webnovel

Bab 3: lantai 0 (1) Maze

"Mudah saja, kau hanya harus bersaing untuk naik ke lantai atas," mahluk itu menjelaskan. "Simpel bukan? Bertarung memanjat lantai menara satu demi satu, lalu saat kau mencapai puncak kau bisa meminta satu permintaan apapun itu!"

Kedengarannya tidak semudah apa yang dia katakan.

"Namun ... Tentu saja, kau harus memulai semuanya dari nol," dia menjentikkan jari. Seketika muncul sebuah layar tembus pandang di hadapanku. Aku tidak mengerti teknologi apa yang mereka gunakan, tapi layar ini mengingatkanku pada permainan yang sering kumainkan saat di bangku sekolah pertama. Mahluk itu terkekeh, "tampaknya kau masih belum familiar, ya? Dengan layar itu."

"Tentu saja," jawabku gusar. "Ini agak menggangguku."

"Santai saja ... lama-lama kau akan terbiasa. Suatu hari nanti kau juga akan menggantungkan hidupmu dengan layar itu," dia menunjuk kotak berwarna merah. "Akan aku jelaskan, ini adalah status Hp mu. Alias status ketahanan tubuhmu, kau pasti tahu apa yang terjadi saat status ini mencapai titik nol ... Bukan?" Nada berbicaranya sedikit menyebalkan kali ini, "Lalu kotak kosong di bawah status Hp ini harusnya adalah status Qi mu. Namun, mengingat kau adalah orang Jepang ... tidak mengherankan kalau ini kosong."

Mahluk itu terkekeh, "Walaupun kau pasti akan sangat kesulitan kedepannya." Dia lantas mengeluarkan sebuah buku kecil, dan melemparkannya dengan elegan kepadaku. Aku berhasil menangkapnya, sial ... kenapa pula harus pakai bahasa Jepang?

Mahluk itu lantas memegang kedua kupingnya sebentar, tersenyum menyeringai. "Bacalah buku itu, kau pasti akan mengerti. Sekarang, aku harus pergi. Ada panggilan mendadak dari lantai atas."

"Tung-"

Sial dia sudah menghilang, aku berdecak kesal saat membolak-balikkan halaman buku kecil ini. Sama sekali tidak ada satu pun kosa kata yang kumengerti, seolah aku kembali ke zaman TK saat aku mengenal huruf 'A dan b.' Tidak ada gunanya membaca, sekarang aku harus belajar semua sistem ini sendirian tanpa ada yang membimbingku. Benar-benar menyebalkan, mau tidak mau aku harus menggali ingatanku perihal games saat aku di sekolah menengah pertama. Jariku mulai menekan tombol berbentuk tas, ada beberapa kotak kosong, lantas kumasukkan sebuah surat yang kuterima barusan. Surat itu secara ajaib ada di dalam salah satu kotak itu.

"Oh ... Inikah yang disebut penyimpanan? Praktis sekali." Aku menengok ke arah sebilah pedang Katana yang aku genggam, berdecih. "Tidak, akan lebih cepat kalau aku menggenggamnya saja."

Lalu setelahnya ada tombol bertuliskan kata 'Detail' dan lantas menekannya. Ada status seperti 'attack,' 'defense,' dan seterusnya. Semuanya nyaris ada di angka satu. Kecuali, di status 'speed,' ada angka tujuh di sana, aku tidak tahu kenapa bisa ada.

Setelah paham setidaknya untuk sebagian besar sistem yang ada di layar, aku memutuskan untuk bergegas berkeliling mencari anak tangga menara ini. Entah apakah ada atau tidak sama sekali, yang jelas aku harus berusaha terlebih dahulu. Setiap tikungan, jalan bercabang dan sebangsanya ku tinggali jejak berupa sayatan hasil dari tajamnya pedang ini. Belum setengah 1 kilometer aku mendengar sesuatu yang aneh mendekat ke arahku. Tanpa ba-bi-bu, aku berlari menjauh secepat yang aku bisa. Sampai langkahku berhenti pada segerombolan mahluk aneh yang sedang memakan sesuatu.

Apakah, itu tubuh peserta lain?

Sial, mahluk aneh itu mendongak melihatku dengan seringai kejam. Kulitnya persis seperti mahluk yang menyambutku tadi. Hanya saja mereka bertanduk dengan berbagai bentuk, dan mata mereka berwarna kuning menyala. Menatapku seperti telah menemukan mangsa yang enak untuk di makan. Dengan cakar yang besar, mereka mengejarku. Aku berbalik arah, kembali berlari secepat yang aku bisa saat aku kabur dari kejaran warga yang marah.

