1 Pindah

"Will you marry me?"

Apa?

Aku mengedarkan pandangan, melihat teman-teman sekelas berdiri mengerubungi hingga hanya memberi ruang sempit. Mereka tersenyum geli, mengerling jahil dan siulan menggoda. Irama jantung berdegup lebih cepat. Hawa panas membakar kedua pipi. Sudah kuduga pria yang tengah berjongkok itu menaruh perasaan lebih, terlihat lain dari setiap sorot mata dan tingkahnya sehari-hari saat mengajar, tapi tak diduga ia cukup gila untuk melakukan hal ini selepas kelas usai.

Pria berkemeja putih yang tengah berlutut sambil memegang kedua tanganku adalah seorang dosen, sementara aku mahasiswi yang menjadi muridnya. Sulit di percaya kisah yang ada novel di mana seorang dosen menyukai mahasiswinya menjadi nyata dan terjadi padaku.

Aku mengembuskan napas panjang seraya mengarahkannya untuk bangkit. Melepas jemarinya yang merangkum tangan, aku beralih menangkup kedua pipi. Entah apa yang dia pikirkan sehingga manik coklat itu berbinar jauh lebih terang penuh pengharapan. Rahang tegas dalam telapak tangan dan kulitnya terasa sedikit kasar. Siulan kian bergema kencang, kata-kata menggoda dan seruan aneh untuk segera menerima kian bergemuruh.

Manik coklatnya membuatku gugup. Rahang tegasnya terasa begitu kokoh. Ia tampan, kuakui itu. Rambut hitam tebal sedikit bergelombang tersisir rapi tapi tidak menunjukkan kesan terlalu formal, masih tersisa kesan muda dan segar. Alis aristokrat menaungi sepasang mata tajam. Rasanya lidahku mendadak beku, tak tahu harus berkata apa dan berbuat apa.

Aku menghela napas, menurunkan kedua tangan dari pipinya. "Maafin saya." Baru dua kata itu yang keluar, suasana mendadak hening didahului desahan kecewa, tapi ada juga yang masih tampak antusias. "Saya nggak bisa. Untuk saat ini saya nggak bisa. Maaf, Pak."

Bahunya melemas dan dalam seketika sinar di matanya menghilang. Ia berbalik dan kembali duduk di kursi belakang meja temoat biasa dosen duduk dan menaruh berkas. Lidahku kelu, tidak mampu bicara ketika rasa iba bermunculan saat terus menatap wajahnya yang muram. Orang-orang mulai bubar, pergi satu-persatu. Tak ada lagi yang harus kulakukan lagi, hingga akhirnya memilih keluar dari ruangan itu dan menghampiri Mama yang sudah aku minta menjemput hari ini.

"Kenapa lama banget? Mama udah nungguin di sini dari tadi," Gerutu Mama seraya menyalakan mobil.

"Ma—"

---

"NOVA! BANGUN!!"

Kelopak mata seketika terbuka lebar. Dengungan menyakitkan dari teriakan Mama masih terdengar untuk beberapa saat. Keras sekali. Aku terdiam sejenak, masih terbaring. Butuh waktu untuk menyesuaikan kenyataan dan mimpi. Sampai akhirmya kesadaran dapat diraih sempurna, aku menyadari bahwa yang terjadi tadi hanyalah mimpi. Dosen itu, pernyataan mengajak menikah itu dan keriuhan di kelas yang terjadi.

Semuanya hanya mimpi.

"Ayo! Udah waktunya pergi. Cepetan, Noval udah nungguin. Mama nyuruh kamu buat beres-beres loh. Kenapa malah tidur?" Mama bertolak pinggang menatap kesal. Ia sudah siap berpakaian rapi, mengikat rambut dan membelit leher dengan syal kain yang dibuat simpul membentuk kupu-kupu.

Aku meraup wajah, merasakan kantuk yang masih mendera. Bahkan hawa panas setelah tidur dan wajah bantal masih menempel. Pandanganku teralih menatap langit biru tanpa awan lewat jendela kamar. Jarum jam sudah menunjuk pukul tiga sore. Tangan diregangkan, melemaskan otot yang terasa pegang setelah hampir dua jam meringkuk dalam buaian mimpi. Ternyata mimpi sesingkat itu menghabiskan waktu dua jam.

"Udah kok, Ma. Nova udah beresin bajunya," jawabku lalu mengangkat tangan, menutup mulut yang terbuka saat menguap. "Ngantuk, Ma. Pengen tidur lagi."

