32 Surat Peringatan Dan Sebuah Ancaman [3]

Aku dan Miko kembali ke toko saat hampir tengah malam. Setelah berpamitan, aku naik taksi untuk pergi ke rumah sakit. Sesampainya di sana, aku melihat kakak Emma masih terjaga dengan istrinya, mereka berdua duduk di kursi tunggu yang berada di depan ruang rawat inap ibunya.

"Kak, Emma di mana?," tanyaku, setelah memberikan nasi kotak dan minuman masing-masing kepada mereka.

"Keluar, sebentar lagi mungkin kembali," ucapnya sambil memintaku duduk, mungkin dia tahu kalau aku baru pulang dari toko. Kakaknya Emma sudah seperti kakak kandungku sendiri. Bisa dikatakan hubunganku dengannya lebih baik, jika dibandingkan dengan kakak ku sendiri.

Malam itu, aku sudah menunggu, mungkin sekitar satu atau dua jam hingga aku tertidur. Karena khawatir, aku putuskan untuk mencari Emma. Aku mengirimkan pesan ke ponselnya, namun tidak ada balasan.

Kulangkahkan kakiku berjalan keluar rumah sakit, mataku awas mencari keberadaan wanita itu. Saat melewati tempat parkir, aku melihat seseorang sedang berjongkok. Dari tampilannya, aku tahu kalau itu Emma, "Em, apa yang kau lakukan?," panggilku dari jauh.

"Hanya memberi makan kucing gembul," mendengar kata 'gembul' pikiranku mengarah pada Mickey, dan benar saja, itu adalah si bulu abu-abu yang sedang asyik mengunyah makanan yang diberikan Emma.

'Astaga, pantas saja badannya seperti bola bulu, menggemaskan,' batinku, "Em, ayo ke dalam! Sudah malam," aku mengajaknya masuk karena udara luar yang dingin.

"Tha," dia menjeda ucapannya, terdengar ragu, "Ibuku kritis. Malam ini, sampai besok, adalah penentuannya," ucapnya sambil berusaha tersenyum, di saat bersamaan dia juga menangis. Aku bingung harus memberikan respon seperti apa, kecuali memeluk Emma dan bilang kepadanya untuk bersabar.

Tepat pada pukul lima pagi, aku berpamitan, karena harus membuka toko bersama Miko jam delapan. Emma memintaku berhati-hati, juga jangan terlalu memforsir tubuhku untuk bekerja. Selepas melambaikan tangan, aku bergegas pergi.

Sesampainya di toko, aku sudah sangat terlambat. Miko bahkan telah menyiapkan mobil, karena dia harus mengantar bunga pesanan keluar kota. Sedangkan aku yang akan mengirimkan sisanya ke beberapa kantor yang menjadi langganan rental bunga-bunga hidup dari kami.

Dua hari ini terasa sangat berat. Aku dan Miko harus membagi tugas untuk mengerjakan pekerjaan yang biasanya Emma kerjakan. Sekitar jam tiga sore dia sudah pulang, kondisinya mengenaskan.

"Tha, tolong ambilkan minum," pitanya sambil terduduk di lantai dekat pintu.

Saat aku memberikan satu gelas besar penuh air, dia segera menghabiskannya, "Aku melihat hal aneh tadi," ucapannya, mulai bercerita, "Sedikit membingungkan mungkin, karena cuma sekelebat, jadi tidak begitu jelas," aku tidak memahami ucapannya, "Ada beberapa benda hitam seperti bayangan yang terbang bergerombol di sekitar sini, mereka sepertinya mondar-mandir mencari sesuatu," jelasnya dengan kebingungan, "Sumpah, seumur hidup, aku belum pernah melihat yang seperti itu," ucapnya takjub.

Suara seekor anjing mengagetkan kami. Kerberos menyalak di depan pintu, sepertinya dia memintaku untuk keluar. Aku segera mengikutinya dan berpamitan pada Miko.

"Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kesini?," tanyaku yang masih kebingungan. Saat itu juga, aku melihat sesosok makhluk yang terbang pelan, tak jauh dari toko buku yang ada di seberang jalan. Dia mengambang seperti gumpalan asap tebal, sepertinya sedang mencari sesuatu, "Baiklah, aku paham," ucapku pada Kerberos.

Aku meminta Kerberos masuk ke dalam toko untuk sembunyi. Miko yang melihatku membawa seekor anjing, tampak terkejut, "Tha, itu punya siapa? Kenapa kau membawanya kesini?," Ucapnya memperingatkan. Dia tahu betul aku takut hewan itu, jadi sudah dipastikan bukan punyaku.

Sepertinya, Miko melihat bayangan yang sama denganku. Aku memperhatikan dia yang tak henti-hentinya menatap toko buku yang ada di seberang jalan, tempat makhluk itu berada.

"Miko, apa yang kau lihat?," tanyaku memastikan.

Dia terlihat gugup, bahkan suaranya bergetar, "Apa kau melihat sesuatu?," Miko malah bertanya balik padaku, "Seperti kumpulan asap, disana?," telunjuknya mengarah pada tempat makhluk itu berada.

Aku bingung harus menjawab apa, maka ku alihkan tatapanku pada Kerberos yang justru balik menatapku.

Aku putuskan untuk tetap diam, membiarkan Miko berasumsi dengan pikirannya sendiri, sembari terus memperhatikan bayangan itu.

Mereka kini bukan cuma satu, aku melihat yang lainnya mulai berdatangan. Tubuh mereka hitam pekat, seperti gumpalan asap sisa pembakaran ban yang mengambang dan bergerak pelan. Alarm bahaya dalam tubuhku seolah berbunyi, mengingatkan ada hal buruk yang akan terjadi.

