2 ACARA MAKAN MALAM

Freya membantingkan tubuhnya ke atas sofa mengistirahatkan otot-ototnya yang sedikit melemas, saat Guntur dan Trian menyudahi perkelahian tadi cewek itu justru masih kepikiran tentang cowok tinggi yang sudah menolongnya.

Freya membuang napas, tangannya menumpu kepala untuk di jadikannya bantal. "Kok, bisa si? Richo, nyari pasukan yang polos banget kayak, Marvin .." cewek itu tersenyum tanpa sadar. "Tapi lucu, si. Masih ada aja cowok yang udah tau musuh terus sempet-sempetnya nolongin musuhnya sendiri."

Freya tidak pernah melihat Marvin sebelum-sebelumnya, mungkin Marvin memang baru bergabung dengan gengnya Richo pikir Freya.

"Kenapa kamu senyum-senyum?" Freya melirik cowok yang baru saja duduk di sofa sebelahnya.

Cewek itu beringsut duduk terkejut mendengar suara. "Lah, Kak Devan. Kapan pulang? Ga biasanya pulang cepet." Devan berdiri mengabaikan pertanyaan Freya, cowok itu menangkup pipi Freya dengan tangannya di geser ke kiri ke kanan, "Tumben wajah kamu masih mulus, biasanya tiap pulang ke rumah selalu babak belur." Devan dibuat heran, tidak biasanya Freya pulang dengan keadaan yang terbilang masih rapi walaupun dengan seragam yang sudah kusut.

Devan merangkul bahu Freya duduk di sampingnya. "Kakak, belain pulang cepet demi kamu. Waktu di kantor juga di telfon pihak sekolah, katanya kamu bolos pelajaran lagi.. emang ga mau pinter apa?" sulung Ravindra itu menatap jengkel adik semata wayangnya.

"Tapi ini lebih penting, Kak." Freya selalu saja membantah, geng 'nya ini jauh lebih penting daripada pelajaran yang menurutnya materi itu-itu saja.

"Freya. Tidak ada yang namanya geng tawuran itu penting! Kalau kamu terus begini memang kamu mau jadi apa nantinya? Preman? Papa, bakal kecewa banget kalau sampe tau anak perempuannya gini, coba deh kamu jangan jadi cewek tomboy."

Mudah bagi siapa saja yang bilang bahwa hal yang Freya lakukan itu tidaklah penting. Seperti ucapannya tadi, Menurut cewek itu sendiri hal yang di lakukakannya sangat penting karena menyangkut perasaan dan kejadian yang tidak pernah Freya lupakan tentunya.

"Udahlah, Kak. Aku mau mandi aja deh, bye!" Freya berlari kecil menuju tangga untuk ke kamar meninggalkan Devan yang terus memanggil namanya.

**

Richo meninju tembok ber-cat putih dengan deru napas yang menggebu.

"Aarrrghhhh!!!" teriak Richo frustasi.

Marvin yang masih di introgasi kebingungan harus berbuat apa, pasalnya dia hanya di tanya kenapa menolong musuh yang sudah jelas Richo benci.

"Richo. Salah gue emang dimana, si? Tapi yang jadi permasalahannya kenapa juga lo mau curangin cewek itu?" pertanyaan Marvin membuat Richo menatapnya tajam membuat Marvin terdiam sesaat memikirkan pertanyaan apalagi sampai Richo mau menjawabnya dengan jujur. "Lo benci banget kayaknya sama itu cewek, awal kalian bisa sampe tawuran kayak gini ... gimana ceritanya?" Marvin benar-benar polos, cowok itu baru saja mengenal Richo tiga hari kemarin karena dia memang siswa pindahan dari luar kota.

Richo mengeratkan giginya hingga berbunyi, "Lo ga usah kepo tentang gue!"

Marvin mengelus dagu dengan telunjuknya, "Ya, kan gue tanya permasalahannya apa? Emang ga bisa di jelasin baik-baik?"

