1 The Butter Fly Cafe

STELLA!

Three days ago. Aku, Niken dan Lulu sedang makan malam di sebuah cafe (the butter fly cafe) yang menyediakan live music.

Saat sedang asyik menyantap sirloin steak, kami bertiga dibuat shock dengan kehadiran sekelompok anak punk yang entah darimana datangnya.

Aku memekik, keheranan menyaksikan apa yang sedang terjadi dipanggung Cafe.

'Oh astaga, ternyata mereka akan beraksi di panggung cafe ini!' gumamku sembari menggeleng hebat.

Sulit dipercaya!

Sontak saja kami yang notabene nya anak SMA dengan wajah imut dan girly, tentu tipe music favorite kami ialah pop or jazz, yang melow! Bukannya Rockstar yang gak jelas sedang bernyanyi atau teriak karuan memusingkan kepala menurut kami.

Entah ide siapa menghadirkan musik Rock di cafe seindah ini, menurut ku malah merusak ketenangan jiwa, belum lagi mungkin sebagian konsumen akan kabur saking bencinya, terutama kami bertiga.

Sebelum aksi para punker meledak, kami berniat menyudahi dinner kami sebelum saraf telinga kami tercemar oleh suara gak jelas cecunguk gak tau tempat itu.

Sebelum memutuskan keluar dari cafe, Niken menghampiri salah satu kasir dan membisikkan sesuatu ketelinga kasir itu.

"Tolong ubah konsep cafe Anda, sebelum semua lari karena benci!"

Begitula sikap protektif Niken yang lebih tepatnya terlalu blak-blakkan. Sebenarnya Kami bertiga sama. Namun, aku dan luy terlalu malas untuk menegur, toh kami juga hanya akan sekali kesini.

Dan sepertinya kasir tadi penasaran dengan kalimat Niken, makanya dia menghentikan langkah kami, dan sekarang kasir itu mutlak berada dihadapan kami.

"Maaf, maksud Anda benci gimana ?" Pertanyaan itu sudah keluar dari mulut si kasir lengkap dengan wajah memerah karena menahan kekesalan.

Niken hanya menatap flat kepada kasir dihadapannya itu, aku paham kenapa. Pasti itu karena Niken menganggap pertanyaan kasir itu tidak perlu diperjelas lagi. Situasi didalam cafe saat itu sudah sangat menjelaskan.

Niken melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, melewati begitu saja si kasir. Kami berduapun mengikuti. Kasir itu mematung, memanas diatas tumpuan kakinya.

Aku pikir dia tak akan melakukan apa pun lagi, sudah menerima begitu saja.

Namun, ternyata saat hendak menuju mobil, kami malah dibuat shock lagi untuk kedua kalinya oleh spesies punk kotor (julukan kami untuk bangsa punk) entah sejak kapan berada depan mobil Lulu.

Salah satu dari mereka melangkah maju mendekati Kami.

Penampilannya sama layaknya anak punk pada umumnya. Rambut yang entah terinspirasi oleh artis luar negeri siapa, makanya dibuat menjulang tinggi. Wajah yang dicoret-coret tinta hitam menambah keseraman. Pakaian yang serba hitam dan sobek disana-sini.

Saat aku menatapnya sinis , ternyata dia tidak tertarik padaku dan Lulu, melainkan pada Niken. Dia mendekati Niken berdiri semeter dihadapan Niken, aku dan Lulu menatap bingung apa yang akan dilakukan anak punk itu pada Niken.

"Lo punya masalah dengan musik kami?" tanya si lelaki punk itu pada Niken dengan nada emosi.

Niken lagi-lagi hanya membalas tatapan anak punk itu dengan flat dan sangat santai tanpa menjawab.

"Hey!" bentaknya dan dia segaja mendorong sedikit bahu Niken sekedar ingin menyadarkan Niken yang mungkin pikirnya Niken sedang menghayal.

Jelas saja dia akan berasumsi demikian, aku dan Lulu saja terkesiap melihat ekspresi Niken saat itu.

