3 Menjadi Sahabat

Acara Perkemahan Masa Tamu telah berakhir. Dan reguku memenangkan perlombaan sebagai juara ke-2 dari seluruh regu terbaik. Tentu saja aku bersyukur karena Tuhan memberiku bertubi-tubi kebahagiaan.

Pagipun tiba, panas mentari mulai menjilat bumi. Burung-burung berterbangan di angkasa dan saling berkejaran dengan kawan-kawannya. Setelah semalaman manusia beristirahat, kini manusia di bumi mulai bergerak mengerjakan aktifitasnya dipagi hari yang cerah ini.

"Selamat pagi semesta!" ucapku seraya menengadah keatas langit kemudian mataku turun ke bumi menyapu seluruh pemandangan yang berada dihadapanku. Hal itu aku lakukan dalam perjalanan menuju sekolah.

Setelah acara Perkemahan kemarin, dua hari kami diliburkan untuk beristirahat. Dan hari ini kami kembali masuk sekolah untuk memulai kegiatan belajar mengajar dengan normal.

Seperti perjanjian yang telah disepakati, aku duduk sebangku dengan Inka di kelas ini. Meskipun aku, Inka, dengan teman-teman setongkronganku adalah penghuni baru di sekolah ini, tetapi kami tidak canggung ataupun malu untuk mengekspresikan kebahagiaan kami ketika berada di sekolah ini.

Salah satunya adalah dengan berkumpul bersama di kantin ketika istirahat pertama tiba. Aku, Inka, dan teman sekelasku yang lainnya akan menggemakan seisi kantin dengan suara tawa melengking kami atau nada bicara kami yang tinggi. Meskipun banyak pasang mata memandangi ulah kami, kami tetap tidak akan peduli.

"Shana. Kembalikan sepatu aku!" ucap Sani yang tiba-tiba menghampiri kami yang sedang berada di kantin. Ia hanya mengenakan kaus kaki dengan menenteng sebelah sepatu ditangannya.

"Eh, kok tanya ke gue?" tanyaku memasang wajah terkejut. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Sani maksudkan.

"Ngaku saja, Shan. Kamu 'kan yang sembunyikan sepatu aku? Teman-teman sekelas sudah pada tau kalau kamu satu-satunya orang yang suka isengin orang, Shan. Haha." ucap Sani yang mulai kesal tapi masih bisa tertawa.

"Bukan gue kok. Sudah dicari sepatunya?" tanyaku untuk memastikan seraya mengambil sebuah minuman dari lemari es dan meminumnya.

"Sudah, Shan tapi tak ada. Ngaku Shana dimana kamu sembunyikan sepatu aku? Serius, Shan! Aku mau ke asrama dulu, Shan." ucap Sani yang masih kukuh menyangka jika aku yang menyembunyikan sepatunya.

"Asli, San. Bukan gue yang sembunyikan. Mungkin Sani lupa naruh dimana. Coba cek lagi dibawah kursi Sani" ucapku yang berusaha menahan tawa ketika melihat ekspresi gelisah Sani yang lucu dimataku.

"Tuh 'kan kamu tertawa berarti kamu yang sembunyikan, Shana! Haha. Dimana, Shan?" sahut Sani kembali.

"Eh, bukan! Gue tertawa lihat ekspresi lo, Sani. Lucu. Kayak anak kecil yang minta jajan sama emaknya, haha" ucapku yang diakhiri dengan tawa yang lepas.

Itulah aku yang terkenal sebagai gadis yang senang iseng. Benar yang dikatakan Sani bahwa semua teman sekelasku bahkan teman-temanku dari kelas lain mengetahui jika aku senang iseng. Akupun pernah berbuat iseng kepada teman sekelasku dengan mengikatkan tali sepatu satu dengan yang lainnya ketika semua sepatu sedang berada diatas rak sepatu diluar kelas.

Setelah istirahat tiba, semua teman sekelas berhamburan keluar dan mereka terkejut ketika mengetahui bahwa sepatu mereka sudah terikat dengan sepatu yang lainnya.

"Kelakuan siapa ini, woy!" begitulah teriakkan yang paling banyak aku dengar dari korban-korban isengku. Dan aku tentunya hanya tertawa melihat ekspresi wajah mereka.

"Nih, si Shana yang ngisengin! Haha" ucap Inka yang membocorkan semuanya dan alhasil aku mendapatkan kata-kata kekesalan dari teman-temanku. Dan aku hanya tertawa menanggapinya.

Sejak saat itu, aku dikenal oleh teman sekelasku sebagai gadis yang suka iseng karena banyaknya keisengan yang aku lakukan kepada teman sekelasku. Resiko yang aku dapatkan jika suka iseng adalah seperti yang dilakukan oleh Sani di kantin. Yaitu jika mereka kehilangan barang-barang mereka, mereka akan menuduhku yang menyembunyikannya.

Ketika istirahat pertama tiba, aku dengan sebagian teman perempuan sekelasku terbiasa melaksanakan Shalat Duha di Mushala terlebih dahulu sebelum kami jajan di kantin.

Setelah aku selesai Shalat, aku melipat mukena. Mataku tak sengaja melihat kepada seorang gadis berhidung mancung yang masih berdoa seraya menangis sesenggukan. Matanya sudah merah dan sembap. Aku penasaran apa yang terjadi padanya sehingga ia berdoa sampai menangis seperti itu.

