11 Kejanggalan Yang Nyata

Gabriel POV

_________________________________________

Aku menghempaskan tubuh di bangku meja kerjaku, Ibra mendadak menjadi sedikit aneh, aku merasa ada yang ia tutupi, tapi aku berusaha menepis prasangka buruk terhadapnya. Ibra mengajakku pulang ke Jakarta secara mendadak di minggu pagi, padahal Mba Mel sudah mengizinkan untuk lebih lama, Lusi dan Lita yang menjadi PJS terpaksa di cancel karena kami masuk kerja seperti biasa, sampai-sampai tadi Mba Mel terkejut melihatku, jelas saja Mba Mel kaget melihatku yang ada di kantor, padahal Mba Mel sudah memberikan kami izin, namun setelah kujelaskan jika sakitnya Abi tidak terlalu parah, Mba Mel manggut-manggut mengerti.

Kupandangi cincin yang melingkar di jari manisku, tidak kusangka keikutsertaanku ke Yogya malah membuahkan lamaran dari Ibra, aku sangat tidak menyangka, tanpa pikir panjang aku menerimanya, masalah ijin orang tuaku bisa dipikirkan nanti. Entahlah, aku sendiri tidak yakin, apa Mama dan Papa bisa seterbuka Ummi dan Abi, tapi apapun yang terjadi, aku akan mencoba jujur dan menghadapi resiko yang akan kuterima.

Mengingat Ummi dan Abi, aku jadi ingin kembali ke Yogya, mereka begitu baik dan perhatian, bahkan Ummi tidak rela melepasku saat Ibra mengajakku pulang, bagi Ummi kunjungan kami kurang lama, aku juga merasakan hal yang sama, apalagi gadis kecil yang cantik itu, baru sehari meninggalkan mereka aku sudah rindu, ingin rasanya menetap di Yogya bersama keluarga Ibra.

Sedang asyik melamun, ponselku berdenting, menampilkan notifikasi IG yang memberitahu jika ada akun baru yang meminta persetujuan untuk memfollowku. Setelah keseringan menghabiskan waktu bersama Ibra, aku memang jarang mengurus social mediaku, bagiku sudah tidak penting lagi, jika dulu aku sengaja melakukan spam Instastory hanya untuk mencari perhatian Ibra, namun setelah dekat, aku tidak membutuhkan social media lagi.

Karena penasaran, apa salahnya aku melihat sebentar, akun yang meminta izin memfollowku adalah akun milik Sarah dan juga satu akun yang bernama GAIB Lovers, aku tergerak ingin tahu, aku menglik akun yang baru saja memfollowku, aku melihat jelas foto profilnya memakai foto saat aku dicium Ibra, dengan bio nama lengkapku dan juga nama lengkap Ibra disertai slogan Jangan Sampai Karam. Ada-ada saja kelakuan Sarah, ini pasti ulahnya, siapa lagi yang punya fotoku berciuman dengan Ibra kalau bukan calon adik iparku itu.

"Pagi koko ganteng" sapa Lusi yang langsung menyelonong masuk dari balik pintu, "Mas Baim kemana ko?" tanyanya menghampiriku.

Aku memperbaiki posisi duduk, "tadi ngechat koko katanya dateng agak siang, soalnya langsung ketemu vendor" aku menjawab pertanyaan Lusi.

Lusi menaikkan alisnya, seperti kebingungan atas jawabanku, " vendor apaan ko?" tanya lusi mencari tahu, "bukannya hari ini nggak ada meeting apa-apa, kalo ada jadwal juga Lusi pasti tahu."

"Mana koko tau" timpalku, namun dibalik ucapan Lusi, aku jadi terpikirkan keanehan Ibra yang mendadak mengajakku pulang.

Sejak pulang dari bukit bintang, Ibra memang sedikit aneh, dia lebih sering melamun, tidak seperti Ibra yang tengil, selengean dan lucu seperti biasanya, bahkan malam itu ia tertidur hanya memelukku, tidak meminta jatah sama sekali.

