9 AJAKAN MAKAN SIANG

Devan menggigit pipi dalamnya, masih merasa gelisah. Sehabis pulang dari rumah Richo tadi malam perasaannya tidak karuan pikirannya sangat kacau, kekawatiran terus melanda.

Gibran keluar dari kamarnya, terlihat seperti baru selesai mandi menggosok rambutnya yang masih terlihat basah dengan handuk kecil. Bapak dua anak itu melangkah mendekat, melihat gelagat anak laki-laki 'nya yang tiba-tiba menjadi aneh.

"Devan, kamu kenapa?" tanyanya sambil mendekat.

Kerongkongannya mendadak kering, cowok itu mengacak rambut belakangnya, "Hah, ah–Devan ga pa-pa kok, Pa." balasnya sedikit gugup sambil tersenyum kikuk.

Gibran tersenyum miring, tidak terlalu memikirkan gelagat Devan justru Gibran berpikir mungkin Devan sedang memikirkan pacarnya.

Papa yang berusia tiga puluh delapan itu melihat ke arah kamar Freya, "Oh iya, Devan. Papa tadi malam lupa tidak ke kamar Freya, mengecek dia sudah tidur atau belum." Devan mendadak lemas, bagaimana jika Papa 'nya tahu Freya tidak ada di kamarnya.

"Apa dia belum bangun? Biasanya jam segini sudah berangkat lari pagi." Gibran mengernyit heran, tidak biasanya Freya bangun siang walaupun di hari libur sekolah pun, pasti cewek itu selalu bangun pagi dan tidak pernah kesiangan.

Devan semakin gugup tapi dia meyakinkan Gibran, "Oh..tadi malem Freya ngerjain tugas, Pa. Dia begadang jadi mungkin masih ngantuk." alibinya.

Gibran mengangguk, "Kalau begitu biar Papa yang bangunkan." Gibran hendak melangkah namun terhenti karena Devan menghalanginya lebih dulu. "Jangan, Pa." cegahnya.

Gibran mengeryit, "Kenapa lagi?"

Devan mencoba mencari alasan lain, "Tadi malam itu Freya bilang sama Devan, kalo semisal dia bangunnya agak siangan jangan ada yang bangunin." kali ini Gibran menatap aneh, namun Gibran memahami. Mengingat ucapan Devan sebelumnya, Freya mengerjakan tugasnya hingga begadang ia harus memaklumi.

"Yasudah kalau begitu kita sarapan duluan saja, biarkan Freya lebih banyak istirahat." Gibran pergi. Devan mengelus dadanya beberapa kali, beruntung Papa 'nya percaya.

Devan menatap pintu kamar Freya yang masih tertutup rapat, matanya mendadak sendu. Sebenarnya kamu dimana, Freya? Kakak sudah mencari kamu kemanapun tapi masih belum ketemu juga, hatinya berbicara. sungguh Devan sangat merasa bersalah sekarang.

.....

Freya perlahan berjalan menuju teras, mendekati Marvin yang sedang memainkan gitarnya disana.

Freya duduk di samping Marvin, "Kok main gitarnya di luar?" ucapnya tanpa melirik.

Marvin menoleh sambil tersenyum, "Kamu..ngagetin aja." balas Marvin, menyimpan gitarnya di belakang tubuhnya.

Freya melirik sejenak, "Kok ga di mainin lagi? karena ada gue, ya?"

Marvin segera melerai, "Eh, engga kok. Justru aku takut kamu gasuka."

"Sebenernya tadi gue denger dikit, makanya gue samperin lo kesini." bohong, Freya tidak mendengar apapun saat dia menghampiri Marvin tadi, itu hanya alasan supaya cowok itu memainkan gitarnya.

Marvin tersenyum malu, "Kalo libur sekolah setiap jam sembilan pagi, aku pasti udah nangkring disini sambil main gitar. Udah jadi kebiasaan aku juga sejak SMP." jelasnya.

Freya menatap lamat, sepertinya Marvin memang cowok yang baik. Arkan salah menilai Marvin. Sejauh ini Freya tidak pernah melihat Marvin yang macam-macam, buktinya saat dia di pemakaman Ibunya sebisa mungkin Marvin membujuknya supaya dia harus segera mengikhlaskan semuanya yang sudah terjadi.

Bahkan Marvin yang membuatnya sadar, bahwa semuanya itu memang sudah menjadi takdir dari tuhan.

Freya mengakui bahwa dirinya sudah tidak percaya dengan takdirnya sendiri. Selama ini Freya sudah egois, tidak seharusnya dia menyalahkan takdir, karena semuanya juga akan menghadap tuhan termasuk dia sendiri.

