webnovel

Bab 4: lantai 0 (2) Maze

Tidak ada matahari, bulan, dan jam. Aku bersandar pada dinding, tidak jauh dari jasad yang nasibnya sudah mengenaskan itu. Menghela napas seberat yang aku bisa, menatap sekeliling tempat ini yang seperti nyaris tidak ada jalan keluar. Kalau tahu begini, harusnya aku rampok wanita tua itu ketimbang berbasa-basi perihal pertukaran yang tidak setara seperti ini. Dia enak tinggal duduk manis dengan suami baru beserta anak satunya lagi. Kalau tidak salah namanya Shima, bukan? Aku tidak tahu artinya, tapi rasanya seperti aku ingin memukul tepat di wajahnya.

Gema suara yang mengerikan itu kembali terdengar. Aku mulai berdiri dengan kedua kakiku yang mati rasa, seperti ingin tumbang setiap saat. Tampaknya ... tidak ada jalan lagi selain melawan mahluk mengerikan itu. Kalau tidak melawan aku pasti akan kehabisan tenaga saat berlari di tengah jalan, terjatuh dan dimakan hidup-hidup. Mengeluarkan pedang katana pemberian wanita itu, aku bersiap-siap. Masa bodo dengan sikap seorang samurai yang seharusnya, kuda-kuda atau cara menggenggam pedang ini dengan benar. Karena rasanya semua itu tidak diperlukan ketika nyawamu di ujung tanduk.

Tepat saat salah satu mahluk mengerikan itu ada di depan wajahku, aku menggunakan pedang katana ini dan membelahnya menjadi dua. Begitu pula dengan yang lainnya, walau mereka kupikir tidak seberuntung mahluk yang kutebas tadi. Mengayunkan pedang ini berkali-kali, dan membuat tubuh mahluk-mahluk ini nyaris seperti bawang merah yang dipotong tidak beraturan. Aku menghela napas lega begitu beberapa ekor setelahnya kabur dari pandanganku. Tidak apa, percuma juga membuang-buang tenaga untuk membunuhnya.

Tiba-tiba sebuah jendela pemberitahuan muncul di hadapanku. Beruntung sedari awal, tulisan yang ada di jendela berbahasa inggris, bukan bahasa Jepang atau sejenisnya. Menyebalkan memang kalau itu terjadi. Tulisan di jendela itu menyebutkan kata 'Selamat karena berhasil naik level 6.'

Setelahnya aku membuka jendela status, angka di kotak Hp bertambah 10 digit, begitu pula dengan '*Attack,*' '*Speed,*' dan lainnya yang masing-masing naik 5 digit. Kecuali kotak Qi yang masih saja menunjukkan angka 0. Menyebalkan memang melihatnya, tapi itu tidak masalah ... karena sedari awal keberadaan Qi ini tidak ada pengaruhnya sama sekali buatku. Menghela napas, aku memutuskan untuk lanjut mencari jalan keluar dengan berjalan santai. Berharap kalau sudah keluar dari tempat mengerikan ini, aku bisa keluar mencari anak itu, dan segera meminta imbalan.

Tunggu, sial ... Aku lupa menanyakan nama lengkapnya. Tapi ... yang jelas, nama belakangnya Yashasiro ... sama dengan nama adiknya. Shima Yashasiro. Semoga saja tidak ada orang yang bernama belakang sama di menara aneh bin ajaib ini.

"Wah ... kukira cuma ada kami berlima yang ada di lantai Maze ini?" ucap suara berat yang tidak kukenal di belakangku.

Aku menatap ke sumber suara, seorang pria tua berotot yang sedang membawa senapan entah jenis apa aku tidak tahu. Satunya lagi membawa pedang yang tidak berguna seperti yang aku lihat di jasad orang yang sudah mati, hanya saja yang ini perempuan mengenakan pakaian pastel khas pinky. Sementara itu sisanya tidak kupedulikan keberadaannya, selain tidak mencolok aku juga sedang malas untuk berurusan dengan mereka.

"Eh ... Tunggu kak, tampaknya dia orang Asia tenggara. Lihat saja kulitnya, duh ... Coklat banget. Eh maaf yah ... Bukan maksudku jelek-"

"Kamu berkata soal kulit saja maksudmu sudah jelek, lacur," ucapku memotong omongan gadis berpakaian pinky pastel itu. Haruskah aku berlari lagi? Mengingat sekarang, entah kenapa tenagaku kembali pulih setelah naik level.

Gadis itu lantas berteriak, "Heh sadar diri kamu!"

"Biarin, ble ..." aku menjulurkan lidah. "Lagian kalau menghina, harusnya kamu siap dihina juga."

