4 Risih

Panas matahari menyengat bumi yang begitu teriknya perlahan mulai menghangatkan sesuatu yang tersentuh oleh cahaya sang raja siang. Hingga beberapa perempuan mengenakan sebuah payung untuk melindungi rasa terbakar dirinya dari sengatan sang mentari.

Tuhan menciptakan penyakit dengan obatnya, sedih dengan bahagianya, ujian dengan pahalanya, begitupun panas dengan sejuknya. Angin siang berhembus menggoyangkan pohon-pohon kecil dan dedauan sehingga terlihat seperti sedang menari-nari.

Beberapa bendera yang tertancap dipinggir jalanpun ikut berkibar hebat seolah turut serta gembira meyambut sang angin siang yang cukup besar menghembusnya.

Aku berjalan menuju rumah setelah proses belajar-mengajar di sekolah telah berakhir. Akupun tak henti-hentinya tersenyum menyapa kembali orang-orang yang bersilangan jalan denganku, terkadang beberapa diantara mereka bertanya hanya sekedar basa-basi padaku untuk menunjukkan keramahan mereka.

Sebelum tiba di rumah, aku membeli minuman terlebih dahulu disebuah warung didekat rumahku. Ketika aku akan keluar warung, seorang pemuda hendak masuk kedalam warung. Kami berpapasan dan saling memandang.

Aku langsung mengenali pemuda itu. Pemuda itu tersenyum padaku dan aku memasang wajah terkejut melihatnya. Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu dengannya. Tanpa membalas senyumnya, akupun segera keluar dari warung ini dan terburu-buru untuk pulang ke rumah. Bukannya takut atau apa, aku hanya malu dan belum siap untuk berada didekatnya lebih lama.

Ketika senja menyapa, keluarga kecilku menerapkan rutinitas dengan berkebun. Pekarangan rumah kami yang cukup luas ditanami oleh beberapa tanaman palawija dan beberapa pohon bunga. Aku dan Ziyah adikku yang masih berumur 9 tahun bertugas untuk menyiram tanaman.

Aqfa adikku yang berbeda dua tahun dariku bertugas mengumpulkan sampah dan dedaunan kuning yang sudah jatuh ke tanah. Sementara Papah dan Mamah memberi pakan untuk ikan di kolam ikan yang berada di pinggir rumah.

"Aeh Aji. Kemana saja, Ji?" tanya Papah dengan sedikit berteriak.

"Ada saja, Mang" ucap seorang lelaki yang sedikit berteriak pula namun dengan pembawaan bicara yang lembut.

Mendengar suaranya, aku kemudian menoleh pada Aji yang sedikit jauh dari tempatku berdiri. Aku dengan Aji saling beradu pandang, tetapi tak lama setelah itu aku kemudian menunduk.

"Neng Shananya sudah gede ya, Mang?" tanya Aji sebagai pembuka kata yang aku kira hanya sekedar basa-basi.

"Berani berapa sama anak gue? Haha" tanya Papah yang aku kira adalah hanya sebuah candaan pula.

"Ah, niat saja, Mang. Dua tahun lagi, ya? Ditungguin kok. Haha" ucap Aji tanpa ragu yang kufikir ini candaan lagi. Tetapi setelah mendengar kalimat itu, aku mulai geram padanya. Aku hanya menatapnya sebagai peringatan, namun Aji menatapku dengan sorotan mata yang teduh lagi lembut.

Aji adalah teman masa kecilku. Kami hanya berbeda 2 tahun. Kemana-mana kami selalu bersama, bahkan aku menganggapnya sebagai kakakku. Dari dahulu Aji sering kali menggodaku sehingga membuat aku kesal dan akupun mengejarnya untuk kupukuli.

Dan kini setelah dia kembali, Aji membuatku kesal. Tapi aku sadar, aku kini bukan anak kecil lagi yang dengan bebas mengejar Aji dan memukulinya untuk meluapkan kekesalanku. Aku kini sudah besar dan yang dapat kulakukan hanya menatapnya geram.

Ketika usiaku menginjak 10 tahun, aku dan Aji harus berpisah karena berbeda pendidikan. Dan setelah 6 tahun kami berpisah, kami dipertemukan oleh Tuhan kembali dengan sikap Aji yang mulai berubah padaku. Mungkin yang berubah adalah munculnya sebuah perasaan untukku dalam dirinya.

Hal itu aku tau ketika Aji dengan sengaja setiap senja datang ke rumahku dengan alibi melihat-lihati kolam ikan. Terkadang bersama satu temannya, terkadang pula seorang diri. Aji tak mengatakan apapun padaku, dia hanya dapat melihatiku tanpa mau mendekatiku.

Mungkin yang menjadi penyebab Aji tak mau mendekatiku adalah karena sikapku yang ketus padanya. Hal itu aku lakukan karena aku kini risih padanya. Akupun sangat terganggu dengan tatapan matanya yang ku kira ada sebuah isyarat didalamnya yang sama sekali tidak kufahami.

Jika aku tak sengaja berpapasan dengannya, aku hanya tersenyum tanpa mau bicara. Jika tak sengaja berada di warung yang sama atau tak sengaja berada ditempat yang sama, aku hanya menghindarinya.

"Kak, tadi Ziyah bertemu kak Aji dijalan. Kak Aji nanya kakak ke Ziyah. Katanya, 'Kak Shananya ada, Dek?' terus Ziyah jawab ada. Terus kata kak Aji, 'tolong sampaikan salam gitu, ya ke kak Shana dari kak Aji' gitu, kak. Ciye, kayaknya kak Aji suka sama kakak" ucap Ziyah yang sedang memakan kue cokelat dikamarku sesampainya ia dari warung.

