webnovel

Beginning

Namaku Nova Aurum Gauri. Salah satu nama tabel periodik 'kan? Aurum. Ya mungkin karena dulunya Papa pernah kuliah dengan jurusan analisis kimia. Awalnya saat aku SMA kelas 1 aku malu karena terus-terus diejek manusia emas, tapi semakin kemari terutama semenjak kepergian Papa aku bangga dengan namaku. Tak masalah juga, terdengar unik.

Tidak seperti logam lainnya yang memiliki keterbatasan ketahanan dalam penempaan, Emas sanggup ditempa menjadi lembaran super tipis yang nyaris transparan. Satu lagi, Gauri, diambil dari bahasa sansekerta yang artinya jalan penghidupan yang tentram, merdeka, bahagia dan sempurna.

Soal usia, aku tidak terlalu tua, baru dua puluh satu tahun. Statusku sekarang adalah mahasiswi di salah satu universitas negeri di Jakarta, sebelum akhirnya Mama memindahkanku di salah satu universitas swasta di Bandung.

Adikku bernama Noval Arengga Kusuma. Hampir sama seperti nama latin pohon aren—Arenga Pinnata. Kusuma, diambil dari nama bunga asli Indonesia, bunga Wijaya Kusuma.

Seperti asal namanya, adikku punya senyum yang manis. Mungkin kadang ia menjengkelkan, tapi nyatanya baik. Pernah sekali waktu, ia sampai uring-uringan dan menangis tersedu-sedu saat aku demam tinggi dan ketika itu Papa dan Mama tidak ada di rumah.

Mama dan Papa dulunya adalah teman satu jurusan, tapi akhirnya takdir membuat mereka lebih dari teman dan membuatku serta Noval hadir. Mama bernama Tantriana Saputri dan Papa bernama Putra Dewanto Angga. Mama yang cerewet dan Papa yang selalu pengertian serta lemah lembut. Kalau ditanya aku lebih dekat mana, jelas Papa. Papa adalah panutan. Beliau bisa menjadi orangtua, teman bahkan tempat curhat terbaik.

Ada yang bilang jika cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, maka aku setuju. Oleh karena itu, semenjak kepergian Papa yang mendadak membuatku berubah—katanya. Papa meninggal saat sholat isya, tepatnya saat sedang sujud.

Delapan belas tahun rasanya begitu singkat dan tiga tahun seakan begitu lambat. Setiap hari aku selalu merindukan Papa. Satu lagi, aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran, karena bagiku tidak ada laki-laki yang sama seperti Papa.

---

Setelah berjam-jam di jalan tol, duduk pegal dan bosan hingga akhirnya kami sampai di Bandung. Mama dan Noval sedang mengeluarkan barang-barang mereka, sementara aku sudah lebih dulu mengeluarkannya dan berdiri menatap rumah baruku.

Sebuah rumah berlantai dua bercat merah bata dengan dua pilar putih yang menyangga. Pepohonan rimbun menghias pinggir rumah tersebut hingga sedikit menghalau cahaya matahari.

"Rumah nggak akan bersih meskipun kamu liatin begitu. Ayo masuk," ajak Mama sambil menyeret koper dan membuka pintu ganda bercat putih tersebut.

Aku menghela napas dan menarik tali ransel Namun langkahku terhenti saat melihat Noval terus memperhatikan. "Apa?"

Noval mengalihkan pandangan. "Nggak papa. Kakak kayak nggak betah di sini."

"Belum juga tinggal disini, kamu udah bilang kakak nggak betah," balasku tak acuh.

"Kakak nggak mau pindah karena Papa 'kan?"

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, "Kalo bisa kakak nggak pernah mau pisah sama Papa."

"Nggak boleh gitu, Kak. Papa pasti sedih liat Kakak kayak gini. Noval juga kangen Papa, tapi Noval berusaha Ikhlas. Kakak juga harus ikhlas, biar Papa ikhlas ninggalin kita. Lagian Papa nggak kemana-mana. Papa selalu sama kita."

Aku tertunduk sejenak, menyembunyikan raut sendu yang selalu hadir kala mengingat Papa. Namun aku sudah janji, dan karena itu aku mendongak sambil menyunggingkan senyum pada Noval. "Iya, Kakak berusaha ikhlas. Adik Kakak udah gede ya sekarang? Makin pinter ngomongnya."

"Noval udah SMP, Kak. Jelas dong harus pinter. Kalo nggak pinter buat apa naik kelas?" Bibir Noval mengerucut saat aku mencubit gemas pipinya.

