13 Satu karakter

Aku bahagia akhirnya aku bisa tau nama Tuan Cokelat itu. Dan bukan hanya aku yang mengalami perubahan dalam penampilan. Bahkan kak Ranggapun kini sedikit berubah.

Yang semula rambutnya sedikit gondrong dan berantakan, kini rambutnya rapi dan pendek. Yang semula tubuhnya kecil kering, kini tubuhnya mulai padat berisi.

Dan yang semula ia memandangku dengan pandangan yang dingin, kini ia memandangku dengan pandangan yang penuh arti yang tidak dapat aku fahami arti dari pandangannya.

Siang ini, istirahat pertama telah berakhir karena sejak lima menit yang lalu bel masuk telah berbunyi. Karena guru di kelasku belum masuk, aku bersama Risma nongkrong diluar kelas seraya melihati pemandangan indah di lapangan sana.

Siapa lagi jika bukan kak Rangga. Mungkin karena guru yang mengajar di kelas kak Rangga belum masuk, kak Rangga dengan teman-teman lelakinya membentuk lingkaran untuk bermain bola takraw di pinggir lapangan.

Aku melihatinya dengan gembira di atas koridor dilantai dua ini. Sungguh aku sangat bahagia ketika melihat kak Rangga tertawa. Suara tawanya yang khas membuat aku tertawa pula ketika mendengarnya.

Dan aku tak pernah menyangka. Ternyata kak Rangga satu karakter denganku. Ia ternyata memiliki sikap yang konyol dan kekanak-kanakan sama sepertiku.

Ini dapat aku buktikan ketika aku melihat bola takraw yang kak Rangga mainkan itu tersangkut diantara daun-daun pohon rambutan yang lebat yang tertanam dipinggir lapangan sana.

Dengan serempak, semua pemain berteriak dan bersorak gemuruh. Tak lama setelah itu, kak Rangga menjadi pahlawan dan mengambil tindakan untuk menurunkan bola yang tersangkut dengan melemparkan sebelah sepatunya kearah bola.

Tetapi, bukannya bola berhasil turun, sepatu kak Rangga justru ikut tersangkut bersama bola takraw itu. Dengan serempak, semua orang yang menyaksikan ulah kak Ranggapun tertawa puas. Termasuk aku. Dan kak Rangga ikut tertawa seraya memeluk kepalanya pertanda ia menyesal.

Disela-sela tawa, seorang pemuda mengenakan jaket levis muncul dari arah taman sekolah seraya menenteng sebuah bola footsal ditangan kanannya. Tanpa ba-bi-bu, pemuda itu melemparkan bola footsal ditangannya kearah bola takraw dan sepatu kak Rangga yang tersangkut diantara daun-daun dipohon rambutan itu.

Dan akhirnya bola takraw dan sepatu kak Rangga jatuh keatas tanah. Kak Rangga sudah mengenakan sepatunya, tetapi ia tidak ikut bergabung untuk kembali bermain. Kak Rangga lebih memilih duduk diatas tembok dengan mengahadap kearahku.

Seraya tangannya merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya, kak Rangga menoleh kearahku dan kami sempat beradu pandang walau hanya beberapa detik. Karena malu, aku segera berbalik badan dan membelakanginya.

"Shan, kak Rangga lihatin kamu, tuh!" ujar Risma yang kini berada disebelahku.

"Iya, aku tau. Mungkin dia lihatin kamu kali, Ris" sanggahku pura-pura tidak peduli.

"Enggak ah! Dia lihatin kamu, Shan" ucap Risma bersikuat menguatkan pendapatnya.

"Sekarang kak Cokelatnya masih lihatin gak?" tanyaku yang masih membelakangi kak Rangga itu.

"Sudah enggak" ucap Risma setelah ia melihati kak Rangga dibawah sana. Dan akupun kembali membalikkan badan menghadap kearah kak Rangga itu.

Ketika kak Rangga tak sedang melihatku, aku meraih handphoneku untuk membidik Tuan Cokelat itu dengan kamera di handphoneku. Tetapi aksiku itu ketahuan oleh kak Cokelat sebab kak Cokelat itu menoleh kearahku.

"Ish, kenapa sih handphone ini? Layarnya tiba-tiba gelap gini!" karena malu, aku pura-pura menggerutu pada ponselku ketika kak Rangga sedang melihatiku.

