12 Seperti Puzzle

Sepertinya Tuhan benar-benar merencanakan cerita ini untukku. Aku kerap dipertemukan dengan Tuan Cokelat itu. Kini, setiap kali kami berpapasan aku selalu menerbitkan senyum untuknya. Rasa penasaran akan sebuah nama pemuda itu memenuhi kepalaku. Dan benar, nama itu perlu.

Saat bel istirahat dibunyikan, aku mengajak Risma untuk segera pergi ke kantin Abah. Aku telah membayangkan bahwa Tuan Cokelat itu sudah duduk ditempatnya dan aku duduk disebrangnya. Lalu kami curi-curi pandang. Dan jantungku menjadi berdegup kencang tak beraturan. Huh! Indahnya bumi ini.

Namun naas, belum saja aku tiba di kantin Abah, aku dipanggil oleh Pak Akmal untuk memfotokopikan surat undangan untuk orang tua siswa kelas 10. Ah, ada-ada saja.

Kuikuti saja mau Pak Akmal. Karena semestinya seorang murid mematuhi apa-apa yang dikatakan oleh gurunya.

Aku dan Rismapun bergegas keluar untuk memenuhi permintaan sang guru. Kebetulan tempat fotokopi berada di sebrang gerbang sekolah, kami hanya menyebrang jalan saja.

Tepat pukul 10 proses pengkopian telah usai. Aku dan Risma kembali ke area sekolah dan menemui Pak Akmal untuk menyerahkan apa yang diminta oleh beliau.

Saat kulihat, sekolah telah sepi dari lalu-lalangnya orang-orang. Mungkin bel masuk telah berbunyi dan semua kelas kembali melanjutkan proses belajar mengajarnya di kelas masing-masing. Di sekolah yang terlihat sunyi ini hanya ada beberapa orang saja yang berada diluar kelas. Mungkin mereka orang-orang yang berkeperluan.

Sebelum aku kembali ke kelas, aku mengajak Risma untuk singgah di kantin Abah terlebih dahulu. Kantin sudah sepi dari keramaian. Ketika aku sudah duduk dan mulai memakan jajananku, tak kusangka sebelumnya. Ternyata Tuan Cokelat bersama Kak Bastian, teman seorganisasinya di Ekstrakulikuler Basket memasuki kantin. Ia melintas di depanku.

Aku yang sedang duduk dikursi balkon kantin mulai grogi. Dan yang lebih terkejutnya, Tuan Cokelat itu duduk di sebelahku. Antara duduknya aku dengan tuan cokelat itu, Rismalah yang menjadi perantaranya.

Tak lama setelah itu, Risma seperti memberiku isyarat yang tak ku ketahui maksudnya yang kemudian Risma masuk kedalam kantin. Kini, hanya aku dan Tuan Cokelat yang duduk di kursi panjang ini. Saat kulirik kearahnya, tuan cokelat itu sedang menikmati sebuah bakpau.

Aku pura-pura fokus pada ponselku. Aku tak berani melihatnya terlalu lama. Sebenarnya, aku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memulai pembicaraan dengan pemuda itu. Tapi malu yang terlalu yang menguasai jiwaku.

Saat kulihat kembali, datanglah kak Bastian dari dalam kantin menghampiri Tuan Cokelat sembari tertawa riang dan menjabat tangan Tuan Cokelat itu. Tuan Cokelatpun tertawa riang seperti Kak Bastian. Aku tak tau apa yang mereka lakukan. Aku hanya fokus pada ponselku.

Lima menit telah berlalu, aku hanya diam tanpa kata diatas kursi ini. Tuan Cokelatpun tak mengatakan sepatah katapun. Kami hanya diam.

Akhirnya Tuan Cokelat itu berdiri dari tempat duduknya dan beranjak keluar dari kantin dan melewatiku.

"Aaa... Shanaaa... Kamu yang punya ceritanya, kenapa aku yang deg-degannya? Kamu mah, kenapa gak bicara? Padahal ini kesempatan buat memulai pembicaraan tau! Aku tuh greget sama kamu, Shan!" ujar Risma.

"Gue malu, Risma. Gue belum berani." Itulah aku yang tak sejalan antara keinginan dan tindakkan. Aku terlalu kaku untuk hal ini. Dan aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Akupun tak tau apa mauku.

Tak lama setelah itu, aku dan Risma memutuskan untuk kembali ke kelas.

Saat kami keluar dari kantin, di taman sekolah terdapat Tuan Cokelat, Kak Bastian, Kak Azam dengan Salwa teman sekelasku. Sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang penting.

Sebelum aku masuk kedalam kelas, aku menunggu Salwa yang sedang berjalan menuju kelas.

"Salwa! Cowok yang sedang ditaman itu siapa?" tanyaku memasang wajah kalem.