Tepat ketika aku berkata demikian, tiba-tiba pria yang besar itu mengangkat senjata dan siap menembakku. Aku berdecih kesal, lantas berlari secepat yang aku bisa sekarang. Tepat saat aku berbelok ke arah jalan lain, sebuah suara menggema di telingaku. "Kejar wanita sialan itu! Dia pasti punya senjata yang berguna!"

Oh, berarti sejak awal kalian memang ingin pedang Katana ini? Dasar, sekelompok orang (entah Korea, Jepang, China) yang memalukan. Tapi aku juga tidak heran, mereka pasti juga ingin hidup dari tempat yang mengerikan ini. Hanya saja mereka tampaknya pasti memegang prinsip 'Kalau nyawa hanyalah barang yang lebih murah, ketimbang nyawa sendiri.'

Saat ada di pertigaan, aku dengan otomatis memutuskan berbelok ke arah kanan. Entahlah, tapi naluriku berkata demikian dan aku mengikutinya saja. Berlari secepat yang aku bisa, sambil berharap orang itu tidak akan menghujaniku dengan badai peluru yang meledak kala menyentuh target. Benar-benar merepotkan, inikah yang mahluk hijau bersetelan jas itu maksud? Bersaing dengan peserta lain untuk menuju ke lantai atas. Bersaing dengan saling membunuh, kalau begini ... Aku benar-benar kerepotan. Walau mungkin tidak untuk yang memang gila membunuh seperti mereka tadi.

Aku menghela napas, terengah-engah kala tidak mendengar lagi suara mereka di kejauhan. Aku duduk bersandarkan tembok. Kelelahan setelah kembali berlari lagi dari kejaran pembawa pistol itu. Lagi pula, secara jumlah ... aku tidak akan bisa menang melawan lima orang manusia sekaligus. Apa lagi, aku juga tidak tahu mereka sudah sampai level berapa. Yah ... Seandainya aku bisa melihat level seseorang, mudah saja bagiku untuk melawan atau mengatur strategi.

Jadi ... Setelah ini apa?

Jujur saja itu membuatku frustasi, aku bersyukur masih bisa hidup dan bernapas sekarang. Walau sampai sekarang masih belum ada titik cerah di manakah letak jalan keluar labirin sialan ini. Seandainya ... ya, seandainya aku memiliki kemampuan istimewa untuk membunuh mahluk mengerikan itu atau setidaknya mata tembus pandang. Aku pasti bisa keluar dari labirin mengerikan ini, terus naik level ... entah apa kegunaannya. Atau setidaknya aku memiliki Qi untuk bertarung.

Aku berdiri, melanjutkan langkahku mencari jalan keluar. Sampai tiba-tiba aku kembali jatuh menabrak seseorang saat berbelok. Bocah laki-laki berkacamat bulat itu kembali ada di hadapanku, ia mengulurkan tangan membantuku berdiri. Aku dengan senang hati menerimanya, menghela napas, lantas berdiri tegak.

"Terimakasih."

Ia tergagap, "Ti-ti-tidak, harusnya ... Akulah yang meminta maaf," kemudian membungkuk sedikit dalam dari pada umumnya kulihat.

"He-hei ... berhentilah membungkuk seperti itu," ucapku yang merasa tidak enak dengannya.

Ia melihatku bingung, "Kenapa? Bukankah itu memang sudah seharusnya?"

Aku menelan ludah, "Kau tahu, aku terlalu lama tinggal di Asia tenggara. Jadi aku tidak terlalu terbiasa dengan itu," dustaku.

"He, jadi kakak bukan dari Jepang ya?" Tanyanya bersemangat.

Duh ... kenapa malah makin rumit begini?

"Yah ... Sejenis itulah ..." ucapku mengarang. Tampaknya bocah ini memang berasal dari Korea selatan, kurasa nasibnya jauh lebih buruk dariku sampai bisa di sini dengan tubuhnya yang masih anak-anak. Akan tetapi, adalah suatu keajaiban dia bisa bertahan hidup sampai sekarang.

Bocah itu hanya mengangguk-angguk saja, lantas melanjutkan. "Apakah kakak juga mencari jalan keluar?"

"Yah ... tentu saja," ujarku. "Sampai sekarang aku belum menemukannya."

"Sama," balasnya polos. "Kalau begitu, apakah kakak mau menemaniku untuk mencarinya juga? Jujur saja ... aku takut."

"Kau masih anak-anak, itu wajar," jawabku. "Baiklah aku akan menemanimu sampai kita menemukan jalan keluar. Tapi hanya sampai di jalan keluar saja, tidak lebih."

Bocah itu hanya mengangguk. Tampaknya tidak mengetahui kalau aku memang sedang berusaha menjauhinya dariku demi identitas ku yang sebenarnya.

~***~

Next chapter