Ketika kak Rangga tidak sedang melihatku, aku yang akan melihati kak Rangga dan begitupun sebaliknya. Jika kebetulan kami saling beradu pandang, aku menghindari tatapannya dan pura-pura tidak melihatnya.

Begitulah kami yang hanya bisa saling curi-curi pandang tanpa mau berkenalan. Aku tidak faham apa yang kak Rangga fikirkan ketika memandangku. Dan mengapa dia tak bertindak untuk memulai pendekatan denganku?

Aku belum siap jika aku yang harus memulai pendekatan dengannya lebih dahulu. Aku terlalu malu dan terlalu takut dalam hal ini meskipun sahabat-sahabatku mendukungku untuk memulai pendekatan terlebih dahulu.

Tetapi aku tak pernah menuntut kepada takdir untuk membuat kami menjadi akrab dan saling mengenal. Aku menyerah pada takdir dan biar dia yang akan membawa kisah ini.

Karena jika sudah dekatpun untuk apa? Aku belum siap untuk menjalin sebuah hubungan dengan lelaki. Biarlah aku memendam perasaan ini sampai waktu yang ditentukan oleh Tuhan yang tidak aku ketahui sampai kapan rasa ini bertahan. Karena dengan dipandangi oleh kak Ranggapun, aku sudah sangat bahagia.

Dan ketika permainan bola takraw sedang dimulai, kak Rangga dengan teman-temannya lari terbirit-birit untuk memasuki kelasnya. Mungkin guru yang mengajar dikelas kak Rangga sudah masuk, maka dari itu mereka lari terbirit-birit. Yang mereka lakukan karena mereka sadar mereka melakukan suatu kesalahan, termasuk aku.

Jika bel masuk telah berbunyi, seharusnya ada atau tidak ada guru di kelas, semua siswa harus berada di dalam kelas kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan untuk meninggalkan kelas. Tetapi kami melanggar peraturan itu. Hanya anak-anak nakal yang melakukan hal ini di sekolahku.

Selama ini, aku menilai kak Rangga adalah pemuda yang dingin dan kalem dan aku fikir ia akan selamanya seperti itu. Namun ternyata persangkaanku salah. Semesta semakin memperkenalkan kak Rangga padaku lebih dekat. Jika begini jadinya, bagaimana aku tidak semakin mengagumi Tuan Cokelat itu.

Sepuluh menit dari berbunyinya bel masuk telah berlalu, namun guru belum juga masuk kedalam kelasku. Aku dan Risma masih berdiri di koridor ini disusul dengan Ihsan dan Rifai dengan menenteng sebuah gitar ditangannya.

Di koridor ini, Ihsan mulai menyenandungkan sebuah lagu dengan diiringi petikan gitar yang Rifai mainkan. Merasa tertarik, aku dan Risma menghampiri mereka dan ikut menyanyikan lagu yang sedang dimainkan.

Di tengah heningnya sekolah ini, aku dan Ihsan berduet menyanyikan sebuah lagu dari Maher Zein dan diiringi oleh suara syahdu gitar yang Rifai mainkan. Suara kami menggema seisi sekolah ini dan mengundang beberapa orang untuk sekedar menonton kami dari balik pintu kelas masing-masing.

"Kamu ternyata berbakat juga, Shan. Kalau dikembangkan talenta kamu dalam bernyanyi pasti sukses" puji Ihsan ketika lagu sudah berakhir.

"Iya, Shan. Suara kamu bagus juga. Aku gak nyangka loh" ujar Risma pula yang diakhiri dengan kekehan pelan.

"Terimakasih" sahutku seraya tersenyum girang. Aku sebenarnya hanya meluapkan kebahagiaanku melalui bernyanyi. Tidak peduli apakah suaraku baik atau justru sebaliknya.

Aku hanya ingin bumi tahu bahwa aku sangat bahagia hari ini. Dan semua ini adalah karena manusia Tuhan yang bernama Rangga itu. Kak Rangga bagiku adalah sebuah energi dan semangat tambahan.

Aku melihat cahaya Tuhan dari dirinya. Aku dapat melihat keindahan Tuhan dari wajah kak Rangga. Pemuda ini lain daripada yang lain. Aku tak pernah menyangka jika aku akan dipertemukan oleh Tuhan dengan manusia indah bernama Rangga itu. Aku bahagia dan aku selalu bersyukur pada Tuhan. Terimakasih Tuhan, aku bahagia.

avataravatar
Next chapter