1 Pulang

Tepat di pukul 09.00 malam, bus yang membawaku sampai di tempat itu. Dalam hati aku berkata 'Aku pulang...' .

Entah keberanian macam apa yang tiba-tiba aku dapatkan, setelah 7 tahun aku pergi aku masih sanggup untuk kembali. Tempat ini masih sama seperti saat aku meninggalkannya, sepi dan terasa asing untukku. Aku berjalan pelan menyusuri jalan berbatu dengan rerumputan kering di sepanjang tepi jalan.

Hening, hanya suara sepatu yang beradu dengan tanah berbatu yang bisa kudengar. 20 menit aku berjalan dari halte, aku sampai di depan sebuah gang pasar yang kumuh. Lolongan anjing menyambutku, seolah mengatakan 'Selamat datang pecundang kecil'. Aku Bulatkan tekadku untuk masuk, itu adalah gang menuju rumah lamaku.

Saat aku sampai di depan rumahku, aku membuka pelan pintu gerbang yang terlihat masih terawat. Samar aku mendengar bunyi berderit dari engsel pintu yang mungkin mulai berkarat. Sekelebat aku melihat bayangan gadis kecil berlari melewatiku. Wajahnya tampak terburu-buru, membawa buku kecil berwarna hitam lalu menghilang.

Berikutnya aku melihat hal yang lainnya, seorang gadis yang sama menangis sambil meraung dengan tubuhnya yang penuh luka cakaran dari kuku-nya sendiri. Aku membungkuk di depan gadis itu, tapi kemudian dia menghilang.

"Kenapa tidak bilang kalau mau datang,"

Suara seseorang mengagetkanku. Aku segera berbalik mencari pemilik suara itu.

"Hanya sebentar, mungkin seminggu," ucapku kikuk. Lama tidak bertemu membuatku merasa canggung untuk bertatapan langsung.

"Kenapa bilang sebentar, itu rumahmu,"

"Aku harus kembali, ada yang belum kuselesaikan di sana," aku berjalan menghampirinya berniat memberikan oleh-oleh. "Kue labu di tempatku yang paling enak, aku membawakan beberapa untukmu" ucapku sambil mengulurkan paper bag berisi beberapa topeles kue.

"Kau masih jelek meski sudah lama di sana," bisiknya sambil menyambar paper bag "Gadis kota, kan, harusnya putih dan cantik," sambungnya cepat.

Mulut orang ini masih sama pedasnya sepertinya dulu, 7 tahun berlalu tidak membuat makhluk ini berthaubat sepertinya.

"Dengar ya.. aku di sana untuk belajar dan bekerja, bukan memoles badan biar jadi cantik," cetusku jengkel. Namun dia justru tertawa terbahak-bahak.

...

Namaku Tsabitha Youenha, umurku 27 tahun. Teman-temanku biasa memanggilku Tha. Dulu aku tinggal di tempat ini, tapi saat aku 20 tahun aku memutuskan untuk pindah. Kawanku yang kata-katanya pedas ini adalah Erick, dia adalah teman sekelasku saat masih di tahun pertama sekolah menengah. Meski kata-katanya sedikit pedas, dia adalah teman yang sangat baik.

Erick dan keluarganya adalah orang yang mengurus rumah lama keluargaku. Erick pernah bekerja bersama ayah, Namun saat adiknya harus bersekolah keluar kota dia memutuskan untuk pulang menemani kedua orang tuanya.

Erick segera membukakan pintu untukku. Dia menemaniku masuk ke dalam dan merapikan barang-barang, termasuk menyiapkan ruangan untukku. Aku melihatnya yang begitu terampil mengurus semuanya, jujur kuakui meski mulutnya masih pedas, ada hal yang berubah darinya.

"Aku mau keluar sebentar," ucapku sambil meletakkan barang-barang yang kubawa di atas meja ruang tamu. Erick menghentikan pekerjaannya, dia menatapku seolah tak percaya.

"Ini sudah malam, besok saja aku temani" ucapnya singkat.

