2 Boneka Kayu Marionette

"Pacarmu?" celatuk pria itu.

Aku segera berbalik untuk membenarkan kesalahpahaman paling kejam ini.

"Saudara," tukas si mulut pedas.

"Saya saudara Erick," ucap ku bohong.

"Aku tahu kau bukan saudaranya," ucapnya sambil menarik kotak kayu dan menjadikan itu sebagai tempat duduk "Bocah itu hanya punya 1 saudara dan dia lebih muda dari mu,".

'Sial,' umpatku.

"Kau pacarnya?"

"Saya Tha, teman Erick," jelas ku.

Nama pria itu adalah Stone, beliau adalah atasan Erick. Tuan Stone adalah seorang seniman. Beliau membuat dan memperbaiki segala jenis boneka kayu, terutama marionette untuk pertunjukkan yang digunakan di balai kota. Marionette di tempatku memang sangat populer, bukan hanya sebagai pertunjukkan mewah yang biasa ditampilkan di gedung kesenian di pusat kota, bahkan di jalanan pun pertunjukkan marionette sering ditemui.

Tuan Stone memintaku mengikutinya ke dalam ruangan. Disana lebih banyak boneka yang dipajang dibandingkan yang bisa terlihat dari luar, bahkan beberapa ada yang digantung. Sebagian besar seukuran orang dewasa. Dia menarik kursi dan mempersilahkanku duduk. Aku memperhatikan setiap boneka yang ada di ruangan itu, seolah-olah setiap dari mereka hidup.

"Mereka semua adalah buatan ku," ucapnya bangga.

Satu boneka mencuri perhatian ku, dia diletakkan dalam kotak kaca. Sepasang safir cerah terlihat begitu mencolok dibandingkan dengan warna mata boneka lain yang dominan coklat atau hitam. Rambutnya berwarna jelaga dengan senyum dingin yang misterius. Tubuhnya dibalut kemeja hitam dan celana kain senada. Aku berjalan mendekatinya, menyentuh pelan kaca pembungkus boneka.

"Dia cantik sekali," ucapku. "Wajahnya membuat orang lain yang melihat tenang, meski senyumnya misterius," aku berujar tanpa sadar.

Tuan Stone tertawa. "Seleramu bukan barang murah nak," dia menepuk pundak ku yang masih menatap boneka itu, jujur aku terkagum-kagum. "Sayangnya dia sudah ada yang punya," tambahnya, "Dia karya ku yang paling sulit."

"Wau..." seruku takjub.

...

Kami berbagi cerita hingga pagi, terutama Tuan Stone. Dia banyak menceritakan hal seputar bisnisnya yang sempat terpaksa berhenti beberapa kali, keluarganya, dan bahkan kucing kesayangannya, si Micky.

Aku hanya berkesempatan mendengarkan dengan hikmat. Aku beberapa kali melihat ke sekitar pada sela-sela cerita kami, aku merasa ada yang terus memperhatikan. Aku ingin memastikan bahwa tidak ada orang lain selain kami bertiga.

Micky naik ke pangkuan ku dan tidur bergelung seperti bola bulu. Si gembul abu-abu ini memang jinak, bahkan kepada siapapun yang baru pertama ditemuinya.

'tuk ... tuk... tuk...'

Suara ketukan mengagetkanku. Di Sela tawa dan percakapan mereka, beberapa kali aku mendengar suara ketukan. Seperti langkah kaki, namun terlalu keras. Justru seperti suara benda yang beradu dengan lantai. Setiap kali suara itu muncul, aku melihat sekitar namun tidak ada siapa pun di sana. Aku memperhatikan Tuan Stone dan Erick, mereka tampak biasa saja. Atau mungkin hanya aku saja yang bisa mendengar suara ketukan-ketukan itu?.

...

"Tha,"

Suara itu sangat familiar untukku. Saat aku melihat kedepan seorang anak laki-laki berdiri tepat di depanku. Kami memakai seragam sekolah yang sama. Dia tersenyum sambil memberikan padaku roti isi dan sebuah susu kotak.

Detik berikutnya justru suara letusan yang ku dengar. Anak itu terjatuh tepat di depan ku. Cairan merah mengalir dari kepalanya. Seketika seolah waktu terhenti, takut, bingung dan semua perasaan bercampur aduk di kepalaku.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menangis didepan tubuhnya sambil meneriakkan semua kata permintaan tolong aku raungkan sekeras-kerasnya. Namun nihil, tidak ada siapapun yang datang. Suara ku seperti gema dan sesuatu dalam diri ku menyuruhku untuk bangun. Aku terbangun dengan kebingungan diatas tempat tidur ku, seolah kejadian itu benar-benar baru saja terjadi.

...