Berbeda dengan Niken yang menerima respon dari sentuhan tadi, Niken malah membalas lebih kuat. Hingga pria dihadapannya itu tersungkur ke aspal. Aku dan Lulu spontan melotot.

"Apa yang dilakukan Niken? bagaimana kalo para pengawal dibelakang mendekat dan menyerang kita, yang hanya bertiga dan masih sangat imut untuk menerima kepalan tinju dari mereka?" bisikku pada Lulu merasa cemas.

Dan benar saja, semua mendekat dan menatap sinis pada kami bertiga terlebih pada Niken, lalu di angkatnya pria yang tadi tersungkur.

Pria tu semakin geram pada Niken. Ditariknya kerah baju Niken dengan kasar lalu mendorong tubuh Niken hingga ambruk diatas aspal.

Niken meringis merasakan bokong-nya yang terseret ke aspal. Ada luka dikedua telapak tangannya karena usahanya menyeimbangkan dudukan-nya saat mendarat ke aspal.

Aku dan Lulu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi barusan dihadapan kami, lalu dengan cepat Kami mengangkat Niken, membuatnya berdiri sejajar dengan kami.

Kami pun berusaha menenangkan Niken, yang tentu lebih dari sekedar shock.

"Mana bisa sekelompok anak punk ini berlaku kasar pada wanita. Seolah akal pikiran mereka sudah kesetanan." bisikku pada Niken dan Lulu sembari menatap para punkers itu satu-persatu.

Kemudian aku kembali melototi pria yang tadi mendorong Niken "Lo gak waras !!" caciku.

"Temen lo yang gak waras!" balas pria setan tadi yang disebelahnya sudah berderet kawan-kawannya.

Semakin geram melihat mereka yang tidak sadar diri itu, ingin sekali rasanya aku menimpali mereka dengan sepatu heels milikku yang tingginya ada 7 cm, kalo kena kepala mereka bisa-bisa bocor, hanya saja aku harus lebih sabar sebab menghadapi mereka yang begitu banyak dan hampir semua lelaki, tidaklah mudah.

'Bagaimana jika mereka nekat, dan menculik kami lalu membuang kami ke jurang? oh tidak. itu sangat menyeramkan!' batinku lalu secepatnya menepis pikiran aneh itu dari kepalaku.

" Sakit Jiwa lo semua!" bentakku. Akhirnya itu yang bisa aku ucapkan sebagai pelampiasan kekesalanku pada mereka.

Sedang mereka tidak bergeming. Sama sekali masa bodoh dan terus menghalangi langkah kami. Padahal kondisi Niken saat ini sangat lemah, Niken butuh diobati.

"Lo semua kenapa menghalangi kami , huh? minggir kami mo lewat!" aku teriak meminta mereka untuk segera menyingkir.

Namun, mereka tetap kokoh dengan pendirian mereka untuk tidak melepaskan kami.

"Karena lo bertiga udah menghina musik kami, and temen lo yang sok kepedean itu terlalu bangga dengan selera musiknya, sampe menghina musik orang lain, jadi kalian gak akan semudah itu bisa bebas. Paham?!" Ucap pria kesetanan itu.

"Sorry, lo salah paham dan tolong biarkan kami pergi. Temen gue butuh obat sekarang!" ucapku, lalu mencoba melangkah melewati sekelompok punkers itu dengan menggandeng lengan Niken diikuti Lulu dibelakang.

Namun, nihil kami sepertinya tidak akan lepas begitu saja, sebab mereka malah semakin menghalangi langkah kami.

Niken yang daritadi meringis kesakitan mendorong bahuku. Memintaku untuk terus melangkah maju.

"Please kami mau lewat. Biarkan kami pergi. Ini tidak fair! bagaimana mungkin kalian melawan kami yang masih anak SMA dan wanita." ucapku sedikit memelas.

'Demi keselamatan Niken!' batinku.

"Lo tau, lo wanita tapi gak mikir saat ngomong, ngaku sekolah, tapi mulut gak disekolahin. Bilang ke temen lo itu jangan belagu kalo lemah !" bentak salah satu dari mereka dan dia wanita. Dia wanita yang paling terlihat menyeramkan diantara kedua wanita punkers lainnya.

