3 Seekor anjing

Namanya adalah Emma, usianya 4 tahun lebih tua dariku. Ibu 1 anak itu memiliki tubuh yang kecil dengan rambut ikal hitam legam sepinggang yang selalu diikat rendah. Geraknya gesit dan sangat terampil, tapi terkadang sedikit cerewet. Aku dan dia berteman sudah sangat lama, tepatnya saat aku masih harus aktif menjalani terapi.

Ibunya dirawat di rumah sakit yang sama dengan ku. Karena sering bertemu, pada akhirnya kami menjadi teman akrab.

Aku dan Emma bekerja ditempat yang sama. Saat mengetahui aku memilih untuk tinggal sendiri dan jauh dari orangtua, dia menawariku untuk menjadi karyawan di toko bunga milik ibunya, sembari menyelesaikan studiku yang harus tertunda cukup lama.

Emma mengajariku mulai dari membuat media tanam, mengolah sampah menjadi kompos organik, pembiakan dan merawat berbagai jenis tanaman. Lebih dari itu, dia seperti kakak untukku. Dia membimbingku belajar memasak, saat pertama kali aku harus tinggal sendiri. Bahkan, dia juga memberi pelajaran untukku cara mengelola keuangan dan tentunya, menjadi teman curhat yang baik.

Pagi itu, setelah sampai di rumah, aku memilih untuk mampir sebentar ke toko. Emma menatapku dengan tatapan jengkel, "Kan, masih 2 hari!. Kenapa sudah datang?," ucapnya, berjalan menghampiriku.

"Aku lebih terbiasa di sini," mustahil aku berbohong padanya.

"Apa masih merasa tidak betah?," dia menatapku ingin tahu.

Aku mengedikkan bahu. Aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang baru saja aku alami. Ibu ingin aku menempati rumah itu, karena kakak laki-lakiku memilih merantau dan tinggal bersama istrinya. Sementara, setelah nenek sering sakit, ibuku memutuskan untuk tinggal bersama dengannya.

"Sebenarnya, aku betah di sana. Kadang hanya mimpi kejadian itu, aku bisa mengendalikannya," aku menatap Emma, berusaha meyakinkannya bahwa aku bisa mengendalikan ketakutanku.

"Aku hanya merasa terganggu. Setiap aku ada disana, aku selalu mengingat lagi kejadian itu. Semua hal yang ada di rumah itu, membuatku ingat," jelasku, "Kamarku, ruang tamu, bahkan, aku bisa ingat semua itu sejak aku sampai di depan pintu gerbang rumahku. Jujur, itu sangat mengganggu,".

Emma memintaku duduk di kursi kecil yang ada di depan meja kasir. Kini, kami berhadapan. Dia menatapku begitu dalam dengan tatapan yang terlihat khawatir. Menepuk pundakku, dan kemudian tersenyum, "Setiap orang memiliki waktu untuk sembuh yang berbeda-beda, jangan terlalu memaksakan diri. Jangankan luka seperti yang kamu alami, bahkan cedera fisik pun, setiap orang memiliki waktu sembuh yang berbeda," hiburnya.

"Aku hanya merasa ini sangat lama, Em, sampai aku bosan" keluhku, "Aku cuma berpikir, jika—jika saja kejadian itu tidak ada, Zie masih akan hidup. Dan, aku tidak akan takut pulang ke rumahku sendiri. Tidak akan kehilangan banyak waktu buat terapi dan—hem, aku bingung mengatakannya," sesal memenuhi kepalaku.

Jika, jika, dan jika kejadian itu tidak perlu terjadi. Jika, Zie tidak menjadi korban salah tembak, maka aku tidak akan mengalami trauma separah ini. Jika, seseorang lebih berhati-hati dengan kekuatannya, mungkin tidak akan menimbulkan korban.

"Apa kamu menyesali kejadian itu?" Emma bangun dari kursinya, berjalan menuju salah satu bagian yang dipenuhi caladium, "Apa kamu menyesali kejadian itu terjadi?" ulangnya, lalu mengambil salah satu pot berisi bibit persilangan florida red ruffles,

"Apa yang kamu inginkan dari kejadian itu? Mencegahnya? Bisakah kamu lakukan?" dia meletakkan tanaman itu di depanku,

"Tha, tragedi itu terjadi diluar kehendak kita. Kita bukan anak-anak lagi yang akan berharap ada mesin waktu suatu hari nanti, agar bisa kembali ke masa lalu dan mencegah hal buruk itu terjadi. Hidup harus terus berjalan dengan ada atau tidaknya temanmu. Dan, kamu harus menerima itu,".

