22 Sandiwara cinta

Hujan turun tiba-tiba, membuat Julia kelabakan mengangkat jemuran seorang diri. Aldo berlari dari dalam, membantu kakak iparnya mengangkat semua jemuran di halaman belakang. Laki-laki itu merasa kasihan dengan nasib Julia.

Kakak iparnya melakukan semua pekerjaan di rumah seperti seorang pembantu. Bahkan, baju milik Iris pun dicuci olehnya. Ia harus bisa mengubah nasib wanita itu. 

Julia berhak mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari suaminya. Untuk masalah hatinya, Aldo bisa menanganinya dengan baik. Meski ia merasa simpatik padanya, tapi ia memiliki batasan terhadap kakak iparnya.

"Terima kasih, Tuan."

"Sama-sama. Jangan panggil aku seperti itu. Panggil saja, Aldo atau adik ipar," ucap laki-laki itu.

"Saya tidak berani."

"Kakakku tidak ada. Saat di depannya, kau boleh memanggilku seperti itu. Saat ini, karena dia tidak ada, jadi panggil saja Aldo."

Julia menatap laki-laki itu. Senyumannya begitu tulus. Ia merasakan kedamaian seperti saat Clara tinggal di rumah. 

"Adik ipar," panggil Julia.

"Itu lebih baik." Aldo tersenyum ramah. Ia mengajak Julia bicara di ruang tamu. "Aku ingin membantu, Kakak ipar, supaya bisa mendapatkan kasih sayang kakakku," ucapnya.

"Tidak perlu. Saya sudah cukup senang, saat dia tidak menindas saya," tolak Julia dengan halus.

"Kenapa? Kakak ipar, sedang berencana meninggalkan kakakku?"

"Tidak. Aku tidak bermaksud begitu. Aku akan tetap di sisinya, selama dia tidak mengusirku. Hanya saja, aku tidak berniat menarik perhatiannya," jawab Julia dengan senyum getir. Ia tidak memiliki perasaan pada suaminya, selain sebuah pengabdian.

"Bodoh! Rumah tangga itu harus berjalan dengan cinta. Kalau tidak ada cinta, mana bisa memiliki keturunan. Untuk satu atau dua tahun, papaku tidak akan curiga. Tapi, bagaimana jika sampai bertahun-tahun? Kakak, pikir, papa tidak akan curiga?"

"Kami bisa mengatasi itu. Tidak perlu ada hubungan lebih di antara aku dan kakakmu. Aku tidak berminat," ujar Julia.

"Kalau begitu, aku akan mengatakan kepada papa, kalau kalian tidur di kamar terpisah."

"Adik ipar, sedang mengancamku?"

"Anggap saja begitu," jawabnya dengan santai.

Julia tidak peduli dengan kehidupan rumah tangga mereka, tapi ia tidak tega melihat ayah mertuanya bersedih. Apalagi, jika masalah rumah tangganya bersama Damian terdengar sampai ke telinga laki-laki paruh baya itu. Oman pasti sangat sedih, lebih parah mungkin penyakitnya bisa kambuh.

Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Jangan membuat papa sedih. Penyakitnya bisa kambuh dan aku tidak mau itu terjadi."

"Oke. Jadi, Kakak ipar, bersedia menuruti keinginanku?"

"Iya. Apa yang harus aku lakukan untuk menarik perhatian gunung es itu?"

"Haha …. Gunung es? Kakakku tidak sedingin itu. Dia hanya sedang terluka. Jika hati kakakku bisa tersentuh oleh, Kakak ipar. Dia pasti akan kembali seperti Damian yang dulu," kata Aldo. 

Ia membayangkan kehidupan masa lalunya bersama Damian. Laki-laki itu sangat ramah dan hangat. Sikapnya yang ramah itu membuatnya menjadi laki-laki yang disukai banyak wanita.

Saat Damian tersenyum, rasanya seperti musim kemarau tiba-tiba berubah menjadi musim semi di mata para gadis. Namun, dari begitu banyaknya gadis yang menaruh hati padanya, pilihan Damian jatuh pada Gabriel. Wanita modern yang selalu berpenampilan glamour.

Oman menentang pernikahan mereka berdua, tetapi Damian rela mengabaikan peringatan laki-laki itu. Ketika pabrik konveksi yang dikelola suaminya mengalami masalah, Gabriel tanpa pikir panjang segera meminta cerai. Sejak itulah, Damian berubah menjadi seperti sekarang.

"Aku akan memberikan satu cara dan hanya itu yang bisa kita lakukan untuk menaklukkan gunung es itu."

