13 MASALAH LAIN UNTUK FREYA

Freya membantingkan tubuhnya ke atas kasur, dia begitu prustasi mengenai hari yang tidak pernah di bayangkannya. Freya beringsut duduk kedua tangannya meramat rambut yang selalu di kuncir tinggi itu kasar, otaknya belum bisa berpikir jauh. Bagaimanapun juga Freya harus membuat dirinya jauh dari Richo--cowok yang sekarang sudah berstatus menjadi pacarnya.

Ini sudah menjadi mimpi terburuk bagi Freya, perkelahian kemarin, Richo menghajar Freya sungguhan. Dia tidak lagi menyuruh orang atau berniat untuk mencurangi Freya, cowok itu benar-benar membuat Freya sesak napas.

Untuk kedua kalinya Richo menghajar Freya, namun pukulan kemarin sudah membuat semua tubuh Freya terasa ngilu.  Freya kesakitan, beruntung Richo berhenti menghajar Freya saat cewek itu merasa tidak bisa lagi melawannya, walau begitu Freya sangat membencinya. Richo adalah musuh terbesarnya, tidak ada seorangpun yang sudi untuk menjadi kekasih dari Rival-nya sendiri.

Ponsel Freya berbunyi terdapat chat dari Arkan.

Freya membuka isi pesan tersebut, ternyata Arkan berada di luar, dia menyuruh Freya untuk membukakan pintu untuknya.

Mau tidak mau Freya harus berjalan menuruni anak tangga, padahal dia ingin mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah.

"Ya, ada yang mau gue bicarain." Arkan menyambar, tidak ingin menyembunyikan lagi tentang masalah Freya.

"Apa?"

Arkan menatap lekat, butuh keberanian lebih jika ada sangkut pautnya dengan gadis itu.

Arkan melirik saat terdengar suara mobil, "Jangan disini." Sanggahnya.

Devan keluar dari mobilnya, dia menatap dua remaja yang terlihat sedang mengobrol serius di depan pintu masuk.

"Loh, Freya kok Arkan ga di ajak masuk?"

Arkan tersenyum, "Arkan mau izin sama Kakak, pinjem Freya 'nya, ya. Soalnya ada obrolan yang agak penting."

Freya hanya diam, Devan mengerut, "Penting banget harus keluar? ga di dalam aja kalian ngobrolnya?"

"Ga bisa, Kak. Please, janji Arkan bakal nganterin Freya kerumah lagi dengan selamat." cowok itu sedikit memaksa, Devan melirik Freya sebentar kemudian mengangguk dua kali.

"Asal kamu jangan macem-macem!" peringat Devan, tangan kanan Arkan terangkat di depan pelipisya, tanda hormat dan berucap, "Siap bos!"

Akhirnya mereka pergi dengan Freya yang di bonceng, karena Arkan menolak untuk membawa motor masing-masing.

Arkan menghentikan motornya di sebuah taman yang tidak terlalu ramai, Freya turun dan langsung duduk di salah satu bangku disana.

"Sebenernya lo mau ngomong apa?" Freya segera bertanya, saat Arkan baru saja duduk di sebelahnya.

Dia berdeham lalu berimbuh, "Apa lo kalah dari tantangan, Richo?"

Freya tercenung, apa Arkan mengetahui hal tersebut?

"Maksud lo apa?" Freya menampik, lagi dia harus merahasiakan tentang itu.

Arkan tersenyum sinis, "Gue udah tau, Ya. Lo jujur sama gue..lo menang atau kalah dari tantangan Richo?" tegas Arkan.

Freya menarik napas dalam, "Emangnya lo tau dari siapa soal itu?" Freya berusaha tenang, dia menepis apapun yang akan terjadi setelahnya.

Arkan mulai emosi, dia meninggikan suara, "Freya! lo ga pernah rahasiain apapun ke gue. Apa sekarang lo ngerasa kalo gue ga peduli? atau gue udah ga berguna lagi buat lo?" Arkan selalu berpikir negatif jika Freya tidak cerita apa masalah yang di hadapinya, apalagi tentang dia dan Richo. Semenjak Freya membenci Richo, Arkan jarang mengetahui apa saja yang terjadi dengan kedua orang tersebut.

"Gue sempet ngikutin lo, Ya. Lo inget waktu pulang sekolah itu? gelagat lo aneh, jadi gue inisiatif buat kejar lo di jalan."

Feya menghela napas lalu menatap Arkan, "Iya. Iya gue kalah lawan dia!" Freya tidak bisa berbohong, bagaimanapun juga Arkan yang selalu di sampingnya, sahabat yang selalu mengerti.

Arkan melotot, "Jadi lo?" telunjuknya terapung di depan wajah cewek di sampingnya.

Freya mengangguk satu kali, "Terpaksa gue harus jadi babu, Richo"

Arkan menggertakan giginya, "Bukannya dia mau lo buat jadi pacarnya? Apa dia buat curang sama lo? sampai lo bisa kalah?"