Setibanya di Jakarta pun sama saja, setelah ia mengantarku pulang ke kossan, ia memutuskan langsung pulang ke apartemennya dengan alasan lelah dalam perjalanan, aku mengerti keadaannya karena Ibra tidak mau bergantian mengemudi, dia pasti lelah sekali, dan pagi-pagi sekali ia memberiku kabar bahwa dirinya langsung bertemu clientnya, hal yang sama diucapkan oleh Mba Mel tadi karena Ibra juga memberi kabar juga ke Mba Mel.

Lalu, jika memang tidak ada meeting dengan Client, dimana Ibra?, seketika pikiranku menerka-nerka, tapi Aku lagi-lagi menepisnya, mungkin saja Ibra memang bertemu Vendor yang Lusi belum ketahui.

"Vendor baru kali, kamu belum dikasih tahu" Ujarku berusaha menenangkan hati, padahal jelas, dadaku sedikit sesak memikirkannya.

"gak mungkin Ko, pasti dia ketemu Mba Rasty, Mba Rasty kan salah satu vendor kita juga, alesan aja mas baim, huuh" keluh Lusi mencurigai.

Aku menunduk lemah, apa yang dikatakan Lusi ada benarnya juga, kenapa Aku tidak berpikiran kearah sana, bukankah Ibra memang masih berpacaran dengan Rasty, bodohnya Aku kenapa tidak menanyakan hal ini terlebih dahulu saat Ibra melamarku.

Kenapa Aku dengan mudahnya menerima Ibra menjadi pacar, lalu menerima lamarannya, dan menerima cincin yang Ia berikan, kenapa Aku tidak berpikir panjang, Aku mengutuk diriku sendiri, karena cintaku yang terlalu besar, Aku jadi melupakan bahwa Ibra milik temanku sendiri, lalu kenapa Ibra melamarku?, sial, moodku jadi tidak karuan begini.

"Koko kenapa?" tanya Lusi membuyarkan lamunanku, "Koko sakit?" Tanyanya lagi.

"ah--ee--" bibirku rasanya kelu, otakku kosong, tidak tahu harus berkata apa, "oh iya, kamu ada perlu apa sama Ibra? " Aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan, berusaha tetap tenang dan tidak berpikiran yang aneh-aneh.

"Lusi mau kasih laporan sih, tapi sekalian ada yang mau diomongin, entar aja deh kalo Mas Baim udah dateng" Jawab Lusi yang masih berdiri didekatku, "kalo gitu, Lusi permisi ya ko" Ujarnya lagi pergi meninggalkanku.

Sial, Sial, Sial, Aku merutuki diri berkali kali, kenapa Aku bisa mengambil tindakan bodoh seperti ini, kenapa Aku tidak memikirkan hal ini sebelum menerima lamaran Ibra, saking butanya Aku akan cinta Ibra, bisa bisanya Aku melupakan status Ibra yang masih menjadi pacar Rasty.

Kenapa aku harus sedih, air mata sialan ini bahkan tidak mampu aku tahan, kenapa Gabriel cengeng sekali, dadaku sesak, sakitnya persis di ulu hati, tidak boleh, tidak bisa, Aku harus tetap berpikiran positif, Aku tidak boleh berprasangka buruk, mungkin saja Ibra memang benar menghampiri Rasty, bisa saja untuk meminta berpisah, dan mengatakan jika Dirinya sudah memilih Aku dibanding Rasty.

Tapi apa iya Ibra bisa dengan mudah mengatakan hal itu, apa kutelpon Rasty saja, sepertinya tidak perlu, tapi tanganku tidak sinkron dengan otak dan hatiku, Aku malah meraih Handphoneku dan menekan kontak Rasty.

tuuuutt tuuuuuttt

Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.

Jam kerja seperti ini aneh rasanya jika Rasty tidak mengaktifkan Handphonenya, bukankah Rasty orang yang sibuk, apa sebaiknya kutelepon Kantornya Rasty saja, Aku lagi lagi menepis pikiranku yang tidak-tidak, kenapa juga Aku harus berbuat sejauh itu, lebih baik Aku menunggu Ibra kembali ke kantor saja.

"Riel"

kulirik Mba Mel yang memanggilku dari depan pintu ruangannya, sejak kapan dia berdiri disitu.

"ah--iya mba, kenapa?" Tanyaku berusaha menyembunyikan kegundahan yang melanda hatiku.