Aku tertawa kecil lalu merangkul bahu Noval, menggiringnya masuk kedalam. "Iya deh, Noval paling pinter."

"Ganteng juga dong, makanya di sekolah banyak yang suka," sambung Noval tersenyum bangga sambil menyugar rambutnya.

Buatan siapa ini anak?

---

Pertama memasuki rumah, perabotan di tutup kain putih. Persis seperti latar film horor. Debu-debu tampak menimbun benda yang ada di dalam. Cat tembok yang mengelupas di beberapa bagian. Lampu gantung terbuat dari kristal menggantung di tengah-tengah ruangan. Bau apek dan debu yang seketika menyergap hidung.

Pandanganku teralih pada Mama yang menuruni tangga sambil menggunakan celemek, masker dan membawa kemoceng. Sudah siap bertempur mengusir debu dan sarang laba-laba. Ciri khas Mama jikalau ingin membersihkan rumah.

"Ma, ini bukan setting film horor kan?" Bukan aku yang bertanya, tapi Noval. Adikku itu tampak merengut dan berdiri di dekatku, seraya mengedarkan pandangan ke segala arah. Keningnya berkerut, dengan kedua alis saling bertautan.

Mama menghentikan langkahnya sambil mengerutkan kening. Mungkin tak terima ketika Noval secara tak langsung mengejek rumah yang sudah susah payah ia cari dan beli. Mama lalu menurunkan masker hingga dagu. "Ya nggak lah. Meskipun ini rumah lama, tapi bangunannya masih oke."

Pernyataan Mama membuatku dan Noval sambil menatap. Kelopak mata kami menggantung, menatap datar tak terima akan ucapan Mama yang diragukan. Bangunan oke? Bahkan aku melihat disalah satu bagian atas, terdapat flafon yang tampak menghitam oleh jamur dan kotoran yang lain. itu menyebalkan, sekaligus menyedihkan. Harus tinggal di rumah yang bahkan aku tidak yakin bersih dari penghuni dunia lain ini.

"Cepet simpen barang-barangnya, bantuin Mama beres-beres," titah Mama.

Tangannya bergerak menaikkan kembali masker seraya mengayunkan kakinya, berjalan menuju ruangan lain, memulai acara bersih-bersih.

Hanya tersisa aku dan Noval yang masih berdiri, bengong sejenak. Namun tadi Mama tidak membagi kamar untuk kami, dan rumah ini kumuh dan tentunya kamarnya juga, tapi meski demikian, pasti ada yang sedikit lebih bagus dari yang lainnya. Aku melirik Noval yang juga tengah terdiam. Entah berpikir apa, tapi yang jelas aku harus mendapat kamar yang setidaknya layak dihuni.

Aku dan Noval saling menatap. Sepertinya pikiran kami sama, mengincar kamar terbaik. Tanpa perlu diberi komando, kami lantas berlari untuk mendapatkan kamar lebih dulu. Naik ke lantai dua, ada dua kamar di sana. Noval lebih dulu mencapai kamar pintu putih bersih, yang nampaknya memang itu kamar yang terbaik sementara aku harus berpuas hati karena mendapat kamar dengan pintu bercat hitam usang.

"Pas banget, Noval dapet putih, Kakak dapet item. Mana udah buluk lagi itemnya. Makasih, Kakak," cengir Noval sambil membuka lalu menutupnya dengan keras hingga terdengar bunyi debaman.

Miris.

Kesal dan dongkol yang aku rasakan, tapi apa boleh buat. Tidak mungkin aku harus bertengkar dengan Noval hanya karena sebuah kamar. Jikalau pun aku sampai merebutnya dari Noval, bocah itu pasti akan mengadu pada Mama dan berakhir aku yang dimarahi. Menyerah, akhirnya aku lebih memilih membuka pintu dan masuk ke kamar.

Mataku mengedar, menatap kamar baruku yang begitu jauh dengan kamarku yang dulu. Warna hitam serta coklat kayu mendominasi dinding. Kasur dan barang-barang tertutup kain putih. Sama seperti ketika aku memasuki rumah, kamar ini juga berbau apek dan debu dimana-mana.

Terdapat lemari berpintu tiga di dekat jendela yang berteralis besi. Catnya sudah mengelupas, menampilkan karat yang menyembul di balik sisa perwarna hitam itu. ada juga meja rias disertai kaca berbentuk lonjong.