"Tidurnya nanti. Ayo buruan turun, gimana sih? Yaudah kalo kamu masih mau tidur. Tidur aja. Mama sama Noval mau pindah ke Bandung," ketus Mama.

Kelopak mata masih betah naik turun, ditarik kantuk saat menyimak ucapan Mama. "Banyakin istigfar, Ma. Marah-marah mulu, dikerubungin setan loh, Ma."

Kedua mata Mama melotot lalu memicing. Ia melangkah ke belakangku lalu mendorong punggung untuk bangkit. "Kamu udah dewasa tapi masih aja malesnya minta ampun. Title nya aja mahasiswi, kelakuan masih kayak anak TK. Cepetan ambil wudhu. Kita pergi."

"Iya, Mama," desahku malas seraya berjalan gontai ke kamar mandi.

---

"Kakak sama Mama lama banget sih? Noval udah jamuran nungguin di mobil." Noval—adik laki-lakiku itu cemberut sambil melonggokkan kepalanya di jendela mobil. Sama seperti Mama, ia sudah lengkap memakai jaket untuk menutupi tubuhnya yang dibalut kaos hitam bergambar bendera Italia.

Aku mengeret dua koper dan sebuah ransel di punggung, sementara Mama mengunci pintu mengikuti dari belakang. "Tadi kakak ketiduran.

"Ketiduran?!" pekik Noval. Sedikit lebay memang. "Kayak yang nggak niat buat ke Bandung."

"Emang nggak," balasku pendek. Aku membuka pintu belakang mobil dan masuk setelah memasukkan dua koper di bagian belakang bersama barang-barang lainnya.

Aku menutup pintu, memasang safetybelt dan menyandarkan kepala di kaca jendela yang tertutup. Mobil sedikit bergoyang ketika Mama masuk dan menutup pintu mobil.

"Siap?" Tanya Mama.

"Siap, Ma!" Balas Noval antusias seraya mengacungkan jempol, mengumbar cengiran.

Bibirku merapat tidak mengatakan sepatah katapun. Ada rasa enggan untuk pergi dari rumah penuh kenangan itu, tapi apa boleh buat, setelah kepergian Papa tiga tahun lalu Mama harus berjuang sebagai single parent dan bekerja. Pekerjaan yang mengharuskan Mama pindah ke Bandung dan meninggalkan Jakarta. Meskipun kami dulunya pernah tinggal Bandung, tapi aku masih tidak rela harus pergi dari rumah yang menjadi saksi bisu kepergian Papa.

Aku hanya bisa menghela napas berat. Dalam hati aku berpamitan pada Papa untuk pergi, tapi aku janji aku akan kembali ke rumah.

---

Tubuhku terguncang, menganggu tidur hingga terbangun. Dalam ambang kebingungan setelah tidur terganggu, aku mengedarkan pandangan, melihat hari sudah gelap dan lampu-lampu penerangan sudah menyala, berusaha menggantikan cahaya matahari yang sudah lenyap digantikan rembulan yang tampak menggantung malu diselimuti awan.

"Mama, kenapa berhenti?" Tanya Noval serak, terbangun dari tidurnya sama sepertiku. Ia tampak mengulurkan tangan ke atas, meregangkan otot dan menguap. "Ngantuk!"

Mama mematikan mesin, membuka safetybelt dan membenarkan posisi duduk hingga menyamping, agar bisa bicara padaku dan Noval. "Kita istirahat dulu di Rest Area," ucap Mama lalu menoleh padaku. "Nova, bantuin Mama belanja, Mama mau ngecek dulu mobil."

Aku melenguh dan menggeliat, malas. Kelopak mata masih mengantung menunjukkan betapa kantuk masih menggelayut kuat, tapi Mama mulai menyeret ke luar dan memberikan sejumlah uang serta selembar kertas bertuliskan beberapa barang yang harus aku beli. Setelah meninggalkanku dengan uang dan secarik kertas daftar belanjaan, Mama langsung pergi berjalan ke tempat lain untuk meminta orang memeriksa mobil.

Dengan langkah gontai, aku memasuki minimarket yang ada di Rest Area. Pelayan yang berdiri di belakang kasir juga terlihat tidak bersemangat dan terkesan tak acuh. Aku berkeliling, mencari dan mengambil barang yang diperlukan. Setelah keranjang berwarna kuning di tangan kananku penuh, aku berjalan ke kasir yang memasang wajah datar sambil meraih setiap barang belanjaanku. Tidak ada orang yang datang dan membeli, membuatku bisa langsung membayar tanpa harus mengantri.

