webnovel

Anak Panah Meluncur, Menembus Lautan Udara

Mickey menjemputku sendirian. Dia duduk di depan pintu gereja, aku menghampirinya dengan mata bengkak dan wajah yang sembab.

Kami duduk bersama, bersandar pada dinding luar gereja. Tidak ada topik untuk memulai obrolan kami, karena kami lebih memilih untuk diam satu sama lain.

Hujan turun semakin lebat, Mickey duduk mendekat ke arahku, "Aku tidak tahu sejak kapan dia pergi. Saat aku bangun, dia sudah tidak ada," 'dia' yang di maksud kucing itu adalah Kerberos.

"Aku yang salah sebenarnya, aku harusnya memberikan itu pada Zarina, seperti yang kalian katakan," aku diam sejenak, "Aku tidak sanggup mengorbankan satu nyawa untuk tujuan kita. Aku juga terlalu takut untuk mengorbankan diriku sendiri," ucapku jujur.

"Sepertinya, kita memang harus menunggu sampai mantra itu menghilang," ucap Mickey menghibur, "Hei, apa salahnya bersabar?,".

Aku mengangguk dan tersenyum lemah menanggapi ucapan Mickey. Mengingat semua yang telah aku lalui untuk sampai disini, membuat hatiku masih merasa tak nyaman untuk bertemu dengan Kerberos.

Kami tiba di pasar sekitar jam satu pagi, keesokan paginya. Aku memandang sejenak semua hal yang pernah aku lihat disini, untuk mengucapkan selamat tinggal.

Saat kami keluar dari portal, hangat cahaya mentari pagi menyambut kami. Kami berada di dimensi itu selama lima hari, sedangkan di alam ini, baru berjalan lima jam—dari saat kami pergi.

Menyusuri jalan tempat kami datang, kami menikmati perjalan ini hanya berdua. Aku dan Mickey yang berjalan di depanku, tanpa Kerberos. Dia meninggalkan kami. Mungkin, dia sekarang berada di dunia roh.

Semuanya seperti mimpi, perpisahan yang begitu tiba-tiba.

Saat kami tiba di jembatan tempat aku berkelahi dengan ayahku, aku mengingat kembali peristiwa itu. Semuanya seolah baru saja terjadi, saat aku melihat bercak darah disana.

Sejujurnya, dulu aku merasa sangat menyesal atas tragedi berdarah yang harus terjadi diantara aku dan ayah. Tapi sekarang, aku merasa sedikit lega atas keputusanku terhadap beliau, dan aku yang telah sampai dengan selamat disini.

Bus yang kami tumpangi, melaju pelan di jalanan yang berkelok. Hujan di luar, membuat jejak air di jendela kaca. Aku masih saja mengingat Mika dan semua perkataannya. Aku hanya berharap saat ini, ada satu orang saja untuk biasa aku ajak bicara mengenai apa yang aku alami. Aku tidak dapat menceritakan masalahku pada Emma, ataupun Erick. Aku menghubungi wanita itu sekedar untuk meminta libur hari ini, aku ingin beristirahat.

Aku turun di halte dekat jalan hutan menuju tempat tuan Oka, meninggalkan Mickey yang sedang tertidur di bus. Menyerah untuk apa yang aku alami, aku berjalan seperti raga tanpa jiwa menuju portal.

Aku terus melangkah, hingga tanpa kusadari, sudah berdiri di depan kedai makan kecil milik tuan Oka. Dari balik kaca, aku melihat Zie yang dengan kikuk menata buku-buku yang berantakan. Aku tak sadar ketika ketika air mataku luruh dengan sendirinya, ini sangat menyesakkan.

Aku hanya ingin bersamanya sebentar lagi, kenapa rasanya begitu sulit. Aku tidak menginginkan apapun, apakah bentuk tubuhnya yang sempurna, cara jalannya yang seperti dulu, bahkan wajah tampannya yang selalu menyajikan senyum dan semua ekspresi lembut yang selalu dapat menenangkan ku.

Dalam fisik seperti apapun, aku akan menerima semua kekurangan yang dia miliki. Tubuh kayu yang dingin, raut muka yang kaku, asalkan itu Zie, aku akan menerimanya.

Aku menyembunyikan tangisku, sebelum masuk ke dalam kedai. Saat melihatku, Zie segera menghampiriku. Kuraih tangannya, mengagumi jari-jarinya yang diukir dengan begitu sempurna, "Aku pulang," lirih ku, "Maaf, kami gagal," aku berucap penuh sesal.

