22 MENYEMBUNYIKAN SESUATU

"Len, gue ngerasa aneh sekarang."

Galen mengernyit tak mengerti.

Milano tiba-tiba saja datang ke rumahnya saat cowok itu hendak ingin tidur. Sudah tiga puluh menit Milano baru bicara padanya.

"Aneh apanya?"

Milano melirik, dia menghampiri Galen yang duduk di kursi rotan di kamarnya.

"Akhir-akhir ini, gue merasa ada yang ngikutin kita." Milano berucap khawatir, Galen menatap cowok itu butuh penjelasan lebih.

"Apa ada mata-mata lagi?" Milano menerka.

Galen menghela napas, "Kalo emang ada, pasti suruhan Richo, kan?" tebaknya.

Milano menautkan kedua tangannya dengan siku yang berada di paha, "Ada benernya juga, sebelum-sebelumnya pernah ada. Dan Freya yang nangkap semua orang itu, gila si. Freya emang cewek idaman gue."

Galen tersedak ludahnya, dia terbatuk-batuk.

"Eh, Len..lo kenapa?"

Galen menggeleng, tanda dia tidak apa-apa.

"Gue salah ngomong, ya?" Milano bertanya dengan wajah konyol.

Galen menepis, "Kaga, gue keselek aja."

Cowok itu berdecak, tangannya menepuk lengan Galen, "Yaela, gue kira kenapa."

Galen hanya tersenyum gugup sambil mengelus lengannya yang menjadi sasaran kekerasan Milano.

Apa selama ini Milano juga menyukai Freya, selain Arkan?

Galen tidak pernah menyadari jika salah satu temannya juga menyukai Freya, ketua geng mereka sendiri. Selain Galen sendiri yang menyukai Freya, juga sekarang Milano? Apa yang lainnya juga menyukai sosok Freya juga? Sepertinya Galen harus lebih mencari tahu semuanya.

Awal bertemu, Galen sudah lebih menaruh hati pada Freya. Cewek itu tidak pernah mengetahui siapapun yang menyukainya, bahkan teman dekatnya sendiri. Karena terlalu bergulat dengan kehidupannya yang masih belum juga terselesaikan. Bagi cewek itu, untuk sekarang dan nanti bagimana dia menjalani, soal percintaan tidak begitu penting juga.

***

"Ampun, Fre! Ampun!."

Freya tersenyum miring, tubuhnya mencondong menatap cowok yang sedang berjongkok meminta ampun di depannya.

"Ga lagi, janji! Please lepasin gue."

Freya berdiri tegak, tangannya terlipat dan menbeo, "Janji?" .

Cowok itu mengangguk cepat, wajahnya pucat pasi, dia terlalu takut di hajar oleh cewek itu.

Telunjuk Freya goyang ke kanan ke kiri, "Oh, ga segampang itu ferguso."

Keringat dingin mulai bercucuran dari wajah Reka. Cowok itu sangat tidak hati-hati sampai ketahuan aksinya oleh Freya, si cewek troublemaker yang paling di segani di sekolahannya.

Reka mencoba membujuk, tangannya bertaut di depan wajahnya, "Gue janji. Apapun yang lo mau, gue kabulin. Tapi lepasin gue Freya, please."

Freya suka ini, cowok itu sama saja seperti menantangnnya, "Ga yakin akan mampu."

Reka sudah tidak karuan, tangannya gemetaran membuat Freya tersenyum tipis.

"Lo ikut gue sekarang!" titah Freya, Reka mengangguk ragu, cowok itu masih was-was di hajar Freya secara dadakan.

Freya berjalan di belakang, sudah seperti menggiring peliharaan untuk menuju kandang saja. Beruntung Reka menurut berjalan di depan Freya, walau sesekali menengok ke belakang.

"Belok kiri." perintah Freya, Reka mendongak menatap nama ruangan disana.

"Lo mau aduin gue?" Reka melotot, menatap Freya tak percaya.

"Berani berbuat, berani bertindak, berani bertanggung jawab."

Reka membuang napas kasar, dari pada dia kena hajar lebih baik Reka menurut, dia masuk dengan langkah pelan.

Seorang guru perempuan mendongak, melihat Freya dan Reka yang memasuki ruangannya.

"Kalian ada apa datang kemari?" Bu Jena bertanya ketus.

Freya melirik Reka tajam, cowok itu menunduk dengan tubuh yang mulai tremor.

