14 Bola-bola Api

Bola-bola api terus berdatangan, riuh penumpang yang panik membuat semuanya menjadi semakin kacau. Sesekali, guncangan terjadi karena bola api yang menabrak kereta. Kerberos menangkap satu-persatu dari mereka dan melahapnya. Aku hanya bisa diam dan duduk menyaksikan hal itu.

Anjing putih yang memiliki kata-kata lembut dan sopan, tanpa kusadari memiliki sisi beringas yang menakutkan. Kini aku sadar, Kerberos tetaplah makhluk yang sama, dimanapun dia dan seperti apapun bentuknya. Dia tetaplah binatang buas, penjaga alam roh.

Orang-orang mengatakan, saat seseorang meninggal, roh mereka tidak akan langsung diadili untuk semua hal yang pernah dilakukan selama hidupnya. Ada yang mengatakan bahwa 2 malaikat akan membimbing mereka menuju dunia Antara. Disanalah mereka akan menunggu para Lichen untuk membantunya menyebrangi jurang tak berdasar.

Para Lichen akan membuatkan mereka sayap, sehingga mereka dapat terbang melewati jurang yang tidak berdasar dan sampai kepada Kerberos. Anjing berkepala tiga itu bertugas menjaga semua roh yang datang untuk menunggu hari pembalasan.

Mickey berjalan mendekatiku. Dia menjilati bulu kakinya yang berantakan, "Ini hanya saran," ucapnya sambil menatapku, "Kita sebaiknya tidak berdiam di satu tempat untuk waktu yang lama. Titipkan bocah ini ditempat itu, lalu segera temui Zarina,".

Aku sepertinya pernah mendengar nama Zarina di suatu tempat. Itu tidak asing untukku, meski aku lupa dimana pernah mendengarnya.

Mickey melompat dan berjalan melewati penumpang yang masih riuh karena ketakutan. Entah apa yang terjadi, sesaat semua menjadi sunyi senyap. Aku bangkit dari kursiku, melihat sekeliling. Semuanya telah kembali seperti semula, saat bola api itu belum muncul.

Tak lama kemudian, Kerberos masuk ke dalam kereta dengan beberapa bagian bulunya yang kumal dan menghitam karena termakan api. Dia mengibaskan bulunya beberapa kali dan seketika bulu yang kusam itu berubah menjadi putih kembali. Aku yang kaget hanya terbengong menyaksikan keajaiban dua makhluk ini.

"Akan sangat berbahaya jika ada yang mengingat kejadian tadi, gendut!. Kamu sudah mengurus semuanya, bukan?," ucap Kerberos, sambil membersihkan bulunya.

Mickey mencakar pelan anjing putih itu, "Berkatalah dengan sedikit sopan. Aku bukan gendut, hanya buluku yang agak lebih tebal dibandingkan kucing lain," tegasnya.

Perjalanan ini terasa begitu lama. Jujur, aku menyesal menemui ayahku waktu itu. Jika saja aku tidak melakukannya, mungkin kejadian seperti hari ini atau malam di hutan itu, tidak akan terjadi. Aku sangat berharap ayah sudah berubah, tapi harapanku sepertinya belum juga diwujudkan.

Ayahku masih sama, dia adalah orang yang akan mengorbankan apapun untuk mendapat kepercayaan dari kelompoknya.

Setelah sampai, aku tidak langsung pulang. Tempat yang kutuju pertama adalah rumah Emma.

Saat kami tiba disana, Emma sepertinya baru saja pulang dari toko. Ekspresinya terlihat sangat terkejut ketika melihatku. Aku memeluknya segera, seperti kakakku sendiri yang tidak aku temui bertahun-tahun, aku menangis sejadi-jadinya dalam dekapannya. Semua ketakutanku beberapa hari ini yang aku tahan, aku luapkan seketika. Wanita itu menepuk punggungku seperti sedang menghibur anak kecil yang sedang merajuk karena mainannya diambil orang lain.

"Sudah, sudah. Tha, kuat, ya," hiburnya.

Selama dalam perjalanan, aku menceritakan semua yang aku alami pada Emma. Mengenai ayahku, Zie dan semua hal yang aku alami.

"Em, aku akan bertarung habis-habisan," ucapku mantap, "Aku sudah mendapatkan kesempatan kedua dan aku akan mempertaruhkan apapun untuk ini," aku sudah bertekad untuk ini.

Emma mengusap wajahku pelan, "Bagaimana kamu bisa punya banyak luka?," tanyanya sambil menitikan air mata.

Aku tidak akan menjelaskan semua hal yang aku alami pada Emma. Aku takut dia semakin khawatir ketika tahu apa yang telah aku lalui hingga sampai disini. Aku mengalihkan perhatiannya dengan memberi isyarat agar Zie, Mickey dan Kerberos menemuinya.

