8 Mas Pras

Ditempat lain. Bandung!

Niken sedang bersama keluarga besarnya, di Sebuah Hotel berbintang Lima Bandung. Seperti izin sebelumnya pada Stella, niken menghadiri Pesta pernikahan saudaranya.

Ditengah keramaian gedung Resepsi, Niken bertemu sosok yang sama sekali takkan pernah di duga akan bertemu seperti itu ditempat seramai itu. Dan diluar Kota Jakarta pula. Jakarta Kota yang seharusnya dipertemukan sebagai asal muasal pertemuan mereka.

Niken dihampiri oleh seorang wanita paruh baya, sepantaran Ibunya.

Wanita itu terlihat begitu akrab, menatap Niken bersahabat. Bibirnya selalu mengembangkan senyuman, perlahan melangkah mendekat pada Niken.

Tanpa kedipan mata Niken seperti sudah tersihir oleh Pria yang berada disebelahnya.

'Dimana semua tetebengek yang tempo hari dia kenakan, riasan aneh ala punk yang membuatnya terlihat kucel?'

Itulah yang ada dibenak Niken saat itu!

Oh Tuhan bertambah sudah velue pria dihadapan Niken seketika!

****

NIKEN!

"Niken.." sapa seseorang padaku.

Aku terperanjat, kaget oleh sapaan itu. aku menoleh sekilas, dan melihat seseorang yang ku kenali.

Aku memutar tubuh, berbalik arah. Menatap wanita paruh baya itu lekat. tak lupa mengembangkan senyum, membalas senyuman beliau.

"Eh tante Ira" ujarku sedikit berteriak, sebab aku lumayan berjarak dengannya..

Beliau pun menghampiriku, aku menanti dengan sabar.

Setelah berhadapan, aku dengan cepat mengulurkan tangan, hendak mencium pungguk tangan Wanita paruh baya itu.

Beliau pun menerima uluran tanganku dengan sigap. Lalu mengelus pelan bahuku ketika aku menyalaminya.

"Tambah geulis aja Neng!" ucap beliau memuji, aku tersenyum senang.

"Oh iya kamu sama siapa?" lanjutnya

"Makasih tan, aku sama Ayah dan Ibu" ucapku di jawab dengan anggukan paham oleh Beliau---lalu aku menoleh pada pria yang berdiri disebelahnya.

Pria yang telah membuatku tergila-gila beberapa hari lalu. Lebih tepatnya, Masih kugilai!

Sulit ku percaya! Tante Ira menghampiriku bersama seseorang yang begitu ingin ku temui beberapa hari lalu.

Aku menatapnya, penuh harap!

"Ini loh Niken, anaknya Jeng Erna." ucap tante Ira mengenalkan ku pada pria tampan disebelahnya.

Pria itu mengangguk pelan, mengerti. lalu Ia menoleh padaku. Aku menggigit bibir bawahku---salah tingkah!

Kalo saja, aku tahu Tante Ira ada hubungannya dengan Pria punk itu. Aku tidak akan sepesimis itu dihadapan Stella dan Lulu. Sampai memikirkannya sepanjang hari, membuatku begitu galau!

Setelah memperkenalkan kami---dengan santai Pria itu melempar senyum sapa hangat padaku.

"Hi. Salam Kenal. Anaknya tante Ira." ucap Pria itu sembari mengulurkan tangan ke hadapan ku.

Aku merasa kikuk, bingung harus sebut pria itu apa! apakah, Mas, kang, A'a atau bang???? benar-benar membuatku hilang control.

Finally, aku hanya menerima uluran tangan pria itu sambil menyebut pelan namaku. "Niken."

Ketika tanganku berjabat dengan tangannya, serasa ada energi yang menyelusup masuk dari telapak tangannya ke jari-jemariku.

Aku semakin dibuat grogi!

Aku menarik pelan tanganku, untuk lepas darinya. Aku merasa Ia terlalu lama menjabat tanganku.

Ia menatapku dengan senyuman menggoda!

'Benar-benar Pria Tampan penggoda!' gumamku.

"Oh iya Pras, mama ke dalam dulu sebentar yah.. Kamu temanin aja dluh Niken. Kasihan dia sendiri." timpal tante Ira membuyarkan lamunanku, lalu pamit pergi begitu saja melaluiku.

'Pria itu namanya Pras. Prasetyo Hardiman. Anak tante Ira dan Pak Hardiman. Saudara dekat Bokap gue. Gila. Sekecil ini kah duniaku?!' Batinku sulit mempercayainya.

Benar-benar seperti sebuah skenario bukan??? Yah memang benar Skenario, Skenario terhebat Dari Sang Pencipta!

Setelah tante Ira meninggalkan kami berdua. Kami tak saling tegur. Aku hanya sibuk memegangi gelas minum, sedang dia sibuk memainkan handphone.

Entah siapa yang sedang sibuk dia chat!

"Mas. Pras"

"Niken." ucap kami bersamaan!

Pembukaan percakapan yang seharusnya tidak terjadi padaku dan Pras. Terlalu seperti sinetron pikirku---mau bagaimana lagi itu yang terjadi. Terpaksa aku cuman menyunggingkan senyuman yang kemudian dibalas oleh Mas Pras.

"Mas pras duluan aja ngomong." ujarku dengan nada sesopan mungkin.

Mas Pras terdiam sejenak, menundukan kepalanya ke bawah untuk berpikir, lalu kemudian mengangkatnya kembali.