"kamu kenapa?, sakit?, kok matanya merah?" Mba Mel memberiku pertanyaan bertubi-tubi.

Sial, karena menahan sesak di dadaku dan juga menahan untuk tidak menangis, mataku jadi memerah seperti ini, aku sangat membenci sifat cengeng yang ada pada diriku.

"kalo sakit, pulang aja, lagian masih capek kali baru pulang dari yogya" ujar Mba Mel lagi yang melihatku hanya terdiam tidak berkata apa apa atas pertanyaannya.

"gak apa-apa kok mba, Gabriel masih kuat" ucapku berbohong, padahal dadaku masih terasa sesak, tidak bisa diungkapkan bagaimana perasaan gundahku saat ini.

Mba Mel menghampiriku, Ia duduk diatas mejaku seperti kebiasannya yang sudah-sudah, Mba Mel tersenyum, namun dengan jelas dan gamblang berkata "udah sana pulang, istirahat dulu, lagian Baim juga nelpon Mba, katanya gak bisa ke kantor, dia minta ijin pulang buat istirahat, gak adil dong kalo mba juga gak kasih kamu istirahat"

Belum hilang keanehan yang aku rasakan terhadap Ibra, keanehan yang lain justru datang menghampiri, kenapa Ibra tidak memberi tahu aku jika Ia tidak bisa datang ke kantor, apa aku tidak terlalu penting untuk tahu hal ini.

"ya udah kalo mba ngijinin gak apa apa, sebenernya Gabriel emang masih ngantuk dan capek" ujarku berbohong, berpura pura meregangkan leher.

"ya udah pulang aja sana, nanti sekalian keluar, Lusi sama Lita suruh ke ruangan Mba" perintah Mba mel berlalu pergi menuju ruangannya lagi.

Aku sudah tidak bisa menerka-nerka seperti ini, kuputuskan untuk menghubungi Ibra, namun nomornya tidak aktif, bukannya baru saja Ia memberi kabar ke Mba Mel, secepat itu Ibra me-nonaktifkan Handphonenya, apa memang Ibra masih lelah karena perjalanan pulang dari yogya.

Kuputuskan untuk menekan telepon kantor yang ada di mejaku, suara resepsionis perusahaanku terdengar diujung sana, Aku meminta disambungkan ke PT Isolusion Episentrum Indonesia, Perusahaan Rasty yang sering disingkat Ibra menjadi PT ISEPIN.

"hallo, dengan PT Isolusion Episentral Indonesia, dengan saya Rani, ada yang bisa dibantu?" Suara wanita terdengar diujung telepon.

"hallo mba Rani, bisa disambungkan ke Ibu Rasty, saya Gabriel dari PT Genjot" Jawabku berusaha tetap tenang.

"PT Genjot?" Si Respsionis terdengar kebingungan.

"Genjot, GENta Jaya OTomotif" Jawabku terkekeh, kebiasaanku menyingkatnya bersama Ibra, bahkan Mba Mel ikut ikutan.

" ya Allah, Bapak bisa aja, hihihi, Ibu Rasty sedang meeting pak" Jawabnya dengan tertawa.

Aku sedikit bernafas lega, ternyata Aku memang hanya menerka-nerka, bisa bisanya Aku menduga yang tidak tidak, bisa bisanya Aku berpikiran negatif tentang Ibra dan Rasty, dasar bodoh.

"hallo Pak Gabriel, maaf, yang bapak cari Ibu Rasty HRD kan?" Tanya resepsionis yang bernama Rani memastikan.

"bukan mba, tapi Ibu Rasty manager Purchasing" ujarku meralat, ya setahuku memang Rasty adalah manager Purchasing, lagipula apa urusan bagian Marketing seperti kami dengan HRD perusahaan lain.

"ooh, Ibu Diandra Rasty subagja ya pak maksudnya, mohon maaf pak sebelumnya, karena Ibu Rasty yang bapak maksud, lebih dikenal dengan Ibu Diandra, kalau Ibu Rasty sukmanagara itu manager HRD pak" Ujar resepsionis itu menjelaskan.

