3 Galih si posesif

STELLA!

Aku menatap Galih menghampiriku diteras rumah dengan langkahnya yang begitu percaya diri

"Hi." Sapanya, seolah kemarin baik-baik saja, aku mendengus, diam tidak menjawab.

Galih mendekatiku, tersenyum lalu memelukku erat.

Mengisyaratkan rinduhnya!

Aku hanya tersenyum getir "Kok kesini ?" tanyaku tanpa membalas pelukannya, sengaja menahan diri agar tak ikut larut dalam pelukannya.

Perlahan Galih melepaskan pelukannya, lalu Ia menatapku lekat "Kenapa kaget, lagian lo rapi mau kemana, huh?" tanyanya sinis.

Aku memutar bola mataku malas, mendengar kekepoan nya "Ada janji..." jawabku ketus.

Galih menghela napas sebal "Oh selama gue gak kesini, lo jalan sesuka hati lo gitu, iya?" tanyanya menuduhku.

Aku mengernyitkan dahi, heran mendengarnya menuduhku, dia saja baru hari ini menemuiku.

"Lo sendiri kemana aja, huh? Seminggu gak ada kabar! " tanyaku sarkas.

Tak ingin disalahkan, aku balas bertanya padanya.

Galih mengubah tatapannya. Seketika Sorot matanya menjadi senduh. Sepertinya ia sadar akan kesalahannya sekarang "Gue sibuk" jawabnya lalu merangkulkan tangannya kepundak ku.

Aku menarik pelan tubuhku, membuat rangkulan tangannya terlepas dari pundakku.

"Percaya gue, kan stel?" tanyanya lagi dengan tatapan penuh arti. Entah dengan arti memohon maaf atau ingin tak disalahkan!

Aku bergidik "Maybe No" ucapku ketus.

Aku Marah dengan pernyataannya, tentangku yang suka keluar.

'Dia pikir gue kantip apa, sampe keluar jalan tiap malam buat patroli maling.' gumamku meliriknya kesal.

"Gue jujur Stella, believe me. Ok!" Ucapnya.

"Ohyah??" ucapku menjawabnya sinis. Kemudian aku malah sibuk memerhatikan ponselku. menunggu whatsapp dari Niken.

Melihat ku yang acuh dan sibuk memainkan ponsel. Galih kesal dan merampas ponselku kasar.

Aku terhentak, kaget dengan ia yg merampas ponselku "Kenapa merampas ponselku ?"tanyaku ketus, lalu aku mencoba mengambil kembali ponsel itu dari tangan galih, tapi Galih memegangnya sangat kuat membuat ku tak bisa dengan mudah mengambilnya kembali.

Perlahan aku melangkah mundur!

Dan Galih menahanku, dengan mencengkram lengan ku erat "Lo lihat gue kesini buat lo, dan lo malah kayak gitu!" Protesnya dengan napas berderuh.

Mendapati perlakuan Galih yang berubah kasar, aku menelan ludah gugup, aku takut. Lihat saat aku menatap manik matanya dan aku tidak menemukan cinta disana. "Lo keterlaluan!" teriakku.

"Lo yang keterlaluan" bantahya dan sekarang Galih malah menarik lenganku makin keras dan kasar.

"Sakit galih." eluhku kemudian melepaskan cengkramannya. Dia ikut terdorong.

Galih mendengus kesal "Lo dengerin gue dulu makanya." bentaknya frustasi lalu memegang rahangku dengan tangan kanannya, memaksa aku untuk menatap matanya.

"Iya gue dengerin." ucapku lalu mendongak menatapnya dan detik berikutnya Galih kembali mencengkram lenganku.

Entah kenapa, setelah aku membalas tatapannya, ia terlihat semakin marah.

Aku mendelik "Lagi?" tanyaku kesal mendapati perlakuan yang sama.

'Pikirnya ini tidak sakit apa! Seenaknya mencengkram lengan orang!' batinku mengutuk perbuatannya.

Galih menatapku nanar "Duduk!" pintahnya menuntut dan aku pun reflek terduduk seperti sudah terhipnotis olehnya. Sampai begitu saja mengikuti perintahnya.

"Lo mau kemana?" tanyanya ketika mataku dan matanya saling bertemu.

Aku diam, tidak menjawab, hanya menatapnya

" Jawab gue stella !" bentaknya kesal.

Aku membuang muka, kesal padanya yang terus mengintimidasi ku, "Dinner sama Niken dan Lulu, PUAS!" ucapku balas membentaknya setelah kembali menerkamnya dengan sorot mataku yang penuh amarah.

Galih memukul keras meja, melampiaskan amarah "Gak ada, lo gak boleh kemana-mana malam ini!" pintahnya menuntut ku.

Malam ini kami benar-benar seperti pasangan normal pada umumnya. Bertengkar, beradu argumen, saling tanya kesibukan, bahkan cemburu! Padahal selama dua bulan pacaran, kami tidak pernah melakukan hal semacam ini, apa ini yang dinamakan cinta?