Dan entahlah, apa motivasi ketiga wanita itu, hingga memutuskan bergabung kedalam geng punk menjijikan itu.

Niken yang mendengar perkataan wanita punk itu tentu tersinggung. Namun dia hanya membalas dengan tatapan sinis, seperti kebiasaannya.

"Temen gue udah kesakitan! Kalian mau pindah atau mau kami lapor kepolisi!" Kini Lulu yang mencoba meloloskan diri dengan sebuah ancaman. Yang pastinya akan berhasil menurutnya. Tapi bagaimana dengan mereka yang begitu modelnya. Apakah mereka akan takut dengan polisi? atau bahkan tidak sama sekali!

Dan benar dugaan ku. Mereka tidak takut! Bahkan saat itu, mereka semua lebih mendekat. Seperti menantang kalimat ancaman Lulu. Kami bertiga sedikit mulai ketakutan.

Kami saling tatap, dan tentu berharap ada seseorang yang akan menolong kami.

Dan benar, saat kami mulai memikirkan untuk melarikan diri, tiba-tiba, salah satu anak punk keluar dari cafe dan mendekat.

Kami bertiga memerhatikannya seksama. lalu kami saling tatap. Kami menyadari satu hal, bahwa ternyata, laki-laki punk yang baru saja hadir itu adalah vokalis dari band yang tadi perform didalam. Alias salah satu dari personil punkers yang menghalangi kami ini.

"Apa yang terjadi?" tanya pria yang baru saja keluar itu.

"Kalian sudah menghalangi gadis-gadis ini dan membuat kacau tempatku!" lanjutnya terlihat marah.

Pria yang memiliki wajah tampan dan bertubuh tegap itu, kini mulai memerhatikan kami bertiga. Matanya terkunci pasda Niken, ditatapnya Niken dengan rasa penasaran. Ia menyeringai, melihat siku Niken yang tergores dan pakiannya yang terlihat kotor.

"Kalian apakan gadis ini ?" tanyanya lagi kepada kawan-kawannya. Namun karena takut tidak satu pun berani memberikan jawaban apalagi penjelasan.

Semua menjadi panik, dan melihat kepanikan kawan-kawannya, pria itu sepertinya mengerti apa yang baru saja terjadi, dan tanpa banyak bicara lagi, dia menyuruh semua anak punk yang sama sepetinya enyah dari tempat kami sekarang.

Dan beberapa detik saja mereka sudah lenyap, tidak satu pun tersisa. Kecuali dia dan kasir. Kasir itu malah berbisik ketelinga pria itu. Namun, tanpa balasan pria itu hanya terdiam dan kembali memperhatikan kami satu-persatu. Mungkin sekedar memeriksa apa ada lagi selain Niken yang terluka.

"Pergi dan bawa temanmu ke rumah sakit. Ini kartu nama milik ku, dan kebetulan cafe ini milikku. Memang berkonsep klasik. Namun, musiknya rock. Kalian sepertinya baru sekali ketempat ini. Makanya gak tahu konsep live music kami. Maaf sudah merusak indera pendengaran kalian. Kalo sudah diperiksa, kirim tagihannya ke alamat dikartu nama itu, nanti aku akan menebusnya. Itu tanggung jawabku." terangnya.

Semua penjelasan pria bertubuh tegap itu membuat kami bertiga diam menganga. Sulit dipercaya, selain tampan dan pemilik cafe, pria punkers tampan dihadapan kami itu ternyata sangat terdidik. Ia bisa dengan bijak membedekan bagaimana cara berkomunikasi dengan orang-orang seperti kami.

Bahkan, caranya berbicara pun begitu sopan, sungguh berbeda jauh dengan kawan-kawannya yg super aneh itu.

Dan sepetinya aku melihat ada rasa diantara sela-sela tatapan mata Niken pada pria itu.

'There is something!" gumamku.

"Baiklah kami akan pergi sekarang." ucapku pamit pada pria itu.

Dan beberapa menit kemudian kami sudah meninggalkan cafe kutukan itu.

****

avataravatar
Next chapter