Aku masih ingat, nama panjang Rasty memang benar yang disebutkan resepsionis tersebut, nama Rasty hanya dikenal dikalangan orang orang terdekatnya saja, walaupun tidak begitu dekat, tapi Aku dan Rasty saling kenal saat dikampus, kebetulan Aku dan Rasty sama sama Alumni di salah satu perguruan tinggi di jakarta, hal ini juga yang membuat Ibra ikut memanggilnya dengan nama Rasty saat mengetahui bahwa Aku mengenalnya.

"hallo pak, mohon maaf, apa bapak mendengarkan suara saya?" Tanya Rani yang mungkin kebingungan karena Aku hanya diam tidak menyahutinya.

"ah--iya mba, jadi gimana, Bu Diandranya ada?" Aku balik bertanya, merubah panggilanku terhadap Rasty agar resepsionisnya tidak kebingungan.

"Kalau Bu Diandra, beliau sedang tidak masuk kerja pak, info yang saya dapatkan dari divisinya, Beliau sedang ke Rumah Sakit" Jawab Rani dengan lembut.

Aku terdiam sejenak, sebelum melanjutkan pembicaraan,"ya sudah mba kalau begitu, terima kasih ya"

"baik pak, adalagi yang bisa saya bantu pak?" Rani bertanya lagi dengan sopan, Resepsionis itu patut diberi penghargaan, Ia sangat ramah terhadap orang yang menelpon ke perusahaannya.

"tidak ada mba" Jawabku singkat

"kalau begitu, panggilannya saya akhiri ya pak, selamat pagi, selamat beraktifitas kembali" Rani menutup gagang telepon, hingga telepon kembali mengeluarkan nada tutttttt.

Lagi-lagi, Aku dipenuhi pertanyaan, apa yang dilakukan Rasty dirumah sakit, kenapa Aku ingin tahu, itu kan urusan Rasty, sebaiknya Aku ke Apartement Ibra saja, lagipula, Aku merindukan Pria yang sudah melamarku kemarin malam.

Aku bergegas merapikan meja kerjaku, kemudian segera pergi meninggalkan ruangan setelah berpamitan ke Mba Mel, tidak lupa Aku juga menyuruh Lusi dan Lita untuk menemui Mba Mel sesuai perintahnya tadi.

Ada untungnya juga Aku meninggalkan mobilku di Basement sejak tiga hari yang lalu karena dipaksa Ibra untuk menjemputnya di Restoran Kencana, dan diakhiri ke bandung kemudian ke Yogya, benar benar weekend yang tidak terencana.

Aku memacu mobilku cukup kencang agar cepat segera tiba di Apartement Ibra, sesampainya diparkiran Apartement Aku melihat Mobil Ibra terparkir di Basement, berarti benar, Ibra memang kembali ke Apartement, lagi lagi aku bernafas lega, Aku merasa bersalah telah berpikiran buruk terhadapnya.

Aku berjanji, setelah tiba di kamar Ibra, Aku akan meminta maaf dan memberikan servis untuk pacarku itu, ah tidak sabar rasanya, apa akan berbeda sensasi berhubungan sex dengan pacar yang sudah resmi melamar, hatiku jadi berbunga bunga mengkhayalkannya. Aku mencoba menghubungi Ibra lagi, namun nomornya tetap saja tidak aktif, mungkin saja Ibra tertidur.

Karena Aku tidak mempunyai akses masuk, jadi Aku terpaksa menunggu penghuni lain yang keluar ataupun masuk melalui Basement, beruntung Aku tidak menunggu terlalu lama, karena ada dua wanita yang keluar melalui Lift, dengan begitu baiknya satu orang membukakan pintu dan satunya lagi menahan Lift, jelas saja Aku langsung mengucapkan terima kasih yang begitu tulus atas kebaikan mereka.

Lift terus berjalan naik tanpa kendala menuju lantai 10 yang kutekan, dimana lantai tersebut adalah letak kamar apartement milik Ibra, Aku heran kenapa orang betah tinggal di Apartement, Aku lebih suka tinggal di kost karena penghuninya berbaur, tidak seperti di Apartement yang kebanyakan penghuninya memiliki dunia masing-masing tanpa saling ingin tahu satu sama lain.

Lift berdenting, menampilkan angka 10 dilayar kecil diatasnya, Aku segera keluar menuju ke koridor sebelah kiri, Kamar Ibra terletak di ujung Koridor, melewati enam kamar lain yang memisahkan Kamar Ibra dengan Lift.