Richo tidak menjawab, netra abu itu menatap ke atas langit yang gelap, malam ini tidak ada bintang juga bulan. Seakan semesta mengetahui keadaannya yang sekarang. Hati Richo mendadak terasa sakit kembali, cowok itu segera menepis semua yang ada di pikirannya saat ini.

"Lo gausah ikut pasukan gue lagi, belajar aja sono biar ceramahnya tambah lancar." Richo melenggang pergi memakai helm full face membelokan motor Sport 'nya dan melesat pergi dengan kecepatan tinggi.

cowok itu menggaruk sedikit hidung mancungnya. "Lagian kenapa cewek ikut tawuran? Aneh-aneh aja." Marvin menggeleng heran setelahnya dia juga pergi dengan motor 'nya yang di dorong karena kehabisan bensin.

Freya berdecak sebal saat ada salah satu nomor soal yang belum di pahami sebelumnya, dia menopang dagu memutar pulpen sambil mengingat-ingat kembali materi tersebut.

"Ini apaan, si! Susah amat soalannya."

Nilai Freya di sekolah tidak sebagus dari kebanyakan murid di SMA Bhakti Husada, tempat dimana Freya menjadi peserta didik. Namun, cewek itu tidak pernah sekalipun menunda jika ada tugas dari sekolah sekalipun soal dari pertanyaan yang cukup menyita waktu Freya untuk menjawabnya.

"Dek, kamu lagi apa?" Devan memanggil membuka lebar pintu kamar adiknya.

"Ngerjain tugas." singkat Freya, Devan mendekat melihat buku yang setengahnya terdapat tulisan tangan.

"Tapi ini tinggal satu nomor lagi yang belum, keburu pusing kepala aku." keluh Freya membuang napas gusar.

Devan menarik buku soal yang lumayan tebal membacanya dengan serius. Freya yang melihat soal saja sudah bosan dan jenuh, bagaimana dengan Devan yang terus bergulat dengan dokumen-dokumen di kantornya? Pasti akan membuat Freya stress semisal nanti dia bekerja di kantoran.

"Kak. Apa, Kak Devan, ga stress kalo di kantor? Pasti banyak tuh dokumen penting yang harus di baca dulu." Freya bertanya penasaran.

Devan tersenyum manis menanggapi, "Jika kita mengerjakan dengan serius dan sungguh-sungguh maka kerjaan kita juga akan cepat selesai." Freya mengembungkan pipi, apa barusan Devan sedang mengejeknya?

"Ini soal gampang banget, dek. Anak paud juga paham." Devan mengejek tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, Freya yang mendengar itu mendengus. Devan jika sudah mengejek pasti keterlaluan, memang Freya tidak sepintar Devan tetapi juga tidak sebodoh yang Devan kira.

Devan akhirnya membantu mengerjakan tugas sekolah Freya, sudah menjadi kebiasaan dari cewek itu kecil Devan pasti membantunya, selalu mengajarkan jika Freya tidak mengerti dengan pelajarannya.

"Kalo udah selesai kata, Papa, kita di undang ke acara makan malam, dek."

Freya menautkan alis, "Heum ... acara makan malam?" beo Freya mencoba untuk Devan menjawab dengan lebih jelas.

Devan mengangguk. "Iya, Kakak juga ga tahu. Papa, hanya bilang kalo kita harus siap-siap buat ke acara itu."

Freya merapikan bukunya setelah selesai mencatat, "Loh, emang Papa udah pulang?"

"Iya, niat Kakak ke kamar kamu emang untuk bilang itu si."

Freya mengangguk, "Yaudah. Kakak tunggu di bawah nanti aku nyusul." Devan mengiyakan segera keluar dari kamar adiknya.

"Devan, mana adik kamu? kok kamu juga belum siap?" Gibran bertanya sambil mengenakan jas hitam kasual yang membuatnya terlihat lebih elegan.