Sial, otakku membayangkan saat aku bercermin di sana, ada sosok lain yang ikut tertangkap cermin.

Aku menghembuskan napas berat. Welcome to my new life.

---

Hampir empat jam kami bertiga merapikan rumah besar berlantai dua ini. Tak ada lagi debu, kain yang menutupi barang-barang dan aroma apek.

Mama membeli banyak pengharum ruangan yang ia taruh di mana-mana agar aroma rumah tak sebau kertas lapuk di gudang. Terlampau lelah, aku dan Noval duduk bersandar di sofa, menetralisir letih dan membiarkan keringar masih mengucur, sementara Mama masih sibuk di dapur, memasakkan sesuatu untuk kami.

"Capek, Kak," adu Noval. Ia bersandar di tenganku, manja.

"Kakak juga capek," balasku seraya menaruh kepala di sandaran sofa menekuk lengan menutupi wajah.

"Makan dulu! Rendangnya udah siap!" seru Mama sedikit mengeraskan suaranya dari dapur.

"Mau!!" seru Noval bersemangat. Memang sejak masih dalam proses dimasak, aroma sedap rendang sudah tercium menggoda.

Berulang kali juga Noval bertanya padaku kapan ia bisa makan, sampai-sampai aku harus membentaknya lebih dulu untuk mendiamkannya. Wajar jika makanan kesukaannya itu sudah jadi, ia begitu bersemangat.

Aku masih terdiam, meregup angin mengisi paru-paru. Rasa enggan berada di rumah ini membuatku malas untuk melakukan apapun. Makan pun rasanya tak mau.

"Nova!"

Tak bisa ada penolakan setelah Mama berteriak, memanggilku. Aku menghentak tubuhku dan berjalan gontai menuju ruang makan.

---

"Besok kalian langsung sekolah."

"Uhuk! Uhuk!"

Noval dan aku spontan tersedak. Rasa pedas dari bumbu rendang membuat tenggorokan terasa perih hingga air mata menggenangi mataku. Aku sedikit memukul dada lalu meneguk segelas air hingga tandas. Selesai minum, aku menatap Mama yang tampak santai tak terpengaruh. Kening berkerut dalam mengutarakan ketidaksetujuan.

Bagaimana bisa langsung sekolah? Aku bahkan belum mendaftar kuliah dan akan di mana aku kuliah nanti, lalu tiba-tiba Mama berkata besok langsung sekolah? Konspirasi macam apa ini?

"Ma! Nggak bisa gitu dong. Masa baru nyampe langsung sekolah? Kasih jarak dong, dua hari, atau tiga hari. Nova butuh persiapan."

Mama tak terusik dengan penolakanku, tetap tenang meneruskan makan. "Mama juga besok langsung kerja. Kamu sama Noval tinggal belajar, nggak ngurusin rumah, apa susahnya?"

"Tapi Ma—"

"Diem Noval!"

Bocah berusia tiga belas tahun itu kembali mengatupkan bibirnya cemberut, sementara Mama menaruh alat makannya dan menatap kami penuh tuntutan. Matanya bergulir, tak melewatkan aku maupun Noval dari tatapan intimidasi yang berbanding terbalik dengan senyum manis yang Mama tunjukkan.

Menyebalkan. Aku hanya diam memberikan tatapan kesal.

"Ya? Besok sekolah, Mama udah daftarin kalian dari jauh hari sebelum Mama ngasih tau kita bakal pindah, jadinya cepet. Kalian bisa langsung sekolah," papar Mama.

Aku menopang dagu seraya menatap ke arah lain, kesal tak bisa mengambil rehat sejenak.

"Iya, Ma," Seruku dan Noval berbarengan.

"Gitu dong, baru anak Mama. Pokoknya besok kalian sekolah. Hari pertama Mama anter, kesananya nggak. Hemat bensin," ucap Mama sambil terus menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Hemat terus sampe mampus," gumamku seraya menunduk menekuni kembali makanan.

"Nyarios naon?" (bicara apa?)

"Nggak, Ma. Nova belom beresin kamar," aku malas berdebat dengan Mama saat ini jadi ya begini hasilnya.

Setelah itu hanya keheningan yang melingkupi. Selepas makan usai, Mama menyuruh kami untuk bersiap sekolah besok. Pasrah, Noval dan aku hanya bisa berjalan gontai dengan penuh rasa malas mengingat besok kami harus beradaptasi dengan lingkungan baru, yang entah macam apa buasnya. Semoga aku pulang dalam keadaan utuh tanpa luka.

Next chapter