Ibra pasti terkejut dengan kedatanganku, setelah itu Aku akan menghambur ke pelukannya dan bercinta bersama hingga larut malam, Apa-apaan coba Aku ini, sudah berani memikirkan yang tidak tidak, tapi apa salahnya kan Aku yang meminta jatah, toh Ibra sudah melamarku, itu tandanya Ibra sudah memberiku ikatan.

Sebelum Aku menyentuh tombol bel yang ada disamping pintu, mataku tertuju pada kunci kamar yang masih menggantung, pacarku itu ceroboh sekali membiarkan kunci masih tergantung seperti itu, aku mengurungkan niat untuk menekan bel, kuputuskan untuk langsung masuk kedalam apartement.

Keadaan Apartement Ibra memang sangat luas, Ia memiliki ruang tamu yang lebar, bahkan lebih lebar dari ruang tamu rumah abi dan ummi, seperti Apartement mewah pada umumnya, Apartement yang Ia beli dengan jerih payahnya sendiri, Aku bisa saja seperti Ibra, tapi Aku tidak tertarik dengan Apartement, Aku lebih menginginkan Rumah, oleh sebab itu, Aku masih berusaha menabung hingga uangku cukup untuk membeli Rumah impianku.

Dari ruang tamu, sayup-sayup kudengar suara keributan dari ruang makan, Aku tidak salah dengar, Aku berjalan mendekat, suara itu semakin jelas terdengar, suara jeritan yang memekik dari seorang wanita yang menangis, dan suara Ibra yang memohon kepada wanita tersebut, Aku sangat mengenali suara wanita itu, jelas Itu suara Rasty.

Nafasku tercekat, kakiku rasanya lumpuh seketika, ternyata Ibra tak seorang diri, ada Rasty bersamanya, kenapa Ibra tak memberi tahuku soal ini, Aku ingin berbalik namun kakiku tak dapat diajak kompromi, Aku malah melangkah menuju Rasty yang menangis semakin kencang, ada apa gerangan yang terjadi.

Perlahan melangkah, Aku akhirnya sampai juga di ruang makan Ibra yang tak kalah luas dengan ruang tamu, ruang makan yang digabung dapur dengan perabotan yang sangat lengkap.

"Rasty!!" Ujarku berteriak saat melihat adegan drama yang sering kulihat di sinetron Indonesia.

Tapi adegan ini nyata, tidak ada sutradara ataupun kamera, Rasty sedang menodong dirinya sendiri dengan sebilah pisau dapur yang menempel di pergelangan tangannya, sedangkan Ibra yang berada di sebrang Rasty, tampak ingin menahan Rasty untuk tidak melakukan itu.

"ohhhhh jadi kalian udah janjian kesini !!, heh!! kamu homo sialan yang ngerebut Ibra dari Aku, kamu udah tega nusuk Aku dari belakang, gila kamu riel!!, kamu jahat riel!!!, kamu jahatttt banget riel!!, apa sih salah Aku dari kamu, kenapa sih riel!?, kenapa!!!, brengsek kamu homo sialan!!! kamu--"

Aku tertunduk lesu, tidak tahu lagi berkata apa, apa yang dikatakan Rasty memang benar, Aku telah merebut kekasihnya, Aku telah merebut Ibra dari pelukannya, seharusnya Aku berpikir dua kali saat Ibra menyatakan cintanya padaku, seharusnya Aku menolak saat Ibra melamarku, Aku memang jahat, Aku benar-benar tidak memikirkan perasaan Rasty, Aku pantas Ia maki dengan kata Homo Bajingan, Homo Brengsek, Aku pantas mendapatkannya.

"cukup Rasty!!," Ibra membentak Rasty, "jangan pernah kamu hina Gabriel !!!!" Ibra membentak dengan lebih keras.

Seharusnya Aku bahagia karena dibela Ibra, tapi apa yang didepan mataku sudah cukup jelas, karena ulahku, Rasty ingin menghabisi nyawanya sendiri.

