1 Petaka

Sonya berteriak sangat keras untuk meminta tolong pada siapa pun. Namun apa daya sang ayah tiri yang bernama Gani membuatnya nyaris kehilangan seluruh tenaga.

Sore yang hujan ini, Gani melakukan aksi jahat pada putri tirinya sendiri, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Sonya Dewi. Sebuah hasrat kelewat dahsyat membuat pria itu tidak mampu menahan gairah terlalu lama.

Gani mendorong paksa tubuh Sonya ke atas ranjang di dalam kamar milik gadis itu. Sebuah alat suntik yang entah apa isinya, ia tusukkan di lengan Sonya sebisa mungkin. Karena pergerakan Sonya yang masih saja sering, membuat Gani sangat kesulitan.

"Diamlah, Sonya! Ayah bisa melukai dirimu!" tegas Gani, kala kekesalan tidak dapat ia tahan lagi.

Sebuah tamparan keras pun turut mengiringi kalimat tegas itu. Sonya kesakitan dan meraung tidak jelas. Ia yang habis pulang dari kuliah sempat tertidur karena lelah, justru langsung dibekap oleh nafsu bejat sang ayah tiri. Rumahnya super besar, beberapa ruang termasuk kamarnya memiliki dinding yang kedap suara, terlebih kamarnya itu berada di lantai ketiga, membuatnya tidak dapat meminta tolong pada siapa pun yang berada di lantai bawah.

Lagi pula, Gani tidak bodoh. Pria paruh baya itu telah meminta lima orang pelayan rumah, untuk liburan. Sementara Delima yang notabene adalah ibu kandung Sonya sedang keluar kota untuk urusan bisnis.

"Paman, tolong lepaskan saya! Tolong, Paman!" ronta Sonya masih berusaha. "Tolong, lepaskan saya ... ampun ...."

Namun suara Sonya pun turut melemah sepadan dengan tenaga tubuhnya yang sudah benar-benar habis. Ia tidak berdaya sesaat setelah Gani menyuntikkan cairan aneh ke dalam tubuhnya, yang mana setelah itu tubuhnya berangsur panas dan agak gatal tanpa bisa dijelaskan apa sebabnya. Sonya kian gelisah ketika Gani menyentuh beberapa bagian tubuhnya yang terlarang.

"Berbaringlah dengan tenang, Sayang. Ayah akan memperlakukanmu selembut mungkin." Gani berubah kemudian menyeringai. Sebuah senyum kepuasan karena keberhasilan rencananya sore itu.

Detik itu juga, Gani langsung melahap habis tubuh Sonya yang sudah tanpa penutup apa pun. Dalam keadaan lemah, Sonya hanya bisa menitikkan air mata. Sungguh hati yang tidak seirama dengan tubuhnya yang justru memberikan kesempatan besar pada Gani, sehingga ayah tirinya itu bisa bergerak lebih leluasa.

Gelak tawa, desah napas, hingga kalimat penghinaan mengiringi setiap tindakan yang Gani perbuat. Pria itu memang benar-benar puas. Apa yang ia incar sejak jauh-jauh hari akhirnya telah menjadi realita. Istrinya memang cantik dan memiliki tubuh menarik. Namun bagi Gani, Sonya jauh lebih menggiurkan dan terutama, putri tirinya itu masih gadis ranum yang belum disentuh oleh pria mana pun.

"Kalau kamu tenang begini, Ayah tidak akan membuat tubuhmu terluka, bukan? Lihat kamu justru tampak menikmatinya. Makanya jadi anak itu yang menurut! Jangan durhaka!" ucap Gani di sela-sela aktivitasnya. "Hahaha, anak muda zaman sekarang memang memiliki gengsi yang tinggi, sok suci! Tapi, kalau sudah diberi, maunya minta lagi. Hahaha."

Dan memang benar, Sonya tidak dapat menyangkal ucapan Gani barusan. Efek dari cairan yang disuntikkan oleh Gani sukses membuat tubuhnya terus meminta. Hatinya menolak keras, tetapi tubuhnya menginginkannya. Ketika gelora nyaris redup, Gani membuat Sonya menggila lagi.

Gadis hina, gadis bodoh, gadis murahan, kamu, Sonya! Benar-benar munafik! Batin Sonya merutuk dirinya sendiri. Air matanya masih meluruh, tetapi tidak ada lagi perlawanan yang ia berikan, selain sebatas kata-kata permohonan.

"Cukup, Paman. Lepaskan Sonya, Sonya salah, Sonya minta maaf, tolong ...." Lemah Sonya berbicara. Namun ia masih kesulitan dalam meredam keinginan tubuhnya yang bergolak setiap kali Gani memperlakukannya.

