1 1. Abimanyu Gila

"Truth Or Dare?"

"Dare."

"Lu kalah sama Rendra, besok lu harus nembak Laluna di depan bokapnya, langsung!"

Mampus!

***

Sebut saja orang gila. Abimanyu Sagara masuk ke halaman rumah Laluna, memarkirkan motor dan berjalan dengan gaya elegan. Malam ini, karena kalah taruhan Truth Or Dare dengan teman seperkocakannya, alias si Rendra. Abimanyu yang biasa dipanggil Bima dapat tantangan buat nembak Laluna di depan bokapnya. Live!

Pria badboy plus fuckboy kelas kakap macam Bima, baginya mah itu hal kecil. Oke Bima, tunjukan kegantenganmu.

Ia sudah berada di depan rumah rivalnya. Laluna Olivia, wanita es yang tidak pernah akur dengannya. Galaknya melebihi pak dosen yang suka ngasih tugas dadakan. Tahu bulat kali dadakan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh," Bima mengucapkan salam dengan fasih nan nyaring.

Kebetulan yang membuka pintu adalah Papanya Luna. "Waalaikumussalam," Pria berkacamata menatap wajah Bima dalam-dalam. "Siapa?"

"Saya Abimanyu, temannya Laluna Om, Lalunanya ada?" tanya Bima tanpa perasaan gugup ataupun grogi. Dengan sopan, pria itu menyalimi tangan papanya Laluna.

Papa Luna, Johan, manggut-manggut sambil memandangi penampilan Bima dari atas sampai bawah. Tatapan menilai.

"Bentar, saya panggilkan Luna. Mari masuk," Johan membuka pintu lebar-lebar dan Bima akhirnya memasuki rumah mewah dengan interior desain yang bertema klasik.

Luna dengan mager terpaksa keluar dengan menghentak-hentakkan kaki, "Siapa sih, Pa? Perasaan Luna gak ngundang teman-teman Luna deh!"

"Tuh orangnya," tunjuk Johan ke arah Bima.

Tentu saja Luna kaget. "Elu?"

"Hai, Luna," sapa Bima sambil nyibakin rambut. Emang dia keren? batin Luna jengkel.

Abimanyu. Musuh bebuyutannya dari SMA, dan sialnya lagi mereka kuliah di universitas yang sama. Takdir yang pahit dan konyol bukan?

"Paan?!" tanya Luna ketus.

Bima yang duduk menyuruh Luna ikut duduk di dekatnya. Lah, yang punya rumah siapa yang sok-sokan siapa?

Johan dari kejauhan memperhatikan mereka. Sebagai papa Luna, ini pertama kalinya Luna didatangi teman pria.

"Gue mau ngomong sama lu, penting!" tegas Bima. "Dan bertiga sama papa lu,"

Merasa jantungan, Luna melotot sampai Bima merinding. "Ngapain harus sama papa gue, mau minta uang saku?"

Tanpa ba-bi-bu, Bima jongkok sambil tersenyum santai, tangannya bahkan memegangi tangan Luna. Johan mendelik, Luna pun sama kagetnya. Ngapain sih biang kerok pake nyembah-nyembah gini?

"Mau nggak jadi PACARKU?"

"HAH?!!" Johan yang mendengar itu spontan langsung mendekati mereka. Enak aja main pegang anak orang!

"Goblok!" umpat Luna, ia yakin Bima kerasukan setan di perempatan. Mau meninggal ya lu, Bim!

***

Tidak ada hal yang paling gila selain menikah tanpa rencana. Luna mendengus berkali-kali saat mbak-mbak MUA dan krunya menyentuh pipi Luna dengan brush. Ia menatap sendu bagian bawah matanya yang menghitam, karena mewek semalaman.

Memikirkan nasib malang karena dinikahkan paksa oleh papanya dengan Bima. Padahal, Kinan, mamanya Luna sama sekali tidak setuju anaknya menikah muda.

Ia sedang berada di kamar khusus yang disiapkan keluarganya Bima, saat ini proses akad memang dilakukan di rumah calon suaminya itu. Calon suami? Ah, mulutnya pasti kepleset gak sengaja bilang hal itu.

'Sekali ada teman pria kamu ke sini dan bilang pacar kamu, papa akan menikahkan kalian.'

Ia tidak menduga papa benar-benar menepati janji sumpahnya dua tahun lalu.

Luna merutuki Bima yang telah menimbulkan kekacauan. Udah punya suami rasa musuh, papanya juga batu banget. Ah, rumit banget hidup kamu, Lun!

Pernikahannya tertutup, hanya dihadiri keluarga terdekat kedua mempelai dan mereka menikah siri, belum tercantum sah di negara.