Pada awalnya, ekspresi Emma terlihat takut, tapi kemudian dia tersenyum, "Em, kenalkan, ini adalah Zie," marionette yang berisi roh sahabatku itu membuka hoodie yang selalu dia kenakan, "Kucing ini namanya Mickey," si gembul abu-abu itu maju mendekati Emma, "Dan, si putih yang selalu datang ke rumahku ini namanya adalah Kerberos," wanita itu membungkuk, mengusap kepala hewan berkaki empat itu.

"Aku sudah bilang kan, anjing ini baik," Emma terlihat begitu suka mengacak bulu Kerberos, "Dan," dia memberi jeda pada ucapannya. Aku melihat wanita itu mengulurkan tangan kepada Zie, yang disambut dengan gerakan kaku oleh marionette tersebut, "Tolong jaga, Tha. Dia kuat, tapi sebagian dari dirinya sebenarnya sudah hancur," sindirnya. Aku memahami maksud perkataannya, tapi aku tidak ingin menjawabnya.

Zie mengangguk, "Aku akan berusaha," ucapnya mantap.

Setelah perkenalan singkat itu, aku langsung meminta tiket yang aku pesan dari Emma. Dia memintaku untuk istirahat, mungkin satu atau dua hari, tapi aku menolaknya. Aku sangat takut jika kejadian di kereta akan terulang, saat aku sedang bersamanya.

Aku sadar bahwa kami sedang diburu, dan cara terbaik adalah menjauhi mereka untuk sementara. Dengan begitu, akan sedikit orang yang terlibat dengan masalah ini.

Hari itu, Euron mendung dengan rintik hujan. Kami berempat berjalan kaki menyusuri taman kota, menuju stasiun kereta bawah tanah. Suasana cukup sepi, mungkin karena masih pukul 1.30 dini hari.

Saat didalam kereta, hampir semua orang melihat kami, dua orang yang membawa kucing dan anjing. Aku berusaha tidak memperdulikannya, karena yang ada di pikiranku adalah aku bisa segera sampai di tempat yang Kerberos maksudkan.

Perjalanan ke tempat itu memang tidak sebentar, karena lokasinya yang berada di luar kota. Aku nyaris tidak bisa tidur selama berada di dalam kendaraan yang memiliki banyak gerbong ini. Dua pembuat masalah terlalu ribut, sehingga saat aku mulai memejamkan mata, aku akan terbangun akibat kegaduhan yang mereka buat. Untungnya, penumpang pagi itu tidak terlalu banyak.

Kami baru sampai di tempat itu pada jam 6 pagi. Alamat yang Kerberos berikan membawa kami pada sebuah hutan yang berada di lereng gunung dan cukup jauh dari keramaian. Sopir bus yang membawa kami, mengatakan bahwa itu adalah hutan wisata yang cukup populer. Sebab di awal musim gugur, para wisatawan biasanya akan berdatangan. Mereka datang untuk mendaki atau menjelajahi goa yang ada di hutan.

"Mulai dari sini, aku yang akan menuntun jalan," ucap Kerberos yang berjalan mendahului kami.

Aku melihat sebuah bangunan dan beberapa mobil yang terparkir di dekatnya, satu tempat makan, juga beberapa kios kecil yang berjajar menjajakan makanan dan souvenir. Mungkin yang dikatakan sopir tadi benar, bahwa ini adalah lokasi hutan wisata yang populer. Tapi Kerberos membawa kami ke arah yang lain.

Kami masuk ke dalam hutan yang begitu lebat, dengan tanah dan bebatuan yang diselimuti lumut. Tidak ada jalan setapak atau apapun yang layak untuk dilalui, kami menggunakan batang-batang pohon tumbang untuk menyebrangi sungai-sungai kecil yang mengering dan menembus lebatnya semak.

Dingin terasa menusuk, saat jalan yang kami lalui mulai menanjak. Dengan lincah, Kerberos melompat kesana kemari, sementara Mickey terlihat begitu kesulitan. Hingga akhirnya, aku menggunakan kain untuk menggendong kucing itu di punggungku dan meletakkan tas yang semula di punggung, ke bagian depan tubuhku. Ini akan menghemat waktu, agar tidak harus menunggu si gembul yang terus tergelincir.

Kurang lebih 4 jam kami berjalan, dari kejauhan aku melihat kepulan asap. Kerberos mengatakan bahwa sebentar lagi kami akan sampai. Dan benar saja, selang beberapa menit, aku melihat sebuah rumah minimalis bergaya tudor dengan cat yang sudah mulai kusam. Halamannya luas, ditanami mawar putih dan rerumputan yang dibiarkan tumbuh liar.

Tak perlu menunggu lama, ketika seorang wanita keluar dari pintu kayu coklat dengan sebuah papan nama bertuliskan 'Ms. Marie'. Aku berpikir bahwa dia bernama Marie dan itu adalah rumahnya.

"Aku ingin bertemu dengan Oka," ucap Kerberos pada intinya.

avataravatar
Next chapter