Tak lama berselang, aku melihat tuan Oka keluar dari ruangan sebelah, "Ah, Kerberos baru saja dari sini," ucapnya memberitahuku.

Aku hanya bisa tersenyum pahit, "Maaf, aku rasa dia sangat kecewa padaku. Aku tidak sekuat itu,".

Aku menatap Zie dengan wajah sembab, tangisku tak bisa kusembunyikan lagi. Aku kehilangan sangat banyak, kuhabiskan bertahun-tahun untuk sembuh, tapi ini seperti penyakit yang membunuhku setiap waktu. Aku hidup, tapi jiwaku sudah mati.

Ku tatap mata safir dihadapanku dalam-dalam, "Zie, aku berharap, sangat berharap, hari itu aku terbunuh bersamamu," ini titik terendahku.

Sembilan tahun yang lalu.

Nana baru saja keluar, menyisakan aku duduk seorang diri di atas ranjang putih, di dalam rumah sakit. Musim panas telah berakhir, pertengahan musim gugur datang dengan hujan yang cukup lebat. Setelah pukul dua belas siang, biasanya suhu akan turun. Aku hanya ingin berada di luar untuk beberapa saat dan melompat di atas lumpur sisa hujan, seperti anak-anak yang lain.

Beberapa bulan sejak aku berada di sini, berat badanku turun drastis. Tapi setidaknya, luka di tubuhku sudah berkurang, dibandingkan saat masih berada di rumah.

Seorang perawat masuk ke dalam kamar rawat inapku, membawakan tas besar yang kuyakin berisi pakaian untukku. Selama tiga bulan aku di sini, tak pernah sekalipun ibuku datang untuk sekedar melihat. Dia hanya akan mengirimkan semua barang melalui petugas untuk dibawa ke ruanganku, seperti sekarang ini.

Seseorang yang lain kemudian masuk, dia adalah Nana, pengasuhku. Beliau datang membawa sebuah boneka beruang hitam besar, aku hanya melihatnya sekilas. Hujan di luar lebih menarik untukku, dibandingkan semua hal yang ibu selalu kirimkan.

"Suster, apa boleh keluar sebentar?," tanyaku setengah memohon, "Sebentar saja," perawat itu mengangguk, dia menyiapkan kursi roda. Nana membantuku turun dan duduk.

Selama di lorong rumah sakit, aku melihat ke sekitar. Semuanya begitu menarik. Hal-hal yang berada di luar kamarku, sangat membuatku tertarik.

"Tha, mau makan apa, nanti malam?," pertanyaan Nana tak mengalihkan perhatianku pada sekeliling.

Aku tidak ingin menjawabnya, hanya tersenyum sebentar dan melihat kakiku. Dua hari yang lalu, aku terjatuh di tangga saat berusaha kabur dari sini. Akibatnya, kaki kiriku harus di gips karena tulang ku retak. Tempat ini bukan rumah sakit, melainkan penjara untukku.

"Aku mau ke tempat latihan," pintaku, "Nana, bawa aku ke sana," aku memohon dengan ekspresi terbaikku. Saat wanita itu mengangguk, aku merasa menang karena beliau akhirnya mau membawaku ke tempat biasa berlatih memanah.

Aku sangat suka memanah sejak kecil, dokter pun memintaku menyalurkan stres dengan olahraga itu. Saat aku membidik sasaran, aku harus fokus, mereka menggunakan pengalihan itu untuk membantuku perlahan-lahan pulih dari trauma.

Kursi rodaku melaju, menuju tempat memanah. Di sana, selain aku, sudah ada beberapa orang yang sedang melakukan terapi sepertiku. Ketika pelatih memberikan busur yang biasa aku gunakan, dengan hati-hati, Nana membantuku mengatur busurku karena sedikit sulit jika duduk di kursi roda.

Anak panah yang meluncur, menembus lautan udara, seperti membawa satu persatu beban yang ingin aku lupakan, menuju sasaran yang jauh di depanku.

Setiap bidikan yang aku tuju, selalu mendarat dengan sempurna, aku merasa satu bebanku pergi.

"Nana, apa ibu hari ini datang?,"

.

.

__________  

Syarat jadi reader sejati Tsabitha : \(^_^)/  

1. Lempar Power Stone terbaik ^^  

2. Jejak komentar ialah kebahagiaan  

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D

Next chapter