Luna menatap sedih sang mama, Kinan mencium kening anaknya. Berusaha tersenyum lebar meskipun agak keberatan. Luna baru saja berusia 22 tahun dan masih kuliah semester 6.

Luna menuruni tangga ditemani sang mama, sambil menatap sinis ke arah Bima. Seakan-akan bilang 'Awas, mati lu ama gue, Bima!'

"Sudah siap semuanya?" tanya pak penghulu. Semuanya mengangguk serempak, rasanya Luna ingin membalikan meja dan menggunduli Bima.

Setelah berdoa agar acaranya lancar, ijab qabul pun dimulai. Luna berdoa dalam hati, berharap atap jebol lah, cicak di dinding jatuh di kepala si penghulu terus pingsan lah, avatar bangkit lah terus membantai si Bima. Apa aja asal proses ijab qabul tidak terlaksana.

Kebanyakan mikir, Luna sampai tidak sadar kalau Bima sudah berjabat tangan dengan sang papa, siap mengikrarkan janji suci.

"Saya terima nikahnya Laluna Olivia binti Johan Jonathan dengan mas kawin dan seperangkat alat sholat di bayar tunai."

'Tai lah!' batin Luna ngenes banget.

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah!"

"Sah woi sah!" teriak Alina Slavina, adik Luna.

Kedua mempelai tukar cincin, Luna memasangkan di jari Bima dengan kasar, biar patah sekalian tuh jari! Mana disuruh nyium tangan si kutu kupret lagi, beuh.. Nggak sudi!

Tapi karena ditatap Bima sedemikian tajamnya, ia akhirnya mencium punggung tangan suaminya. Rasanya gak ikhlas banget nyebut si Bima sebagai suami.

Kedua mempelai berjalan ke arah orang tua masing-masing, minta restu. Walaupun Luna orang pertama yang nggak setuju dengan pernikahan ini, ia tetap sungkem dan menangis di depan orang tuanya.

Setelah acara ijab qabul selesai dan sungkem pun berjalan dengan lancar, Luna dan Bima berdiri di altar panggung dekorasi. Menyalami satu persatu tamu undangan yang hanya perbiji saja.

"Eh, Bini. Nanti malemm.." sela Bima setengah berbisik pada Luna.

"Apa?!" Luna udah ngegas duluan.

"Busyet, belum juga selesai ngomongnya. Nanti malem lu masih di sini, kan?" tanya Bima.

"Gak tahu. Besok ada tugas yang harus gue kelarin malam ini," bales Luna, ia duduk karena merasa tamu undangan sudah tidak ada yang berjalan ke arah mereka, sibuk menikmati jamuan.

Selama beberapa jam, mereka hanya diam-diaman tanpa suara. Dan setelah acara selesai, Luna langsung ke atas menuju kamar tempat ia di rias. Tubuhnya langsung terjun ke kasur empuk, nggak peduli dengan tusuk konde yang mleyat-mleyot, bodo amat ama kebaya yang manik-maniknya hancur. Luna capek, ia butuh tidur.

Rasanya ingin sekali putar balik waktu. Kok bisa sih Bima menembaknya dadakan? Mana pakai acara nyembah-nyembah. Suka kagak, cinta apalagi, kejauhan! Kenapa sih Bima mau-mau aja menerima pernikahan ini? Pikirannya melalang buana, berputar-putar memikirkan statusnya yang sudah menjadi bini orang.

Tok.. tok..

"Huah, siapa sih!" Luna berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Wanita itu terkejut melihat Bima berdiri dan main nyelonong masuk ke dalam.

"Eits, eits. Ngapain lu ke sini?" bentak Luna.

"Tidur, CAPEK!" balas Bima tak mau kalah.

"Enak aja. Lu kan punya kamar sendiri, gak usah modus mau tidur sama gue!"

"Gak ada yang kosong. Disuruh bokap tidur di sini!" pria itu langsung merebahkan diri di kasur, beda dengan Luna yang masih memakai kebaya, Bima sudah berganti dengan pakaian formal biasa. Ia memang mengantuk dan tidak peduli Luna mengeluarkan ledakan-lesakan atom yang terus tersembur dari mulut wanita itu.

"Keluar setan!"

"Gak, lu mau durhaka sama suami? Neraka jalur red carpet udah siap menanti elu, anjay!"

"Bodo amat. Bangun gak? Bima! Budeg ya lu!" Bima sudah benar-benar mengantuk dan membiarkan istri mudanya ngoceh. Cielah, sang istri. Bisa aja lu Bim!

avataravatar
Next chapter