"Emm. Kok kayak pernah ketemu, Apa mungkin karna sering ketemu pas kumpul keluarga yah.." Ujar Mas Pras dengan halis terangkat sebelah.

Aku mengernyit "Mungkin kali yah bang" jawabku.

'Tadinya gue pikir dia mengingat pertemuan di cafe itu, dijakarta ternyata gak. Sebegitu tidak pentingnya kah gue?? atau sebegitu biasanya kah wajah gue sampai dia begitu saja lupa!" gumamku jengkel.

"Ngerasa pernah ketemu gak kita?" Tanyanya lagi dengan wajah serius.

Aku mendengus, kesal "Hmm.. maybe yah Mas." Jawabku malas sebab masih sedikit kecewa atas kelupaannya terhadapku.

Ia menelan ludah, berpikir sejenak "Eh kamu masih Sekolah?" tanyanya kemudian berbasa-basi.

Aku mengangguk "Iya Mas. Kelas tiga" ucapku.

Matanya mengerjab ,kagum "Ohh astaga mudah sekali kamu!" katanya memuji.

Aku melongo 'Yaampun kenapa pria ini berbicara seformal ini, dimana pula disimpan tetebengek yang dia gandrungi itu.' batinku kagum.

"Mas Pras Kerja?" tanyaku.

Pertanyaan bodoh tapi sudahlah basabasi toh dia juga lupa siapa aku!

"Aku kuliah semester akhir, Tapi udah buka usaha di Jakarta." Terangnya. Aku hanya berpura-pura mendengarkan. Padahal tanpa diperjelas, aku sudah tahu sendiri.

Aku mengembangkan senyum "Oh aku juga dari Jakarta Mas." Kataku ikut basa-basi.

Matanya menatapku lekat "Ohyah really---Wow. Jadi kamu juga tinggal di Jakarta?" tanyanya antusias. lebih dariku.

Sekarang Mas Pras terlihat lebih santai dari sebelumnya---kedua tangannya Ia masukkan kedalam saku celana.

And I like it!

"Iya Mas." Jawabku dengan wajah tersipu malu.

"Wah wah wah. Ketemu malah di Bandung Kita." Ujar Mas Pras dibarengi tawa kecilnya.

Tentu Ia sama sepertiku. Merasa takjub!

Pertemuan kami sebuah skenario hebat dari Sang Pencipta!

"Itu juga maksud gue daritadi." Ujarku keceplosan.

"Apa?" Mendengar kalimat itu Mas Pras mengerutkan dahi---isyarat ketidakmengertiannya.

"Ohh. Enggak Mas." sangkalku.

Secepat mungkin aku membanting stir, berbelok ke pembicaraan lain. Aku malah tersenyum padanya. takut ketahuan kalo sebenarnya aku sudah sejak awal menggilainya.

'Astaga hampir saja gue mempermalukan diri gue' batinku membodohi diri.

"Kapan tiba di Bandung ?" tanyaku kepadanya.

"Baru aja" jawabnya. "kalo kamu?" lanjutnya bertanya balik.

"Baru aja Mas. Langsung kesini." Jawabku merasa legah lengkap dengan senyum dibibirku.

"Ohyah. Sama dong." ucapnya.

Dia membalas senyumku dengan senyum yang lebih lebar dan untuk hal itu aku mengutuknya karena buatku semakin terlihat kikuk.

"Kapan balik Jakarta?"

Dia bertanya lagi.

"Besok, mau UAS!" jawabku.

"Oh iyah. Semangat loh UAS sampe UN nya." Dia menyemangatiku.

Aku tersenyum "Makasih Mas." ucapku.

"Eh nanti kapan-kapan main ke cafeku, yah " ajaknya.

Aku mengangguk bersemangat "Boleh Mas." jawabku yakin.

"Nanti aku jemput. Handphone mu mana."

"Ini." ucapku dan Belum terangkat penuh handphone ku diatas meja. Mas pras sudah merampasnya.

"Gak ada passwordkan?"

Tanpa perduli jawaban ku---dia sudah mengetikkan nomor handphonenya di kontak ku. "Nihh jangan lupa send messege. Biar aku tahu itu kamu." Setelah yakin nomornya benar Dia mengembalikan Handphone itu padaku.

Aku meraih handphone itu darinya. "iya, ntar ku wa" jawabku.

Mas Pras menyeringai, buatku gregetan.

"Aku kedepan boleh yah" Pamitnya kemudian.

Aku tidak menjawab hanya memberikan anggukan singkat---dia berlalu---Aku gak tahu harus berkata apa. Aku hanya melihat punggung pria itu semakin jauh---hilang dari kerumunan orang dalam gedung.

Ingin rasanya aku segera balik ke Jakarta, memberitahukan berita baik ini pada Stella dan Luysa.

Juga menemui Mas Pras di Cafe, sesuai permintaannya.

Aku jadi tidak menyesal batal ke Butter Fly Cafe waktu itu---sebab kini aku malah akan kesana dengan alasan yang lebih tepat.

Pemiliknya langsung yang mengundang ku---Pria yang ingin sekali aku temui.

Pria yang mengubah cara pandang ku tentang geng punk yang dahulu tidak ku sukai bahkan ku benci.

Tidak ku sungka kini aku kalah terpesona dengan salah satu dari bangsa mereka (punkers).

avataravatar
Next chapter