"Masa, sih? Bohong, ya? Anak kecil gak boleh berbohong. Dosa tau!" ucapku tak percaya jika Aji benar-benar berkata begitu kepada anak kecil seperti Ziyah.

"Kalau kakak gak percaya, tanya saja sama kak Ajinya" ucap Ziyah yang memasang wajah polos sembari tak henti-hentinya memasukan kue cokelat ke mulutnya.

"Ih, amit amit! Keluar dari kamar kakak!" ucapku seraya bergidik risih dan membukakan pintu kamar untuk Ziyah.

"Ih, kakak tidak tau berterimakasih! Sudah Ziyah bagi kue, malah ngusir! Huh si Shana galak!" celoteh Ziyah sembari memeletkan lidahnya untuk mengejekku.

"Kakak bilangin, ya ke Mamah!" ancamku yang mulai kesal kepada bocah ini.

"Bodo amat! Huh dasar tukang ngadu! Wle" ucap Ziyah kembali memeletkan lidahnya.

"Mamaah! Nih Ziyah gak sopan! Panggil kakak pake nama! Pake si lagi, Maah!" teriakku tanpa ragu. Dan setelah Ziyah keluar dari kamarku, aku menutup pintu.

Bukannya aku ingin mencari ribut dengan bocah ini. Aku hanya ingin menghindari pembicaraan mengenai Aji lebih intens dengan Ziyah yang masih anak-anak. Selain itu, aku begitu risih untuk membicarakannya. Bukan hanya Ziyah yang membicarakan Aji, bahkan Mamahpun berfikir sama seperti Ziyah.

"Kak, setiap sore Aji selalu kesini. Mamah lihat dia suka lihatin kakak. Kayaknya Aji suka sama kakak. Tapi awas ya, kak! Mamah gak akan setuju kalau kakak sama Aji!" ucap Mamah ketika kami sedang melakukan rutinitas sore kami untuk berkebun.

"Ih, amit amit, Mah. Kakak juga gak suka sama Aji. Lagipula, kakak gak akan pacaran selama menjabat sebagai pelajar" sahutku sembari menyiram tanaman.

"Awas saja kalau ketauan pacaran selama masih sekolah, langsung Mamah kawinkan!" ancam Mamah kembali dengan pembawaan bicara yang tidak menekan.

"Apa ini kawin, kawin?" tanya Papah yang tiba-tiba muncul bergabung bersama kami.

"Ini si kakak..." dengan seketika, Mamah dan Papahpun asyik berbicara mengenai aku.

Ketika aku menoleh ke sebelah kiri, disana sudah ada Aji dengan wajah yang tertunduk dan badannya yang terlihat layu. Mungkin Aji menguping pembicaraanku dengan Mamah tadi. Dan sejak saat itu, Aji tak pernah lagi terlihat olehku baik di pekarangan rumahku ataupun di kampung ini.

Teman-teman di Karang Tarunaku bilang jika Aji pergi bekerja keluar kota. Salah satu teman di Karang Taruna yang bertentanggaan dengan Aji berkata jika Aji mencintaiku dan alasan dia pergi keluar kota adalah aku.

"Kamu gak punya hati banget sih, Shan! Tau gak? Selama 6 tahun kalian berpisah itu, orang yang selalu Aji ingat dan rindukan itu kamu! Orang pertama yang ingin Aji jumpai sekembalinya Aji ke kota ini juga kamu. Itu semua karena apa? Karena dia mencintaimu, Shana!" ucap gadis yang bernama Alysa yang bertetanggaan dengan Aji.

Dan aku yang benar-benar tidak mengerti tentang apa yang dirasakan Aji hanya diam tak berkata. Sebesar itukah kekuatan cinta? Aku tidak tau jika hal yang bernama cinta bisa memindah-mindahkan manusia dari satu tempat ketempat lainnya.

"Tapi apa yang kamu lakukan kepada Aji? Kamu malah terus menghindari Aji dan tidak menghargai perasaannya. Kalau kalian bersahabat sedari kecil, harusnya kamu sambut kedatangan Aji dengan bahagia sekembalinya dia ke kota ini. Bukannya menghindar" ucap Alysa kembali yang satu tahun lebih tua dariku itu.

Dan aku masih tak bergeming. Mulutku seolah membisu dan berusaha mencerna setiap kata yang Alysa katakan.

"Dan sekarang Aji pergi keluar kota karena kamu, Shan!" tegas Alysa dengan air muka sedih.

"Karena Shana? Shana gak faham, Sa" ucapku yang benar-benar tidak faham atas apa yang Alysa katakan.

"Kamu benar-benar jahat, Shana! Satu-satunya perempuan yang ada dihati Aji itu hanya kamu, Shan. Dan dia sekarang sakit karena kamu. Makannya dia pergi keluar kota buat belajar menghindari kamu" ungkap Alysa dengan wajah sedihnya yang mulai terlihat.

"Kok kamu tau segalanya tentang Aji?" ucapku yang sedari tadi ingin ku tanyakan pada Alysa.

"Karena aku mencintai Aji. Dan Aji gak pernah mau menerima aku yang alasannya adalah karena satu-satunya perempuan yang dia cintai adalah kamu, Shana!" ucap Alysa yang pada akhirnya satu tetes air mata jatuh dari mata Alysa.

avataravatar
Next chapter