Aku masih jadi pendengar yang baik, ketika Emma melanjutkan kalimatnya, "Semua hal tidak menyenangkan itu adalah proses yang telah membawamu sampai kepada hari ini. Tanpa adanya itu, tidak akan ada Tha yang sekarang, kita tidak akan pernah bertemu. Jika kamu tidak mengalami trauma dan menjalani terapi berbulan-bulan di rumah sakit, maka hari ini, kamu tidak akan berada di toko ini dan mendengarkan nasihatku. Sama seperti keladi ini," dia menunjuk bibit keladi di depanku,

"Untuk membiakkannya, kamu memisahkan tunas yang masih kecil ini dari umbi utama. Untuk mereka, itu pasti proses yang menyakitkan. Tapi, dengan dipisahkan dan menanamnya di media baru, mereka akan bisa tumbuh lebih baik nantinya, karena tidak harus berebut makanan. Tanaman ini pun juga butuh proses adaptasi setelah ditanam di media baru. Kadang, mereka layu bahkan ada yang mati. Coba kamu lihat yang masih terus bertahan seperti keladi ini,"

aku melirik sebentar ke arahnya, kemudian memfokuskan lagi pada tanaman di hadapanku, "Keladi kecil ini akan menjadi tanaman yang bagus. Maksud ku mengatakan ini adalah, proses untuk membuat seseorang menjadi lebih baik itu tidak selalu baik dan mudah. Adakalanya, itu menyakitkan," jelasnya.

Aku fokus menatap tanaman itu. Dia kecil dan sendirian, seperti aku. Tapi, dia masih saja hidup dan tumbuh dengan baik, agar ada yang mau membelinya. Apa yang dikatakan Emma benar. Tanpa kejadian itu, tidak akan ada aku yang sekarang. Tidak mungkin bisa bertemu dengannya, dan tidak mungkin sampai disini. Aku tidak bisa melakukan apapun untuk peristiwa yang sudah terjadi, hanya bisa menerimanya.

"Tha, apa kamu memelihara anjing sekarang?," pertanyaan Emma membuyarkan lamunanku, "Aku melihat ada anjing putih di depan pintu rumahmu, tadi pagi. Dia sepertinya sangat jinak dan terawat. Sedikit mustahil jika itu anjing liar," jelasnya, sambil melahap kue.

"Tidak," aku berseru, antara kaget dan bingung, "Kamu tahu, aku saja takut sama anjing. Suka, sih. Tapi kalau dekat-dekat, aku takut, " jelasku. Dan, kudapati wajah Emma terlihat resah, "Mungkin itu milik tetangga," jawabku asal, tak mau memperpanjang hal ini.

Baru 30 menit di toko, sebuah email masuk ke ponselku. Pembimbing tugas akhirku, meminta agar aku datang ke kampus untuk bimbingan dan segera memperbaiki program yang aku buat. Buru-buru aku meminjam sepeda Emma dan bergegas ke kampus.

"Em, Izrail memanggil," teriakku.

"Okay, beb" Ucap Emma ditengah kesibukannya menyiapkan media tanam.

Aku mengayuh sepeda cepat-cepat menuju kampus yang hanya berjarak tak lebih 1 km dari toko. Sesampainya di ruang pembimbing, Tuan Heong sudah menungguku di mejanya. Dia memberikan saran kepadaku mengenai program yang aku buat dan memintaku segera memperbaiki sesuai arahan, lalu mengirimkannya siang ini juga.

Aku segera menuju lab komputer yang ada di lantai 1 untuk mengerjakannya. Pagi itu, ruangan masih sangat sepi. Di sana hanya ada petugas dan 2 orang mahasiswa.

Aku berjalan menuju satu komputer yang berada di dekat jendela, itu adalah tempat favoritku. Tanganku mengulur segera menyalakan komputer. Namun, saat aku hendak mengambil alat tulis dari dalam tasku, ada sesuatu yang membuatku bingung. Jejak kaki binatang. Sepertinya, jejak kaki kucing atau anak anjing. Itu hanya asumsi ku karena ukurannya yang kecil. Warnanya merah darah. Aku rasa, itu darah sungguhan.

Aku bingung. Kuedarkan pandangan menuju jendela-jendela yang ada, dan kudapati semuanya masih terkunci. Aku kira mustahil ada binatang yang masuk ke dalam laboratorium melalui jendela. Tapi jika melalui pintu, dia harus hadir bersama orang yang juga memasuki ruangan ini. Karena pintu lab sedikit berat untuk dibuka, dengan tujuan agar ruangan tetap dingin.

Aku bangun dari kursiku dan berkeliling. Aku berpendapat hewan itu masih ada di ruang komputer, karena nodanya terlihat masih baru. Aku berniat menolongnya, atau minimal membantunya keluar.

Ketika aku masih mengedarkan pandangan dan mengelilingi lab, seorang mahasiswa sepertinya terganggu dengan yang aku lakukan. Dia menatapku dengan tatapan aneh. Aku sedikit tak nyaman, hingga akhirnya aku segera kembali ke tempatku dan mengabaikannya.

avataravatar
Next chapter