Apa aku mulai mencintai Galih, dengan menuntutnya punya waktu lebih untuk ku?

Atau Galih yang kini mulai mencintaiku, dengan cemburu padaku?

Aku memikirkan hal semacam itu sekarang, dan bukankah itu bukti, bahwa hubungan kami mulai ketahap serius? bukan sekedar soal bisnis. Seperti yang selalu aku dan Galih kumandangkan 'SIMBIOSIS MUTUALISME!'

Aku memekik " Are u seriously? " teriakku dengan mata melotot sempurnah.

Galih tidak menggubrisku, ia malah beranjak dari kursi lalu menarik pergelangan tangan kiriku, memaksa ku masuk kedalam rumah.

Aku mencoba menolak, berusaha melepaskan diri darinya. Namun, Galih terus kekeuh dengan maunya, hingga menarik paksa tangan ku.

"Masuk !" pintahnya saat diambang pintu, dengan nada memaksa.

Seketika aku refleks memegang gagang pintu kuat hendak menahan diri, namun sayang percuma Galih menarik lengan ku begitu kuat yang membuatnya berhasil menuntunku masuk kedalam rumah.

Meskipun aku dan Galih status pacaran namun kami tetap menggunakan bahasa formal. Menurut kami itu harus.

Toh juga apa bedanya?

Mungkin karena hubungan kami bukan didasari oleh cinta melainkan rasa penasaran!

Atau lebih tepatnya aku yang inginkan sesuatu dari Galih dan Galih yang terobsesi oleh ku, yang menjadi primadona cerdas sekolah.

***

Aku sekarang duduk di kursi ruang tamu dan Galih duduk jongkok dihadapan ku dan ini sedikit membuat risih.

Galih menggenggam kedua tanganku erat "Lo kenapa jadi posesif gini, kita kan sepakat, gue sibuk dan lo jugakan sibuk dan malas tau sama hubungan kita. Kenapa sekarang lo jadi ngatur-atur sih..." tanyaku.

Galih mengelus lembut pungguk tanganku "Lo cewek gue stell, makanya itu lo harus nurut sama gue !" katanya dengan mulai mengurangi volume suaranya.

Saat itu rasanya aku ingin sekali melepaskan genggaman tangannnya. Namun, Galih terus saja bertahan dan enggan melepaskanku. Malah, sekarang Galih pindah duduk dikursi menghadap ku.

Galih memegang kedua pipiku, menatap lekat manik mataku. Tatapannya dingin. aku memejamkan mata seolah mengerti apa yang akan terjadi. Sampai suara klakson terdengar.

Aku perlahan membuka mata dan melihat Galih bangkit dari kursinya. Tanpa bertanya Galih melenggang keluar, dan aku bergegas mengikutinya.

***

GALIH!

"Stella gak bakal ikut." ucapku pada Niken dan lulu yang sudah berada diteras rumah Stella. Aku sengaja mengatakan itu agar mereka batal pergi.

Mendengar perkataanku itu, aku pun sadar jikalau Niken dan Lulu pasti akan merasa kesal.

Aku hanya bisa melihat mereka dengan diam!

Seperti permintaanku, akhirnya Niken dan Lulu memutuskan untuk membatalkan dinner malam ini di cafe itu. Mereka tahu jelas situasi saat ini. Niken dan Lulu akhirnya pamit masuk ke dalam rumah Stella.

Aku mengekor, ikut masuk!

"Nik, kalian kekamar aja." ucap Stella yang melihat kedua sahabatnya itu sudah berada diruang tamu.

"Iya stell." jawab Niken dan mereka berdua melenggang menuju kamar Stella dilantai dua, sedang Stella melenggang menuju pentry meninggalkan aku diruang tamu.

Setelah keduanya benar-benar menghilang dilantai atas, aku kembali menemui Stella di pentry.

"Lo jangan macem-macem, lo itu punya gue !" Kataku setelah duduk di salah satu kursi meja bar disebelah Stella.

Stella melirikku sekilas "Punya lo, tapi kita udah sepakat untuk membatasi hak, kan ?" jawabnya sinis.

"Ngertiin gue dong Stell sebagai pasangan lo.." aku merajuk ke Stella, Aku sadar betul bagaimana Stella sedaritadi sudah merasa malas dengan sikapku.

"Gak ada yah, kita udah sepakat !" bantahnya dengan manik mata yang begitu kelam.

"Hubungan kita sebatas simbiosis mutualisme, right?!" lanjutnya kemudian beranjak dari kursi hendak pergi.

Aku menahannya "Tunggu Stell" cegahku meski dengan perasaan seperti tercabik-cabik oleh kalimat terakhirnya!

Kalimat yang akan menyakitkan buat siapa saja yang mendengar. Sama halnya dengan aku yang sekarang sudah terlihat sangat emosi. Sehingga membuatku reflek menarik kuat pergelangan tangannya!

"Lepasin tangan gue sakit !" teriaknya sembari melepaskan cengkraman tanganku.

Aku menatapnya memanas "Gue mau lo ikut gue sekarang Stel!" Kataku menuntut.