Buru-buru aku menutup pintu toko, dan meminta Miko untuk masuk. Dia terlihat sangat bingung, tapi aku tak berniat untuk menjelaskan apapun padanya. Aku memintanya untuk tetap berada di dalam, selama bayangan itu masih ada di luar.

Aku mengambil Mickey yang sedang tidur dan segera berlari keluar bersama Kerberos, melalui pintu samping toko.

"Hei! Hei! Hei! Ada apa ini?!," ucap si gembul panik, karena tidurnya terganggu.

"Suruhan ayahku datang lagi," ucapku cepat.

Kami berjalan mengendap-endap, seperti pencuri di antara bangunan pertokoan. Berbaur dengan kerumunan orang yang menyebrang, kami semakin mempercepat langkah untuk menjauh dari sana. Saat dirasa cukup jauh, aku segera menurunkan Mickey, "Sepertinya, ayah benar-benar sangat menginginkan Zie," aku masih tidak memahami jalan pikiran orang itu.

Aku lihat Mickey dan Kerberos pun nampak kebingungan. Kami hanya bisa lari sejauh ini, tapi kami tidak tahu, ini akan terus bisa kami lakukan sampai kapan. Aku sekarang merasa sangat tidak berguna. Aku berharap agar memiliki sedikit kecerdasan Mickey atau kekuatan dan keberanian Kerberos, tapi aku tidak punya keduanya.

Dingin, aku merasa tiba-tiba suhu di sekitarku turun. Sebuah tarikan pada bajuku membuatku terjatuh. Saat aku berbalik, sebuah tangan hitam pekat berselimut asap dengan kuku-kuku yang tajam, nyaris merobek wajahku. Jantungku seperti dipacu sekuat-kuatnya. Aku berusaha untuk bangkit, kemudian berlari dengan kaki yang gemetar, sambil menggendong Mickey. Sementara Kerberos menyusul di belakang.

Navigasi di otakku sepertinya sudah mati, aku tidak tahu kemana arah langkahku. Lari, lari dan lari, hanya itu yang ada di kepalaku.

Kami melewati gang-gang kecil, hingga kadang aku harus memiringkan tubuhku, tapi makhluk itu terus saja mengejar dan mereka bertambah banyak, 'Aku tidak ingin mati hari ini,' keinginan itu yang membuatku sanggup terus berlari.

"Aarrhhh!," aku menjerit ketika seperti ada yang menarik baju belakangku, lagi. Detik berikutnya, kurasakan tubuhku melambung ke udara, lalu tiba-tiba saja aku sudah duduk di atas punggung Kerberos. Dia membawa kami terbang meliuk-liuk di antara celah bangunan pertokoan kota, kemudian menukik tajam ke langit.

Udara dingin seperti menampar wajahku keras-keras, saat Kerberos terbang lurus ke atas. Sesaat kemudian, kami mengambang pelan di antara awan, 'Apa aku mati?,' batinku.

Saat aku belum benar-benar pulih, aku melihat sekelebat bayangan dan sepertinya, Kerberos juga menyadari hal itu. Kami melesat, menembus awan putih dengan semburat jingga keemasan. Tanganku berpegangan kuat pada bulu anjing berkepala tiga itu, sambil menggendong Mickey. Sesekali aku melihat kebelakang, dan kudapati mereka masih mengejar kami.

"Phantom, guardian. Bagaimana bisa ada disini?!," ucap Mickey panik.

Kepanikan kucing gembul itu menular padaku, sehingga otakku terasa buntu, tak bisa memikirkan apapun, 'Siapa itu Phantom?,'.

Aku hampir terjatuh dari ketinggian, saat tubuh Kerberos oleng karena diterjang salah satu dari mereka, "Turun," aku berteriak, melawan bisingnya angin yang menelan suaraku.

Sepertinya, Kerberos mendengar teriakanku, karena sesaat kemudian dia menukik ke bawah, memilih terbang rendah. Kami melewati wilayah berkabut. Beberapa ranting pohon pinus mencuat diantara tebalnya awan yang berada dekat dengan permukaan tanah berkondensasi itu, "Lebih rendah lagi," pintaku.

Dia tak menjawab, hanya membawa kami terbang di antara batang pepohonan hutan di suatu tempat yang belum pernah ku ketahui.

Sebuah danau yang luas, membentang di depan kami. Perbedaan suhu di permukaan dan air danau, menyebabkan seolah danau itu sedang mendidih.

Kami berhenti, bersembunyi diantara semak-semak yang berada di tepi danau. Mataku awas mengamati makhluk-makhluk yang masih mengejar kami. Mereka terbang rendah di atas permukaan air.

Pangkal lidahku terasa sangat pahit karena gugup. Kami terus memperhatikan, nyaris tidak berani bergerak agar tak memancing mereka. Sementara mereka terus berputar-putar di sana, seperti kebingungan.

"Tha, mereka mendeteksi dengan menggunakan bau," lirih Mickey, "Aroma kita tersamarkan dengan hutan ini," saat dia mengatakan hal itu, aku mulai sadar. Hutan pinus tempat kami berada, memiliki aroma khas yang kuat. Mungkin selain kabut, hal ini juga membantu kami bersembunyi dari mereka.

Setelah beberapa lama mereka terbang berputar-putar di atas danau itu, mereka kemudian pergi.

Aku mengambil ponselku hendak menghubungi Miko, tapi sayangnya dia tidak mengangkat panggilanku. Aku hanya ingin memastikan kondisi disana baik-baik saja, "Kerberos, apa bisa bawa kami pulang?," pintaku.

Kerberos mengangguk, kemudian kami pun pergi.

avataravatar
Next chapter