Jam menunjukkan pukul 08.00 saat aku selesai mandi. Aku turun ke dapur berniat untuk mengambil minum. Aku melihat 4 potong roti isi dan 2 kotak susu kesukaan ku sudah ada di meja makan. Bingung sekaligus senang, aku melihat sekeliling dan hanya ada aku di rumah. Perkiraan ku mengacu pada Erick yang mungkin datang dan membawakan ku sarapan.

Di dekat rumahku terdapat pasar tradisional, ada berbagai barang yang di jajakan, mulai dari barang kebutuhan sehari-hari sampai bibit tanaman dan hewan piaraan tersedia. Atensi ku tertuju pada segerombolan orang, mereka sedang menawar barang di sebuah kios yang menjual berbagai barang bekas.

Aku membeli sebuah jam weker kecil berwarna emas, berbentuk beruang, dan sebuah pisau lipat kecil yang terbuat dari baja damaskus, aku mendapatkannya setelah melewati pertarungan tawar menawar yang cukup sengit.

Setelah mendapatkan barang yang aku inginkan aku berniat pergi dari kios itu, tapi segera kuurungkan saat aku melihat seekor anjing yang duduk tepat di samping seorang pedagang. Bulu anjing itu begitu putih bersih dengan warna matanya sebiru laut. Dia nampak begitu tenang meski berada ditengah riuhnya pembeli.

Untuk sesaat aku kembali mengingat boneka di dalam kaca tadi pagi, mereka memiliki mata yang sama. Saat membungkuk untuk memasukkan barang yang aku beli ke dalam tas, anjing itu sudah tidak ada ditempatnya, saat aku melihatnya kembali.

...

Tiga hari berturut turut aku mengalami mimpi buruk. Semuanya begitu jelas, seperti benar-benar terjadi secara nyata di hadapanku. Aku menjadi enggan berada di rumah sendirian, aku merasakan dorongan ingin keluar kemana saja asalkan itu bukan rumahku. Kamar, ruang tamu, dapur semua yang ada di rumah selalu membuatku mengingat kejadian itu, jujur itu membuat ku menjadi sangat tidak nyaman.

Kusibukkan diri ku dengan mengunjungi rumah beberapa teman lama ku seusai sarapan. Sore harinya aku memilih pergi ke tempat rental komik dan malamnya aku sering kali memutuskan menginap di warnet hingga jam tiga pagi. Sesekali aku pulang, sekedar untuk mandi dan memasak, atau terkadang aku memilih makan di luar.

Dihari ke 5, jujur aku merasa jengah dengan kegiatan ku. Aku berniat untuk pulang lebih awal. Aku duduk disebuah kursi taman sambil makan mie cup dan beberapa kue, mungkin aku melamun sampai tidak menyadari Micky gembul sudah duduk disampingku.

Dia duduk dengan ekspresinya yang terlihat begitu tenang, menawarkan suara dengkuran kucing nya yang khas. Saat itu aku merasa seperti ada yang sedang memperhatikan ku. Aku melihat sekeliling dan aku tidak menemukan siapapun. Aku segera menghabiskan mie ku lalu pergi.

Aku berjalan menjauh dari taman, selagi aku berjalan aku terus mendengar suara ketukan demi ketukan yang perlahan-lahan mendekat. Aku berusaha menghiraukannya, berjalan cepat kemudian terpaksa berlari, tapi suara itu semakin dekat, seperti sedang mengejar ku.

Sesampainya di rumah, aku tak kuasa menahan rasa itu, rasa tidak nyaman yang sulit kutemukan definisinya. Untuk itu aku segera mengemasi barang-barangku, tanpa mengunci pintu aku memilih secepatnya berlari ke arah halte bus. Ku kirimkan sebuah pesan singkat ke Erick bahwa aku akan pulang lebih awal, menit berikutnya sebuah panggilan masuk di ponsel ku.

"Kenapa? apa yang terjadi?" suaranya terdengar begitu panik.

"Aku ingin kembali," lirihku. Aku tidak bisa menceritakan semua kejadian yang terus aku alami, mimpi buruk itu dan suara ketukan-ketukan yang aku dengar, aku yang tidak pernah pulang kerumah, bagaimana ini bisa terjadi. "Aku akan kembali ke kota hari ini," tambah ku.

"Dimana kamu sekarang?"

"Halte bus," ucapku, spontan langsung menutup telepon. Sekitar 15 menit kemudian, busku sampai. Aku kembali menelepon Erick, dia tidak perlu menjemputku atau memintanya mengunci pintu. Aku naik ke bus dan seketika perasaanku menjadi begitu lega, menjauhi tempat itu artinya menjauhkan diriku dari masalah yang menanti di masa mendatang.

.

.

_____________

1. Creation is hard, cheer me up! Power Stone^^

2. Like it ? Add to library!

3. Have some idea about my story? Comment it and let me know.

avataravatar
Next chapter