Freya menggeleng, "Dia ga curang. Mungkin kemarin gue lagi lengah aja, jadi gabisa konsen sama lawan."

Arkan syok, dia berucap tegas, "Lo jangan khawatir, gue sama temen yang lain bakalan cari cara buat ngalahin, Richo." Arkan  meyakinkan, perlahan Freya tersenyum walaupun hanya ucapan tetapi Freya merasa beban di malam hari itu berkurang. Usaha Arkan untuk membantunya sangat yakin dan di pastikan berhasil, walau Freya yakini pasti gagal. Karena menjadi lawan Richo adalah sebuah bencana dalam hidupnya.

                          ***

Marvin terkejut saat ada tangan yang menepuk bahunya, dia melirik.

"Richo." gumamnya.

Cowok putih itu tersenyum miring, "Lo kenapa? dari pagi keliatan melamun." tebaknya, Marvin menghela napas, buku yang sempat di bacanya di taruh di sebelahnya dia melirik Richo, "Ga ada yang melamun." Marvin membalas ketus, membuat Richo ingin tertawa terbahak di depan cowok itu.

Marvin mengambil kembali buku yang sempat di taruhnya, dia berucap, "Richo. Gue harap lo jangan buat Freya nangis, dia itu cewek yang harus di lindungi..walaupun memang kalian itu musuhan tapi lo jangan pernah sekalipun sakitin dia."

Richo tersenyum smirk, "Musuh? gue ga pernah menganggap Freya itu musuh. Jujur, gue emang udah lama suka sama dia..dan cuma cara ini yang bisa gue lakuin. Lagian kenapa kalo gue sakitin dia?" Richo balik bertanya, sengaja membuat Marvin tersulut.

Marvin menatap sengit, "Gue ga akan tinggal diam." dia pergi, Richo mengedikkan bahu acuh.

Saat ini Richo yakin, bahwa Marvin sedang dilanda api cemburu padanya.

Freya berjalan ke kanan-kiri sambil bertolak sebelah pinggang, dia sedang memikirkan alasan untuk menolak ajakan Richo.

Sore ini Freya di telfon oleh musuh sekaligus kekasihnya untuk kencan pertama. Kepala Freya medadak pening, dia duduk di atas sofa dekat meja belajarnya sambil memikirkan kembali.

"Kenapa bodoh banget!" Freya terus mengoceh, menyerapahi tindakannya yang gegabah.

Suara motor yang Freya kenali terdengar di depan rumahnya, dia berjalan menuju balkon mengintip seseorang yang selama ini di bencinya.

Walau bagaimanapun Freya akhirnya pasrah, dia berjalan malas keluar rumahnya dengan penampilan yang biasa dia pakai.

"Halo baby..udah siap kencan?"

Ingin sekali Freya melayangkan tinjuan ke mulut cowok brengsek di depannya. Tetapi, itu hanya suara hatinya. Freya sudah terlanjur membuat perjanjian terkutuk itu, masalahnya sangat berat Freya tidak bisa jika terus berlama-lama menjadi pengecut seperti sekarang.

Richo membawa Freya ke cafe yang sering Freya kunjungi dulu.

"Ngapain lo ngajak gue kesini?" wajah Freya terlihat datar, dan Richo selalu merindukan ucapan ketus yang keluar dari mulut cewek tersebut.

Richo yang merangkap jadi kekasihnya tersenyum lebar, "Emangnya kenapa? oh iya..kamu bosen makan disini? yaudah kita makan di tempat lain, ya."

Bullshit!

Hati Freya mengumpat. Richo sangat keterlaluan! apa dia tidak menyadari perkataannya? mata Freya memanas seketika, dia mengingat kembali masa kelamnya.

Richo sama sekali tidak merasa bersalah, justru dia tersenyum manis di depan Freya yang membuatnya semakin terlihat menjijikan.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Freya segera turun dari motor Richo saat cowok itu mengantarnya pulang.

"Udah sono lo pulang!" Freya mengusir.

Richo justru mengabaikan, cowok tinggi itu mengetuk pintu rumah Freya membuat Freya muak akan sikapnya.

Pintu itu terbuka, nampak Gibran yang membukakan pintu tersebut.

Richo ternyum ramah, "Malam, Om." sapaan itu kembali setelah dua tahun lalu menghilang.

Gibran balas senyum, "Malam juga. Kalian dari mana?" pertanyaan Papa Freya itu segera Richo jawab, "..Kita kencan pertama, Om."

Gibran jelas melotot, menatap Freya yang sama terkejutnya. Freya yakin setelah ini pasti Papa'nya akan menumbuk berbagai pertanyaan aneh padanya. Ternyata Richo belum puas membuat Freya kesusahan.

Freya berucap dalam hati, Selamat datang masalah baru.

avataravatar
Next chapter