Bukannya aku ingin mencampuri urusannya, aku hanya iba dan ingin menghiburnya. Aku harap dengan aku menghiburnya, perasaannya sedikit bahagia.

"Hai. Lo Risma, ya?" tanyaku kepada gadis berhidung mancung itu ketika kami akan kembali kedalam kelas.

"Iya. Kamu Shana 'kan?" tanya Risma yang diakhiri dengan senyum yang ku kira terpaksa.

"Kita ternyata sekelas, ya? Tapi selama ini gue belum lihat lo dikelas. Lo sembunyi 'kan dari gue? Haha" semoga candaanku bisa membuat Risma tertawa. Tapi Risma masih tersenyum namun kali ini tidak terpaksa.

"Sekarang pelajaran Bina Seni, ya?" tanyaku dengan polosnya atau tidak sadar jika aku salah dalam berucap. Karena setelah mendengar ucapanku, gadis yang bernama Risma ini langsung tertawa lepas.

"Kamu lucu, Shan. Bina Seni itu ekstrakulikuler. Kalau pelajaran namanya Seni Budaya. Haha" ucap Risma yang seperti telah menemukan sebuah titik terang dihatinya. Itu terlihat jelas dari pancaran matanya yang sembab.

Sejak saat itu, aku menjadi akrab dengan gadis berwajah kebarat-baratan ini. Kemana-mana kami selalu bersama. Risma juga mengikuti ekstrakulikuler Pramuka yang sama denganku membuat kami menjadi semakin dekat. Bahkan kami merencanakan untuk sebangku disemester dua nanti.

Karena diriku yang suka tertawa dan tidak bisa mengontrol sikap, aku tak sengaja menginjak keras kaki seorang gadis dibelakangku yang membuat gadis itu berteriak kesakitan.

"Maaf banget. Maaf, ya? Gue gak sengaja. Kalau mau balas budi nih injek aja kaki gue juga" ucapku seraya memajukan kaki kananku kedekat gadis yang bernama Eva yang masih sekelas denganku ini.

"Kamu! Makannya hati-hati, dong! Aku injek, ya. Nih" canda Eva sembari menginjak kakiku dengan keras yang membuat sepatuku kotor karenanya.

"Ih, sepatu lo kotor. Lihat sepatu gue jadi gak keren lagi! Haha" gerutuku seraya mengambil ancang-ancang untuk menginjak sepatu Eva kembali.

Kemudian kami jadi bergaduh dan saling menginjak kaki hingga kami tak sadar yang semula kami berada diluar kelas, kini kami sudah berada didalam kelas.

"Lulu bantuin aku dari makhluk ini! Haha" teriak Eva pada seorang gadis yang sedang duduk dikursi meja paling depan. Ia hanya menertawakan ulah kami tak berkata.

"Lulu bantuin gue nginjek kaki ular ini! Haha" teriakku yang tak kalah hebohnya dengan Eva. Sebelumnya aku belum pernah berkenalan dengan gadis yang bernama Lulu itu. Tapi sikapku yang sok kenal sok dekat yang membuat aku berani bicara kepada gadis asing bernama Lulu itu.

"Sejak kapan ular punya kaki? Dasar makhluk aneh! Haha" celoteh Eva kembali yang bergantian menginjak kakiku. Dan Lulu yang sedari tadi melihati kami hanya bisa tertawa tak bersuara.

"Sudah, ah! Gue capek, Eva!" sahutku sembari mengakhiri kegaduhan dengan gadis bernama Eva itu. Sebenarnya kami belum pernah berkenalan atau saling menyapa sebelumnya. Namun sejak saling menginjak itu, aku dengan Eva menjadi partner berkelahiku.

"Lulu, lo mau saja sebangku sama penyihir ini! Haha" candaku kepada gadis yang duduk sebangku dengan Eva. Dan Lulu hanya tersenyum malu-malu.

"Apa lo bilang? Penyihir?! Lo yang kayak unta! Haha" celoteh Eva yang tak kalah pedasnya dengan kata-kataku.

"Lu, waktu ibunya hamil dia, ibunya ngidam ronggeng monyet, ya? Haha" ucapku seraya menunjuk Eva yang sedang duduk disebelah kursi Lulu. Lulu lagi-lagi hanya tertawa yang ditahan.

"Sembarangan! Shana kali yang ibunya ngidam ronggeng bagong waktu hamil lo. Haha" ucap Eva membalas kata-kata gurauanku. Dan Lulu kembali tertawa yang ditahan.

"Dari tadi ditahan terus tertawanya, Lu. Buat nanti lagi ya tawanya? Haha. Eh, maaf maaf. Bercanda, haha" ucapku dengan polosnya mengeluarkan apa yang ada dalam fikiranku kepada Lulu.

"Tidak apa-apa, Shan" ucap pelan Lulu diakhiri senyum. Mungkin Lulu ini tipe orang yang introvert sehingga Lulu bersikap berbeda dengan yang lainnya kepadaku.

Tetapi seiring berjalannya waktu, Lulu menjadi dekat denganku. Bahkan ia memberiku surat yang berisi curahan hatinya yang selama ini dia sembunyikan dari manusia.

Karena seringnya kami selalu bersama dalam segala situasi, saat itu aku, Lulu, Risma, dan Eva memutuskan untuk menjadi sahabat. Kebetulan pula ketika semester satu berakhir, Inka memilih untuk pindah sekolah. Dan aku menjadi sebangku dengan Risma.

avataravatar
Next chapter