~***~

Aku terengah-engah, melihat kearah belakang, tidak ada apapun di sana. Suara menyeramkan itu telah berhenti bergaung di telinga, menyeka keringat aku bersender di dinding bangunan aneh ini. Melihat ke depan, kudapati jalan berkelok-kelok yang rasanya tidak ada habisnya. Sial ... di mana jalan keluarnya? Dan, di mana aku? Tanda yang aku buat saat menelusuri tempat ini sudah tidak ada. Atau ... Tanda itu memang sudah menghilang saat aku melewatinya?

Menoleh ke belakang, harusnya mahluk aneh itu sudah tidak ada. Suaranya saja sudah tidak terdengar, artinya mereka memang sudah menyerah dan mencari ... mangsa lain? Entahlah, yang terpenting sekarang aku harus kembali menemukan jasad yang di makan oleh mereka. Siapa tahu, ada benda yang berguna untuk kugunakan. Hanya mengandalkan pedang katana ini rasanya seperti kurang untuk mempertahankan diriku, iya kalau aku sudah pernah membunuh mahluk menjijikan itu. Nyatanya, yang aku ketahui hanya berantem, atau mencopet.

Beberapa jam aku melangkah, berhati-hati agar kakiku tidak menimbulkan suara keras. Jasad itu belum ketemu juga, sampai-

Bruk!

Tubuhku terpental oleh seseorang, bocah laki-laki?

Dia mengambil kacamata bundarnya, melihatku lantas melihat jalan yang baru saja di lewatinya. Kemudian berlari kencang meninggalkanku sendirian.

"Hei!" aku memanggilnya, tapi tampaknya sia-sia. Suara mengerikan itu perlahan mendekat. Mau tidak mau aku kabur melewati jalan lain, sampai suara itu benar-benar tidak lagi bergema. Setelahnya aku terduduk bersandarkan dinding. Memegangi kedua kakiku yang terasa seperti mati rasa, seandainya berlari lagi ... aku tidak yakin apakah kakiku akan benar-benar ada di tempatnya atau tidak.

Aku lantas kembali berjalan, melupakan rasa haus yang sudah meronta-ronta di tenggorokan. Sampai ekor mataku menangkap sesosok jasad yang sudah tinggal tengkoraknya saja.

Kumuntahkan sisa sarapanku, sampai sudah tidak ada lagi sisa makanan di perutku. Ini menjijikan! Untuk pertama kalinya aku melihat kerangka manusia yang tinggal organ dan otaknya saja. Kaos berwarna biru yang dikenakan jasad itu sudah terkoyak. Tampaknya mahluk ganas itu benar-benar kelaparan, namun masih memiliki selera dengan tidak memakan organnya. Sialan, kenapa tidak sekalian sampai bersih?

Aku mencari apapun di sekitar jasad itu, tidak mempedulikan bau darah bercampur kotoran yang dikeluarkan oleh manusia yang telah kehilangan nyawa itu. Walau begitu usahaku tidak sia-sia. Ada sebotol air minum, sebungkus roti, tas selempang, sebotol minuman bersoda, pedang yang tidak berguna, dan ... batu?

Batu biru bak berlian, namun senada dengan warna langit. Tunggu, batu ini terlalu indah untuk di bawa ke tempat yang tidak memiliki apapun di sini. Harusnya ada alasan kenapa orang ini sampai membawa sesuatu semewah ini, atau ... apakah batu ini memiliki suatu kekuatan tertentu. Aku memperhatikannya dengan cermat, tidak ada sesuatu yang mencolok selain bentuknya yang indah dan elegan. Lantas aku mengecek jendela statusku, tidak ada status apapun yang naik, kecuali sebuah kotak bertuliskan Qi dari nol menjadi 2.

Aku berdecih kesal, apa bedanya? Lantas memasukkan batu yang tidak berguna itu ke dalam jendela penyimpanan. Yah ... walaupun begitu aku mendapatkan makanan dan minuman. Juga sebuah pedang yang rasanya tidak berguna untuk ku pakai, mata pisaunya sudah tumpul. Mau tidak mau harus kusimpan bersamaan dengan batu yang tidak berguna barusan.

Ku kenakan tas selempang milik jasad itu, tidak tahu apa kegunaannya. Namun kupakai saja untuk berjaga-jaga. Menghabiskan sebungkus roti, dan sebotol minuman tanpa jeda. Mengingat tubuhku yang sudah kelelahan, membuatku tersadar.

Sudah berapa lama aku ada di sini?

~***~

Next chapter