"Ada yang lain yang harus ku kerjakan besok, takut tidak sempat," ujarku segera melarikan diri.

Pada akhirnya Erick tetap menemaniku. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, bahkan terlalu canggung untuk berjalan beriringan. Lama tidak bertemu dan berkirim pesan membuatku merasa bingung memilih topik pembicaraan. Semua hal yang kutahu hanyalah bahan obrolan lama yang mungkin sudah kedaluarsa untuk dibicarakan.

Samar aroma petrichor mulai tercium saat kami hampir sampai di tempat itu. Rimbun pepohonan pinus menutup cahaya bulan, guguran daunnya membalut tanah seumpama karpet tebal. Semak belukar yang mengiringi jalan setapak yang kami lewati telah basah oleh embun.

Aku melihat ponselku, tepat menunjukkan pukul 1 pagi saat kami sampai di tempat itu. Aku berjalan pelan menghampiri pintu gerbang kecil yang sudah tua di tepian hutan. Sepi, menyambutku. Pintu yang terbuat dari kayu begitu dingin saatku sentuh, aku mendorongnya dan seperti biasa tidak pernah terkunci.

Aku berjalan masuk seorang diri, Erick memilih menunggu di luar. Begitu banyak orang di tempat ini, namun tetap saja terasa sunyi.

Aku menyusuri jalan setapak menuju bagian ujung. Dingin dan gelap tanpa penerangan, ditambah dinding kayu yang dibuat mengitari tempat ini menghalangi cahaya luar yang masuk. Sesampainya di satu bagian aku meletakkan buket lily putih yang sudah aku bawa, tepat di atas sebuah batu marmer putih bertuliskan nama 'Zie'.

"Aku pulang," lirihku.

Aku duduk di sampingnya, mengeluarkan beberapa kue dan dua buah susu kotak kesukaan kami. "Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kamu baik? Apa kamu makan teratur?" aku mengusap nisan itu lembut. "Tunggu aku," bisikku.

...

Erick mengajakku mampir ke tempat ia bekerja, tepat saat jam menunjukkan pukul 2 pagi. Seseorang menelpon-nya beberapa saat yang lalu dan setelah itu ekspresinya seketika berubah. Setelah 20 menit berjalan. kami sampai. Tempat itu adalah sebuah rumah minimalis yang berada tak jauh dari pemakaman pinggir hutan yang baru saja kami kunjungi. Aku berjalan di belakang Erick, mengikutinya menuju pintu kayu kecil yang berada di samping rumah. Di sana seorang pria sekitar 60 tahunan tampak sedang sibuk mengutak-atik ponselnya.

"Dah ku bilang jati, tapi dikirim meranti," ucap pria itu sambil menunjukkan 3 gelondong kayu yang ada di depannya, "Ku pesan 20 kayu api, yang sampai 17" ucap pria itu terdengar begitu jengkel.

Aku tidak tertarik dengan obrolan mereka, perhatianku justru teralih pada ratusan boneka kayu pada ruangan di belakang pria tadi. Ruangan 7 kali 9 meter itu seperti gudang boneka. Hampir di setiap sudut terdapat boneka kayu. Mulai dari ukuran kecil, sedang, hingga yang paling besar berukuran mungkin sekitar 2 meter.

Aku menyentuh salah satu dari mereka yang dipajang tak jauh dariku, jelas ini bukan barang murah pikirku. Boneka itu dibuat dengan sangat detail dengan pahatan yang halus. Gurat wajah, mata dan ukirannya dikerjakan begitu rapi dan sangat detail. Baju yang mereka kenakan juga dijahit dengan sangat rapi.

"Aku saja yang ke sana, minta mereka mengirim balik," Suara Erick terdengar meninggi mengakhiri perdebatan mereka.

...

"Pacarmu?" celatuk pria itu.

.

.

_____________

1. Creation is hard, cheer me up! Power Stone^^

2. Like it ? Add to library!

3. Have some idea about my story? Comment it and let me know.

avataravatar
Next chapter