Stella membelalak, kaget akan perlakuanku, aku tahu itu "Gak, Niken ama Lulu udah disini gak mungkin gue tinggalin" tolaknya lebih menuntut.

"Suruh mereka balik aja!" pintahku. Stella hanya acuh tak bergeming.

Lalu aku melirik kanan-kiri, mencari-cari keberadaan siapa pun dirumah ini. Namun, aku tak menemukan siapa pun, bahkan suara kucing pun tak pun menyadari sesuatu, kesunyian dirumah ini.

Aku menatap Stella "Mana bokap?" tanyaku ingin memastikan kalau pikiranku benar. Bahwa sedang tidak ada siapa pun dirumah ini. Selain aku dan kedua sahabatnya.

Stella menggeleng lemas "Gak ada." jawabnya lalu ia tertunduk kesal.

Aku tahu, pasti ia benci pertanyaanku. Pertanyaan tentang Pak Killey, bokapnya memang selalu sensitif buatnya.

Entah kenapa, setelah dua bulan lalu, ia menjadi sedikit berbeda. Aku tahu orangtuanya bercerai, tapi aku tidak tahu alasan kenapa orangtuanya bercerai.

Aku tidak tahu setelah dua bulan itu, setiap aku bertanya tentang, papah dan mamah nya, ia tidak pernah menjawab ku. Ia selalu berusaha menghindar, pura-pura tidak dengar atau banting stir ke persoalan yang lain.

Padahal aku tahu, kalo Ia masih sering bertukar kabar dengan Mamah nya di Ausy dan juga tinggal bersama dengan Papah nya di Jakarta.

Lalu kenapa, ia selalu membenci pertanyaan tentang dimana kedua orangtuanya?

Ah ENTAHLAH!

Keningku berkerut, bingung "Kemana?" tanyaku penasaran, berharap kali ini Stella mau menjawabku.

Stella menatapku nanar dengan helaian napas panjang "Bokap, balik kerumah Mrs. Tania." ungkapnya.

Aku mengernyitkan dahi, bingung. " Mrs Tania? who's She?" tanyaku.

"My stepmom!" jawabnya.

"Plis, dont asking me now!" lanjutnya tidak ingin aku bertanya lebih.

Aku hanya bisa terbelalak, sama sekali tidak tahu menahu tentang semua itu. Namun, aku juga belum berani bertanya lebih jauh.

Aku sadar, selama ini aku dan Stella terlalu berbatas. Hal-hal privat memang jarang kami berbagi.

Aku menatapnya "Lo sendiri dirumah ?" tanyaku akhirnya, mencoba berdamai dengan hati Stella yang semakin gusar.

Stella mendengus "Yeah..." jawabnya.

"Kok lo gak pernah bilang, sejak kapan ?" tanyaku lagi, merasa Iba melihat Stella. Ia sangat terlihat tersiksa.

Dan Lagi-lagi hanya bisa menahan rasa ingin tahu ku!

"Dua hari lalu" jawabnya acuh.

Aku menggenggam erat tangannya "Honey, lo gak ada ART dirumah kan? gue temenin yah." tawarku mencoba menarik perhatiannya kembali.

Stella menggeleng "Gak usah , Niken ama Lulu udah ada disini."

Aku memicingkan mata menatapnya penuh harap "Mereka suruh balik aja, biar gue yang temenin!" pintahku.

Stella kembali menggeleng kuat "Apaansih, mana aman gue sama lo berdua dirumah." ucapnya sembari bangkit dari kursi.

Aku pun ikut bangkit "Astaga, gue gak bakal macem-macem kok. Yaudah kita bareng mereka juga gak apa." pintahku lagi, masih berharap.

Dan kini Mata Stella menjadi berkaca-kaca "Tapi gue yang gak mau galih. Udah deh lo balik aja. Gue sama Niken dan lulu dah cukup!" tolaknya dengan suara sedikit terisak.

"Stella sayang, gue cowok lo, gue khawatir " kataku lalu menatap lekat manik mata Stella, aku melihatnya ibah---perlahan aku mendekatkan diri ingin mengecupnya---namun Stella berpaling menghindariku.

"Udah yah. Kalo lo masih mau kita baik aja. Lo balik sekarang!" ucapnya tegas seraya memalingkan wajah.

Relationship yang aku jalanin sama Stella memang benar, semata Simbiosis Mutualisme , awalnya aku yang hanya mengirim paket hadiah mahal kerumah Stella dan menyuruh sopir pribadiku anter jemput Stella, kalo aku tidak sempat, karena sibuk dikantor bantu bokap.

Meskipun baru 17 Tahun, aku sudah dipercayakan oleh bokap untuk mengurus perusahaan properti yang terkenal besar di seluruh Indonesia bahkan diluar mencakup ASIA.

Dan aku tidak tahu akhirnya sikap asliku kelihatan sekarang. Posesif! Itu membuatku takut, tak ingin Stella minta PUTUS!

***

avataravatar
Next chapter