"apa?!!!, hah!!, oh iya Aku lupa kalo tadi udah cerita dilamar, waaw, gampang ya ngelamar orang lain setelah kamu tega nyakitin dan ninggalin Aku, kamu tega Baim!!, kamu bajingan!!!" Maki Rasty tak kalah kencang, sedangkan Aku masih terdiam di pintu yang memisahkan Ruang Tamu dan Ruang makan, tidak ingin mencampuri urusan mereka berdua.

"sudah berapa kali Aku bilang sama kamu, kamu yang minta semua ini Ras, Kamu yang minta Aku untuk gak hubungin Kamu lagi, lalu apa salah Aku, Aku udah turutin kemauan kamu" Suara Ibra melemah, Ia berusaha untuk tidak membuat Rasty nekat.

Rasty kembali menangis, Ia Meraung pilu sejadi jadinya, hatiku sakit sekali melihat Rasty seperti itu, semua karena keegoisanku dan Ibra, karena cintaku yang telah membutakan mata, hingga tak mampu melihat bahwa ada kekasih Ibra yang lain terluka.

"Ras udah, lepasin pisaunya ya, Aku bakalan pulang, aku gak akan ganggu hubungan kamu sama Mas--, sama Ibra, Aku mohon Ras, Kamu jangan nekat, Kamu jangan bodoh"

Aku yang sejak tadi diam, berusaha menenangkan Rasty yang masih menangis meratapi kepiluannya, sungguh Aku tidak tega melihat wanita menangis.

"Rasty, dengerin Aku, Aku mohon percaya sama Aku, Aku akan tinggalin Ibra buat Kamu, Aku bakal jauhi Ibra, percaya sama Aku Ras" Ujarku kembali berusaha menenangkan.

Ibra mendekatiku, matanya sayu, Ia menangis dihadapanku yang berpura pura tegar, tuhan, Drama macam apa ini, kenapa ada seorang laki laki dan seorang perempuan mencintai laki laki yang sama, tapi disini, Akulah yang memang seharusnya mengalah, mau ditanyakan ke siapapun, Rasty lebih berhak, Rasty lebih pantas untuk Ibra dibanding hubunganku yang Tabu.

"Kamu jangan pernah ngomong kayak gitu, Aku gak akan pernah mau kehilangan Kamu, Aku lebih mencintai kamu dibanding segala-galanya" Ujar Ibra menatapku lekat, Ia menekankan kata demi kata saat mengatakan hal itu kepadaku.

Tangan Ibra berusaha menggenggam tanganku, namun Aku menepisnya.

"Baim, kamu jangan egois" Ujarku tak kalah menatapnya dengan tajam.

"Ba-Baim" Ibra memelotot tajam, Ia pasti tidak menyangka Aku memanggilnya sama seperti panggilan orang lain terhadapnya, "kamu sadar dengan apa yang kamu ucapin riel?" Tanya Ibra geram.

"ini bukan saatnya kita berdua ngebahas yang lain" jawabku mengalihkan pandangan kembali ke Rasty yang terduduk didepan lemari kitchen set.

"Ras, plis, dengerin Aku" Pintaku mengiba sambil mendekati Rasty.

Rasty masih terisak dalam tangisnya yang semakin pilu, pisau di tangannya terjatuh ke lantai, Aku bersyukur dan bernafas sangat lega, pelan pelan bibirnya yang bergetar mengucapkan kalimat, "Riel-- Aku Hamil".

Rasty kembali menangis sejadi-jadinya, Ia bahkan memukuli perutnya sendiri,

nafasku terasa tercekat, Jiwaku terasa pergi meninggalkan Ragaku yang mematung, dadaku sesak, sakit, seperti tertancap sembilu yang tertahan di hatiku, tepat mengenai ulu hati.

"Aku--Hamil--karena Dia, Riel" Lirih Rasty menunjuk Ibra, lalu beralih menunjuk selembar kertas yang ada diatas meja makan, kertas itu sedikit robek dan teremas, namun masih jelas tulisan yang berada di kertas yang kupegang, selembar surat keterangan yang dikeluarkan Rumah Sakit yang kukenal, Surat itu menerangkan bahwa Rasty positif hamil 3 bulan.

Jiwaku serasa kembali pamit meninggalkan ragaku, membiarkan Ragaku melemah dan kembali mematung, bahkan kertas ringan yang kupegang terasa berat, sehingga kertas itu terjatuh tepat diujung kakiku, hatiku luluh lantah, hancur berkeping keping tak tersisa, hancur sudah harapanku, mati sudah perasaanku.