"Cara apa?"

"Pacaran denganku," jawab Aldo singkat.

"Hah? Tidak mau!"

"Pura-pura, Kakak ipar."

"Oh."

Siang itu, mereka mengatur naskah sandiwara untuk nanti malam. Damian selalu pulang sebelum jam makan malam, jadi mereka memiliki kesempatan untuk membuat rencana. Misi menarik hati suami akan segera dilaksanakan.

***

"Apa?!" Iris mendapat telepon mendadak saat ia baru saja tiba di rumah bersama Damian.

"Ada apa, Ris?" tanya Damian.

"Aku harus segera pulang, Kak. Kata tante Clara, adikku sakit parah," jawab Iris dengan khawatir.

Adik yang dimaksud oleh Clara, sebenarnya adalah adiknya Gabriel, anak kandung Clara. Namun, Iris sangat menyayangi April dan menganggapnya sebagai adik. Sementara Gabriel sendiri tidak peduli dengan keluarganya, termasuk adiknya, April.

"Aku tidak bisa mengantarmu pulang. Kau tahu, di perusahaan sedang banyak pekerjaan," ucap Damian.

"Tidak apa-apa. Iris akan pulang sendiri."

Gadis itu bergegas merapikan barang-barangnya. Kebetulan masih ada penerbangan untuk jam delapan malam nanti. Ia memesan tiket lewat telepon.

Damian memakai kembali jasnya dan mengantarkan Iris ke bandara. Setelah gadis itu mendapatkan tiketnya, laki-laki itu kembali ke rumah tanpa menunggu Iris take off. Ia merasa tidak nyaman karena belum sempat mandi sejak pulang kantor.

Di rumah, dua orang yang siang tadi menyusun rencana itu sedang bersiap-siap. Melihat Damian memarkir mobil di garasi, Aldo segera memberitahu Julia. Sandiwara akan segera dimulai.

"Kak! Siap-siap!" seru Aldo.

"Oke!" Julia menyiapkan air mandi di kamar Damian. Makan malam pun sudah disajikan di meja makan. Saat laki-laki itu masuk, Julia segera menghampiri.

"Saya sudah menyiapkan air hangat untuk Anda, Tuan. Makan malam sudah ada di meja makan. Saya permisi, Tuan." Julia berlari ke taman belakang setelah melaporkan pekerjaannya. 

"Ada apa dengan wanita itu?"

Damian menggelengkan kepala, bersikap masa bodoh. Ia mandi dan makan malam seorang diri. Selesai makan malam, ia kembali ke kamar.

"Hahaha …."

Gendang telinganya seperti digelitik oleh suara tawa lepas dari seorang wanita. Ia melangkah ke dekat jendela, menyibak tirai perlahan-lahan. Pandangannya tertuju pada dua manusia berlainan jenis yang sedang duduk bersendagurau.

"Apa-apaan mereka?" Damian emosi melihat Julia sangat akrab dengan adiknya, Aldo. Padahal, laki-laki itu baru tiba tadi pagi. Namun, Julia sudah sedekat itu. "Heh! Dasar wanita murahan," cibir Damian sambil menarik sebelah ujung bibirnya.

"Hahaha …."

Suara tawa itu kembali terdengar. Damian semakin kesal mendengarnya. Ditambah, wanita itu selalu berwajah masam di hadapannya, tetapi sangat ramah di depan Aldo.

'Dia tidak pernah tersenyum di depan suaminya, tapi bisa tertawa lebar di depan adik iparnya. Benar-benar menyebalkan. Sepertinya, aku harus memberinya pelajaran.'

Damian keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan langkah terburu-buru. Ia pergi ke halaman belakang untuk memisahkan mereka. Rasanya sangat tidak nyaman melihat istrinya bersama laki-laki lain, meski dia adalah adik iparnya.

"Julia!" bentak Damian.

Mereka berdua berpura-pura terkejut dan langsung berdiri di depan Damian. Keduanya segera pergi ke arah yang berbeda. Julia pergi ke kamarnya lewat pintu teras belakang, sedangkan Aldo lewat samping rumah dan masuk ke pintu depan.

Tidak ada yang peduli pada Damian sama sekali. Laki-laki itu menggertakan gigi dengan kedua tangan mengepal kuat. Sikap mereka berdua, membuat Damian curiga. Jangan-jangan, adiknya benar-benar mengejar cinta Julia? pikir laki-laki itu.

*BERSAMBUNG* 

avataravatar
Next chapter