Aku memperhatikan dengan malas. Tangan kanan masuk ke dalam saku jaket meraih ponsel merah yang dibelikan Papa sebelum ia meninggal. Meski tidak ada yang menarik dan hanya menggulir menu, tapi cukup untuk membunuh kebosanan. Tiba-tiba bulu kudukku meremang serasa ada yang memperhatikanku. Aku mengusap tengkuk dan menoleh mencari ke segala arah. Tidak ada siapapun di minimarket, kecuali aku dan si kasir jutek itu.

"Mbak!"

Tubuhku tersentak, berbalik menatap si pelayan kasir yang tampak jengkel. Dua kantung kresek putih tersodor dan rapi berisikan barang-barang yang sudah dijumlahkan dan tinggal kubayar. Hanya saja, air mukanya yang begitu kecut membuatku jengkel. Aku bukan meminta secara cuma-cuma.

"Berapa?" tanyaku balik dengan nada sama judesnya. Daguku terangkat dan kelopak mata menggantung, menatapnya sinis. Ia tampak membeliak, mungkin tak senang melihatku membalasnya. Kalau merasa tersinggung, seharusnya pelayan itu tidak memulai duluan 'kan?

"Dua ratus sembilah puluh delapan ribu tiga ratus enam puluh tiga rupiah!" ketusnya.

Aku berdecih tidak suka. "Nih!" Aku menaruh tiga lembar uang merah dengan kasar. "Kalo nggak ikhlas jadi kasir, mending keluar! Nambah-nambahin dosa, judes ke orang. Orang beli bukan minta gratis. Situ juga jadi kasir di bayar 'kan? Nggak gratis?"

"Masalah buat lo?"

Jengkel, tanpa memperdulikannya yang tengah tertunduk mengambil kembalian, segera aku meraih dua kantung kresek tersebut dan ke luar sambil menggerutu. Terdengar dia memanggil-manggil tapi aku tidak menghiraukannya.

Aku berjalan mendekati mobil, Mama sudah berada di dalam, sementara Noval yang menganga dengan mata tertutup dan liur yang hampir jatuh. Aku membuka pintu mobil lalu menaruh belanjaan di samping tempatku duduk, setelah masuk dan duduk aku menutup pintunya.

"Kembaliannya mana, Va?" Tanya Mama.

"Nova sumbangin buat tuna susila," jawabku ngawur, muka judes kasir itu masih terbayang di pelupuk mata.

"Kalo ngomong tuh yang bener. Mana duitnya?" Mama kekeh bertanya hingga ia duduk menyamping, untuk melihatku penuh.

"Kasirnya sarap, Ma. Nova males nungguin kembaliannya lagian cuma receh doang. Berapa duit sih, Ma? Nova gantiin."

"Halah gantiin, makan aja masih minta sama Mama," cibir Mama seraya kembali duduk menghadap depan.

"Itu emang udah jadi tugas Mama ngasih makan Nova. Mama mau maen itung-itungan nih?"

"Mama—"

"Berisik! Jangan berantem mulu. Kuping Noval sakit nih. Mau tidur susah banget. Kalo Papa masih ada, udah di kasih death glare. Pada-pada sadar dirilah, udah tua!" Gerutu Noval yang entah sejak kapan terbangun.

"SIAPA YANG TUA?!!" Seruku dan Mama berbarengan.

"Di bilang tua aja, baru kompak. Aduh kenapa Papa bisa kuat sih ngadepin kalian. Noval pusing deh. Noval lambaikan tangan. Noval nggak kuat."

Aku lebih memilih diam, sementara Mama masih saja menceramahi Noval tiada henti, hingga anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu mendengkus.

Mataku melihat langit malam yang bertabur bintang dari balik kaca mobil. Bandung ya? Seperti apa tempatnya sekarang? Apakah disana aku akan mendapat sesuatu yang baru? Ah aku jadi teringat mimpi itu. Mimpi seseorang yang melamarku di kelas saat jam kuliah berakhir. Aku masih ingat keadaan kelasnya, tapi wajah pria itu samar-samar teringat. Itu hanya mimpi, bunga tidur, tidak akan menjadi kenyataan.

avataravatar
Next chapter