Air mata sialanku tak dapat kubendung lagi, menyusul Rasty yang terisak, tubuhku lemas, rasanya ada yang merajam di jantungku, apa ini artinya luka karena cinta, aku akhirnya merasakannya, rasanya sangat tidak enak, rasanya sangat menyakitkan, tak berbekas namun ada, tak terlihat namun nyata.

Aku meraung dalam tangis yang memecah, hingga tubuhku jatuh tak mampu berdiri lagi, Pria itu, Pria yang kemarin malam melamarku, hari ini menancapkan keperihan, kepedihan, kesakitan, aku sangat tidak menyangka begitu cepat sang maha cinta membolak-balikkan rasa, begitu singkat bahagia yang kurasakan menjadi luka, dalam sekejap semua berubah, dalam sekerlipan mata semua rasaku musnah.

Kemarin Aku masih sempat tertawa dengan Pria itu, namun hari ini tangislah yang merajai kami, sakit, ini begitu sakit sekali, Aku tidak sanggup merasakan semua ini, kenapa harus Aku? kenapa harus aku yang terpilih untuk merasakan derita ini? kenapa harus Aku yang menanggung luka ini? kenapa harus Aku yang bertemu dengan Ibrahim? kenapa harus Aku yang mencintai Ibrahim? kenapa harus Aku!!?, Aku tidak sanggup merasakan perihnya kenyataan ini, aku benar benar tidak sanggup.

Wajahku tertunduk lesu, air mataku menetes membasahi lantai, tanganku kaku, bibirku kelu, Aku tidak tau harus berbuat apa selain hanya menangis sejadi jadinya, beriringan dengan isak tangis rasty yang tak juga reda.

Dalam kelukaan yang sakit, bibirku lirih bersuara, "kenapa? kenapa kamu tega Baim?" ya, Aku tidak mau lagi menyebut namanya Ibra, apalagi ditambah mas didepannya, dia Pria jahat, dia melukai perasaan wanita sebaik Rasty dan juga melukai perasaanku dengan begitu tega.

Kurasakan langkah kaki Baim yang berjalan kearahku, tangannya berusaha merangkul tubuhku yang terduduk lemas, Aku menepisnya, Aku tidak mau lagi dipeluk oleh pria sepertinya.

"Aku mohon sayang, percaya sama Aku, Aku nggak pernah ngelakuin ini, Aku udah pernah cerita kan, Aku selalu jaga, Aku selalu pakai pengaman, dan selalu ngeluarinnya diluar, tolong, aku mohon sayang" Ucap Ibra lirih berlutut disampingku.

Bagiku itu bukan alasan, Apa dia pikir dengan memakai pengaman, semua masalah terselesaikan, dasar bodoh.

Ibra berusaha membelai rambutku "sayang--"

Aku menepis tangannya lagi dan lagi, dengan isakan tangis yang berusaha Aku tahan, kutatap wajahnya nanar, wajah tampan yang Aku kagumi sejak dulu, wajah yang mampu membuatku tersenyum, namun sekarang wajah itu menjadi satu satunya wajah yang tidak ingin kulihat lagi, Aku membenci wajah itu, "Jangan-pernah-lagi-panggil- aku-sayang"

"sayaang, Aku mohon--"

Plaaaakk

Aku mendaratkan sebuah tamparan keras di pipinya, Ia pantas menerima ini dariku, setelah ingin melarikan diri dari tanggung jawab karena menghamili Rasty, pria bajingan ini masih dengan bangganya memanggilku sayang, apa urat malu sudah tidak ia miliki lagi.

Ibra tertunduk, Aku melihat Air matanya menetes, seandainya saja hari ini adalah kemarin, sudah pasti Aku akan merengkuh pipinya dan menghapus air matanya dengan jariku, tapi saat ini keadaan sudah berbalik arah, sedikitpun sudah tidak ada rasa kasihan didalam diriku untuknya, Aku benci, sangat membencinya, Ia datang hanya untuk memberikanku luka, dan Aku bodoh, mau saja tertipu oleh don juan didepanku ini.