Marvin melambai tangannya di depan wajah Freya, "Kamu melamun?"

Freya tersadar, "Hah..oh itu gue lupa, harusnya gue buru-buru pulang. Takut bokap sama Kakak gue nyariin." cewek itu baru mengingatnya, Freya yakin jika pulang nanti pasti akan di omeli oleh Kakaknya.

Marvin berdiri, "Yaudah aku anterin, yuk." tangannya terulur, Freya kaget dia ikut berdiri, "Eh..gausah, gue gamau ngerepotin lo terus. Apalagi orangtua lo juga udah ngijinin gue buat nginep disini, gue gamau jadi beban lo juga." ucapnya tak enak.

"Mama seneng sebenernya aku ngajak kamu kesini." ucap Marvin, Freya menautkan alis, "Justru beliau mau banget kamu lama-lama disini."

Freya tersenyum, "Gue juga ngerasa nyaman banget deket sama tante Gisella. Seakan gue ngerasa ada keberadaan Mama di samping gue." ungkap Freya, tatapannya terlihat sendu otaknya mengingat kembali kenangan dia bersama dengan Ibunya di masa dia kecil hingga saatnya harus kehilangan untuk selamanya.

"Freya." panggilan seseorang membuat keduanya menoleh.

"Tante. Mama." serempak keduanya.

Gisella tersenyum ramah, berjalan mendekat berdampingan dengan suaminya---Ardo.

"Kok kalian ngobrolnya di luar, si?" ucap Ardo melirik Freya dan Marvin bergantian.

Marvin melirik Freya, "Eum, tadi Marvin lagi main gitar, Pa...eh Freya nyamperin, yaudah jadi kita ngobrol disini kebutalan juga Marvin mau pamit sama Mama dan Papa mau nganterin Freya pulang.'' jelas Marvin sekaligus pamit.

"Apa tidak nanti sore saja pulangnya? sekalian nanti kita makan siang bareng di restoran Papa yang kebetulan baru saja buka." Gisella sedikit membujuk.

"Maaf tante, bukannya Freya nolak niat baik tante. Tapi Freya harus cepat-cepat pulang." tolak Freya tak enak.

"Yasudah kalau begitu kalian hati-hati di jalan, ya. Lain waktu juga bisa kok." balas Ardo tersenyum hangat.

Freya membalas senyum, "Om, tante makasih banyak sudah menolong Freya sampai menginap disini. Maaf banget Freya ngerepotin."

Gisella mengusap lembut rambut Freya, "Tante dan om senang ada kamu disini, sayang. Justru tante maunya lebih lama lagi menghabiskan waktu bersama kamu dan keluarga tante disini." tatapannya sangat dalam Freya tersentuh, tatapan itu mirip sekali dengan tatapan kekhawatiran Mama 'nya.

"Jika boleh, Freya akan sering berkunjung kesini melihat tante, om dan Marvin."

Gisella mengangguk cepat hingga memeluk Freya, "Boleh, sayang..kamu boleh kapan saja kesini, tante akan merasa senang sekali dan pastinya tante akan selalu menunggu kamu." antusias Gisella membuat Freya semakin merasa dekat kembali dengan Mama 'nya hatinya mendadak terasa ngilu, ingin sekali Freya memeluk Gisella lebih lama, menyalurkan semua kerinduannya terhadap sang Mama.

"Kalau gitu Marvin pamit Ma, Pa." ucap Marvin diikuti oleh Freya.

Mereka akhirnya pergi dengan Marvin yang membonceng Freya dengan motornya.

"Semoga mereka semakin dekat ya, Pa." ucap Gisella melirik suamianya. Ardo mengangguk sambil tersenyum.

Saat Marvin membawa Freya kemarin dengan pakaian basah karena terkena hujan lebat di perjalanan, Gisella terpukau entah kenapa hatinya terasa nyaman saat menatap mata Freya dari dekat atau berbicara dengan cewek itu. Seakan mereka sudah kenal lama. Gisella maupun Ardo, keduannya merasa sangat nyaman, entah karena Freya gadis yang sopan walau terlihat tomboy, tapi kedua suami istri tersebut tidak pernah menilai orang dari segi penampilan.

Di tambah Freya adalah satu-satunya perempuan pertama yang Marvin kenalkan pada orangtuanya.

Keduanya terlihat serasi dan akrab, Gisella sangat berharap bahwa suatu saat nanti semoga Marvin bisa mendapatkan hati Freya.

avataravatar
Next chapter