Devan melirik pria di belakangnya, "Freya tadi ada tugas, Pa... makannya aku bantuin dia bentar. Dia juga lagi ganti baju, sekalian aku juga mau siap-siap."

"Yasudah." Devan mengangguk dan pergi untuk ke kamarnya, Gibran menaiki tangga menuju kamar anak gadisnya membawa paper bag di sebelah tangannya.

Sebelum mengetuk pintu Freya ternyata sudah siap dan membukakan pintu kamarnya, "Loh, Papa." ucapnya terkejut.

"Sayang, Papa kira kamu masih di dalem." Gibran melihat penampilan anaknya yang hanya mengenakan kemeja berlapis kaos putih dengan setelan jeans bolong-bolong.

"Kamu mau kemana?"

Freya menautkan alis terlihat bingung, "Bukannya.. Papa yang ngajak aku sama Kak Devan buat acara makan malam?"

Gibran mengangguk cepat, "I–iya. Tapi kenapa kamu pakaiannya seperti ini? apa kamu gatau? acara makan malam ini bukan hanya kita... tapi, Papa sama keluarga Ginanjar. Kamu harus terlihat anggun dong!" Gibran menyodorkan paper bag yang di bawanya tadi ke hadapan Freya, "Kamu pake ini. Papa tunggu di bawah, jangan lama-lama!"

Freya menghela napas, mengambil kain yang ada di dalam paper bag tersebut.

Matanya melotot, "What! dress? ih.. ini bukan selera gue banget, Papa kenapa si selalu maksa buat gue pake baju kurang bahan ini!" Freya hanya bisa pasrah, jika dia membantah pasti Gibran akan mengancamnya.

"Oke, kalau kamu tidak mau nurut? Papa akan masukan kamu ke sekolahan Fashion!"

Mimpi buruk bagi Freya jika semuanya itu terjadi.

Devan dan Papa 'nya yang sudah lama menunggu kini menatap Freya yang berjalan di tangga dengan mata berbinar. Sungguh Freya terlihat berbeda dari biasanya mungkin terlihat lebih... girly.

Gibran menggeleng takjub, "Nah..kalo kayak gini 'kan enak di pandang." Freya tersenyum di paksakan, menatap malas ke arah Devan yang sedang tersenyum jahil.

"Ayo berangkat, kita sudah telat banget."

Sesampainya disana Freya dan Devan turun bersamaan dari mobil, bersama dengan Gibran yang memencet bel yang berada di sebelah pintu.

"Eh..Om kirain gabakal dateng, oh iya ayo silahkan masuk."

Gibran tersenyum hangat menanggapi anak temannya tersebut lalu mengajak dua anaknya juga memasuki rumah yang lumayan besar itu.

"Pa, Ma....om Gibran udah dateng nih." Julian memanggil kedua orang tuanya yang sedang duduk di sofa, kedua pasangan suami istri itu menyambut hangat.

"Gibran. Aku pikir kamu gabakal datang." dua Papa itu saling melempar senyuman.

"Enggak lah mas, aku sama dua anak aku pasti datang...tapi maaf ya, sedikit terlambat karena tadi ada urusan sebentar."

Renald menepuk pelan bahu Gibran, "Ga pa-pa asal kalian datang aku dan keluarga senang..kita langsung saja, ya. Makanannya sudah siap sejak tadi." Gibran mengangguk sedangkan Freya dan Devan hanya diam.

Acara makan malam ini tidak ada yang menarik, terlalu membosankan bagi Freya.

"Halo sayang... ketemu lagi kita." suara lantang itu membuat semuanya mengalihkan pandangan termasuk Freya yang langsung mendongak menatap cowok yang sedang tersenyum lebar ke arahnya.

Tangan Freya perlahan mengepal menatap datar cowok brengsek yang sekarang ada di depannya.

avataravatar
Next chapter