Aku sudah mengenalnya sebagai seorang playboy yang bergonta ganti pacar, Aku bahkan sudah mengenal dia yang mengambil keuntungan atas tubuhku dengan mengajakku membentuk hubungan Teman Tapi Mengentot sialan itu, hubungan yang semakin membuatku merasakan cinta yang dalam, sudah seharusnya sejak awal Aku tidak melandasi hubungan ngentot sialan itu dengan cinta.

"sayang--aku--" Ibrahim kembali berbicara pelan.

BUGGHHH

Sudah aku katakan, aku benci dengan ucapannya yang memanggilku sayang, bagiku itu semua bohong.

Kulayangkan kepalan tinjuku tepat diperutnya, Ibrahim berteriak kesakitan memegang perutnya, Ia pantas menerima pukulan dariku, bahkan jika perlu, Aku ingin menghabisinya, namun melihat Rasty yang terisak diujung sana, dan melihat surat kehamilan yang tergeletak dihadapanku, Aku sadar, Rasty lebih membutuhkan Ibrahim dibanding Aku, sudah seharusnya Aku sadar diri dan enyah dari sini.

Kuhapus air mata sialan yang tak mau juga berhenti, akh, dadaku kembali sakit, tapi Aku berusaha untuk bangkit berdiri, Aku harus segera pergi dari sini.

Ibrahim berusaha memegang pergelangan kakiku, wajahnya mengiba penuh harap, tapi dimataku sekarang dia bukanlah Ibraku, dia adalah Baim, Ibra dan Baim berbeda bagiku, Ibra hanya untukku, Pria keturunan Arab yang begitu hangat menyentuh setiap inchi tubuhku, sedangkan Baim, Baim adalah Pria petualang yang hanya menginginkan kenikmatan seseorang, lalu membuangnya setelah Ia puas mencicipi.

Aku menarik kakiku dengan kuat, tak sengaja menendang dagunya, Aku tidak bermaksud, tapi biarkan saja, Rasa sakit yang Ia terima tak seberapa dengan Rasa sakit didadaku.

Aku melangkah dengan pasti, sedikit kutoleh kebelakang, Rasty masih terisak menjambak rambutnya sendiri, sedangkan Baim, ya, mulai detik ini Aku akan memanggilnya Baim, Ia memegangi bibirnya yang berdarah, dengan penuh rasa yakin, Aku mencabut cincin yang Ia lingkarkan dijari manisku, Kulempar cincin itu tepat tergelincir didepan mata Baim, lalu melanjutkan langkah untuk pergi meninggalkan mereka berdua.

Cuaca siang ini cerah, namun tidak sama didalam hatiku, Aku merasakan kemendungan menyelimutiku, Aku sudah pergi jauh melajukan Mobilku meninggalkan Apartement yang beberapa kali menjadi saksi persetubuhanku dengan Baim, bodoh, kenapa Aku malah terkenang lagi, dan dadaku sesak lagi karena mengingatnya.

Jika tau rasa sakit hati itu seperti terbakar, dari awal aku tidak mau bermain Api.

Jika tahu sepilu ini rasanya perpisahan, dari awal aku tidak menginginkan pertemuan.

Sayang sekali, penyesalan memang hadir belakangan.

Aku seharusnya sadar, pilihan yang akan kuhadapi saat menjalani hubungan cinta dengan Ibrahim hanyalah perpisahan.

Perpisahan yang terbagi menjadi dua, berpisah dengan baik, atau berpisah dengan buruk, namun sayangnya takdir menghendaki kami untuk merasakan pilihan berpisah dengan buruk.

Tubuhku melemah, pandangan mataku berkunang, tak terlihat lagi arah jalan yang harus kulewati, masih kurasakan kepala mobilku menyeruduk sisi jalan, masih kurasakan saat mobil yang kulajukan melompat keluar, masih kurasakan juga saat dentuman mobilku menabrak permukaan danau, aku juga masih merasakan saat tubuhku mulai basah oleh air yang masuk kedalam mobilku, namun setelah itu, aku tidak tahu lagi, mungkin saja Aku sudah mati.

To Be Continued ( Penulis : Yusuf Asabi, akun wp dan webnovel Youshouldbe22)

avataravatar
Next chapter