Sore itu menjadi sore terburuk di sepanjang hidup Sonya. Gani telah membuatnya kehilangan kehormatan, masa depan, dan harga diri. Hal yang semakin membuat Sonya geram adalah ketika tubuhnya tidak membuat keputusan yang singkron atas perasaan di hati. Ia tidak akan pernah mengampuni Gani, bahkan dirinya sendiri sampai suatu saat nanti.

Satu jam pun berlalu, Gani sudah memuaskan apa yang menjadi keinginannya sejak lama. Pria itu tertidur di samping tubuh Sonya, sementara lengannya diletakkan di atas perut gadis itu. Sementara Sonya yang masih lelah, berangsur mendapatkan tenaganya lagi. Tubuhnya juga sudah lebih tenang daripada sebelumnya.

Dalam kesempatan tersebut, Sonya berusaha untuk membangunkan dirinya. Ia singkirkan lengan Gani dengan hati-hati agar pria paruh baya itu tidak sampai terbangun. Dan akhirnya, ia berhasil melakukannya.

"Aku harus pergi!" ucap Sonya yang kembali bersimbah air mata. Lalu, diambilnya gaun yang telah memiliki robekan di beberapa bagian.

Sonya tidak memiliki banyak waktu untuk mencari pakaiannya yang lain. Pakaian rusak itu lantas ia kenakan, lalu meraih tas selempang kecil yang sebenarnya kosong. Namun Sonya pikir, ada sedikit uang di dalamnya. Sebab rencana berikutnya pun sudah tersemat di dalam otaknya. Ia ingin bunuh diri sekalian saja! Begitulah pikirnya.

Buat apa hidup setelah tidak memiliki harga diri? Dunia terlalu kejam untuk seorang gadis muda yang sudah ternoda, bukan?

"Ya ... daripada hancur, mati adalah cara terbaik!" gumam Sonya sudah sangat yakin. Dan ia masih terisak.

Sesaat setelah menggumamkan kalimat bermakna buruk itu, Sonya membawa kakinya untuk keluar dari kamar tersebut. Kunci duplikar yang sejak tadi digenggam oleh Gani, sudah berhasil ia dapatkan beberapa detik lalu.

Sonya berjalan menyusuri lantai marmer rumah ibunya yang indah. Di mana suasana senyap rumah itupun langsung menyambut kehadirannya. Sepinya keadaan, membuat Sonya langsung bertanya-tanya.

"Kenapa sepi sekali? Di mana orang-orang, para pelayan, Ibu, dan petugas keamanan?" tanya Sonya ketika sudah berada di lantai dua, sembari melihat sekelilingnya dengan mata memancarkan kecemasan yang begitu besar.

Delima—ibu Sonya—memang berangkat ke luar kota secara mendadak. Dan Sonya tidak tahu-menahu, berpikir bahwa keadaan rumah sangat aman seperti biasanya, sehingga ia memutuskan untuk tidur sepulang dari kampus tanpa satu pun kekhawatiran. Lagi pula, ia sudah mengunci pintu kamarnya.

Namun siapa sangka, Gani telah merancang rencana dengan sangat baik. Kunci kamar Sonya pun telah diduplikat oleh pria itu, tampaknya ia pernah diam-diam meminjam kunci asli kamar tersebut.

"Pria tua sialan itu ... uh! Hoek!" Perut Sonya bergolak, langkah kakinya pun melambat cenderung tertatih karena bagian tubuhnya terasa ada yang nyeri. "Di-dia sudah mempersiapkan segalanya?"

Sonya menelan saliva setelah itu. Menyadari jika yang berada di rumah hanyalah dirinya dan Gani, Sonya tidak punya pilihan lain, selain langsung bergegas melarikan diri. Bahkan meski bunuh diri adalah rencana yang ada di dalam pikirannya, ia tidak akan menyerahkan tubuhnya pada Gani untuk kedua kalinya sebelum nyawa tak ada lagi di dalam raganya.

Sonya tidak menghiraukan derasnya hujan dan juga langit yang kian gelap karena sore akan menjelma menjadi malam. Di bawah rinai hujan yang deras itu, ia tertatih-tatih demi bisa menghindari sang ayah tiri. Tangisannya terus berderai bercampur dengan air langit dalam membasahi pipinya.

Kenyataan pahit yang telah menghancurkan semuanya, membuat Sonya kian lemah dalam perjalanan tanpa tujuan, selain 'mati'. Rasa dingin yang kian menyerang, membuat tubuhnya kerap terjatuh. Gadis yang malang itu, begitu frustrasi dan menyedihkan sekali.

Lantas, apakah Sonya benar-benar akan memilih bunuh diri, daripada bertahan hidup dengan kondisi raga yang sudah ternoda?

***

avataravatar
Next chapter