"Oh, itu Kak Bastian sama Kak Azam" ucap Salwa dengan wajah yang datar.

"Kalo yang satunya lagi yang sedang berdiri disana siapa?" tunjukku pada Tuan Cokelat yang sedang berada dibawah sana.

"Oh, kalo itu Kak Rangga" sahut Salwa kembali.

"Kelas berapa dia?" tanyaku seraya memasang wajah setenang mungkin walau sesungguhnya jantungku berdetak begitu cepat.

"Kelas 11 IPS 1. Emang kenapa gitu?" tanya Salwa mulai penasaran.

"Oh iya. Enggak, ini ada temen yang nanyain." Maaf Salwa, aku berbohong. Aku tak ingin ada yang tau keadaanku terhadap Kak Rangga itu.

Dan kini, aku tau namanya. Nama yang telah lama aku nantikan. Rangga. Selamat datang dalam hidupku kak Rangga.

Ternyata, permainan teka-teki yang diberikan Kak Rangga bukan hanya itu. Ketika istirahat kedua setelah sholat Zuhur, rintik hujan mengguyur bumi di kota Payung Geulis ini. Aku dan Risma membawa buku pelajaran dan mengerjakan tugas dikantin -karena guru mata pelajaran jam setelah istirahat kedua tidak masuk, kami hanya diberi tugas.

Aku fikir di jam seperti ini sudah tidak ada siswa yang nongkrong dikantin karena bel masuk sudah berbunyi. Tapi ternyata dugaanku salah. Dalam kantin justru masih terdapat segerombolan anak laki-laki. Saat kulihat, Kak Ranggapun ada bersama mereka. Saat kutau ada kak Rangga, aku memutuskan untuk kembali ke kelasku.

Namun sepertinya semesta tak mengizinkan hal itu kulakukan. Hujan semakin deras dan kami terjebak di kantin Abah. Akupun duduk di kursi panjang diluar kantin sembari mengerjakan tugas.

Tak lama setelah itu, Kak Rangga beserta kawan-kawannya keluar dari kantin. Mereka melintasiku dan kak Rangga berhenti sesaat.

"Kata Mamah juga, kalo hujan cepet pulang" kak Rangga bersuara tepat di depanku.

Aku lalu menengadah melihat wajah kak Rangga dari samping. Memang bicaranya tidak sambil melihatku, tapi teman-temannya tak mengerti apa yang diucapkan olehnya.

"Apa atuh, ah!" begitulah sahut temannya.

Aku yakin kalimat itu memang sengaja diperuntukan kepada seseorang. Tapi siapa? Aku tak faham. Karena disana hanya ada aku dan Risma saja.

Oh, Tuhan. Sepertinya, perasaan geer ini merasuki jiwaku.

Tak lama setelah kalimat itu kak Rangga ucapkan, akhirnya kak Cokelat itu berlari keluar kantin sembari memayungi kepalanya dengan tangannya menuju koridor untuk kembali ke kelasnya.

Kuperhatikan dirinya dengan saksama. Lalu ia menoleh kearahku. Aku dengan kak Cokelat itu beradu pandang menembus rintikan hujan yang deras. Dan aku tersenyum kepadanya.

Aku rasa ini seperti mimpi saja. Hatiku berteriak pada diriku sendiri. Aku berusaha untuk menenangkan diriku agar tak ada yang curiga saat melihatku.

"Tapi kata Mamahku, kalo hujan berteduh dulu. Jangan hujan-hujanan. Nanti sakit." Ujarku pelan saat kak Rangga sudah tak menolehku.

"Kamu ngomong sama siapa, Shan?" ujar Risma yang mengakhiri konsentrasinya pada ponselnya. Mungkin Risma tak sadar dengan peristiwa tadi. Karena sedari tadi ia terlalu fokus pada ponselnya.

"Gue bahagiaa..." sahutku menahan teriakan sembari tertawa girang.

"Oh, karena ada kak Cokelat?" tanya Risma.

"Aku tidak sedang bermimpi 'kan?" aku tak menanggapi pertanyaan Risma karena perasaanku sudah tak dapat dinetralisir. Aku terlalu sibuk dengan fikiranku.

Ini adalah seperti permainan puzzle. Aku harus mengumpulkan hipotesis terlebih dahulu, lalu menganalisisnya dan dirangkum menjadi sebuah kesimpulan. Namun jika aku menyimpulkan sendiri tentang tingkah kak Cokelat itu, aku takut salah. Aku perlu penjelasan darinya. Siapa yang ia maksud? Kenapa dia selalu memandangku?

Dan kufikir, pandangan kak Rangga seperti pandangan Aji padaku. Bedanya, aku risih jika dipandangi oleh Aji. Tapi jika dipandangi oleh kak Rangga aku justru bahagia.

avataravatar
Next chapter