, "Apa kabarmu? Maaf baru bisa mengunjungimu."

"Tidak, tidak masalah. Kedatanganmu membuatku pemulihanku drastis." Deon tidak memedulikan apa pun lagi, baginya kedatangan Devira sudah lebih dari cukup.

"Oh, benarkah?" Devira menatap Deon dengan penuh rasa bersalah, "Semoga memang seperti itu," lanjutnya.

Deon yang merasakan adanya yang aneh dari sikap sang kekasih, menjadi sedikit khawatir, "Devira, ada apa?"

"Ugh... Ah, tidak mengapa." Terlihat jelas kalau wanita itu saat ini sedang memaksakan senyum di bibirnya.

Deon pun mencoba menepis segala kerisauan di hatinya. Dia sangat mempercayai gadis ini, menurutnya kala itu gadis ini hanya sedang mengkhawatirkan kondisinya.

Senyum Deon mengambang di bibirnya yang pucat, ia menarik tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan erat, "Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja. Aku tidak ingin karena terlalu memikirkanku, kau menjadi sakit. Aku pasti pulih, walau mungkin bukan dalam waktu yang dekat."

Devira hanya tersenyum bodoh dengan kata-kata Deon.

Deon menambahkan, "Ah, mengapa kau tidak duduk?"

"Ah, aku?" Seketika Devira menjadi gugup. Ia menjilat bibirnya sendiri dan sedikit menjauhkan diri dari Deon.

"Deon, semoga kau cepat pulih...." Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku harus pergi-"

Dia masih belum selesai berbicara, tetapi Deon sudah dengan tidak sabar menghentikan kata-kata gadis itu, "Pergi? Kenapa sangat cepat? Aku masih .... merindukanmu."

Deon tahu, makna 'pergi' yang diucapkan Devira bukanlah dalam klise, dia pergi dan esoknya datang kembali untuk menjenguknya, hanya saja dia ingin mempercayai cintanya, walau mungkin terlihat malah seperti membohongi diri sendiri. Dia tidak ingin berprasangka buruk terhadap cintanya, meski hatinya sudah dibebani dengan rasa khawatir.

Cinta memang seperti itu, meski prasangka buruk sudah datang, tetapi masih sanggup menepisnya demi cinta yang ia percayai adalah miliknya.

Next chapter