"Freya, apa kamu berbuat ulah lagi?" Bu Jena berdiri melangkah mendekat ke arah Freya.

Cewek itu menjawab acuh, "Guru-guru disini memang tidak sopan."

Bu Jena menggebrak meja, membuat Reka terlonjak kaget.

"Maksud kamu apa bicara seperti itu?"

Freya tersenyum tipis, sangat tipis. "Reka hampir membunuh murid Ibu, yang mengidap penyakit asma." singkat Freya.

Bu Jena melotot, kakinya melangkah ke arah Reka, "Benar begitu?"

Reka menelan ludah kasar, irisnya menatap Freya takut, "I—iya, Bu."

"Dalam sakunya ada rokok, beserta obat yang tidak perlu di gunakan oleh seorang pelajar." Freya berucap lantang, tubuh Reka semakin tremor.

Bu Jena selaku guru BK menghela napas kasar, untuk ke-lima kalinya ada seorang murid yang melanggar peraturan sekolah.

Reka mengambil barang bukti dari saku celana abu-abunya. Isi hatinya sungguh berbeda dengan keadaannya yang terancam , dia menyumpah serapah Freya atas terjadinya peristiwa yang membuat Reka naik pitam.

"Freya kamu boleh keluar." Ucap Bu Jena, lebih tepatnya--mengusir.

Freya mengumpat sambil berjalan ke luar ruangan, "Masalah begitu aja, ga bisa di tanganin."

Bu Jena mendengar, beliau menghela napas dengan kepalanya yang menggeleng dua kali.

Freya tidak habis pikir dengan murid di sekolahannya yang masih bisa berkeliaran dengan sebatang rokok yang di apit bibir, paling parah menjual beli obat terlarang. Tapi dia tidak lengah, Freya akan membasmi semua murid yang melakukan tindakan terlarang di halaman sekolahnya, walaupun Freya juga sering membolos. Namun bagi Freya itu berbeda.

"Ya, lo darimana?" tanya Arkan saat Freya sudah berada di kelasnya.

"Basmi virus."

Trian mengedik saat Arkan menatapnya bertanya.

Sebelumnya Freya bolos, karena tidak bisa mengejarkan soal di depan. Alhasil, dengan di keluarkannya dia dari kelas, justru dia mendapat satu mangsa yang bermain-main di belakang sekolah. Freya tidak menyesal secuilpun karena kebodohannya terhadap fisika. Freya bersyukur, karena Pak Dandi telah mengeluarkan dari pelajarannya yang tidak di mengerti sedikitpun, tapi menjadi teori yang terpecahkan.

Saat Freya mengambil handphone di dalam tas 'nya ada panggilan masuk yang tertera disana, nomor itu tidak di kenal, namun cukup di ketahui oleh Freya.

"Halo."

Suara dari sana terdengar hangat, tapi bagi Freya tidak, suara itu penuh manipulasi.

Trian dan Arkan saling melirik, juga Milano Galen dan Guntur yang baru saja masuk saat sudah dari toilet.

"Siapa tuh?" bisik Guntur pada Arkan.

Cowok itu mengedik tidak tahu, lagipula Freya pasti tidak suka di tanya saat sedang di telfon.

"Ngerti."

Teman-temannya melirik kebingungan, sebenarnya Freya di telfon siapa? Raut wajahnya begitu serius dan sama sekali tidak berkedip.

"Siapa, Ya?" tanya Arkan saat sambungan telfon Freya putus.

Cewek itu masih mengotak-atik ponselnya acuh, "Orang penting."

Arkan dan yang lainnya curiga, mereka merasa aneh. Apa Freya mau melakukan sesuatu yang temannya tidak mengetahui? Bertujuan apa? apa temannya sudah tidak di butuhkan lagi? Tidak mungkin, mereka mengenal Freya bukanlah orang yang seperti itu, lagipula untuk sekarang bukankah Freya sudah bicara bahwa dia tidak akan membawa nama teman-temannya lagi? Arkan seharusnya lebih mengerti dan tahu bagaimana keadaan sahabatnya, dia harus memahami permasalahan yang harus Freya lewati.

"Gue balik duluan, lo semua hati-hati." Freya pergi, tas ranselnya di tempatkan di bahu kanannya.

Trian berbisik mendekat pada Arkan, "Ar, gimana kalau kita ikutin dia?"

"Saran yang bagus."

avataravatar
Next chapter