1 - I Wish We Never Met -

Semua ini berawal saat Jum'at siang itu.

Aku baru saja pulang sekolah, tepat di depan stasiun aku melihat seseorang yang tidak asing lagi bagiku.

"Sendirian aja!" Sahutku menyapanya. Ia berbalik menatapku, tersenyum tipis sebagai formalitas.

"Eh, iya kak." Ucapnya sedikit canggung. Ia melambatkan langkahnya, memberiku kesempatan untuk berjalan di sampingnya.

"Rumah kamu di daerah sini?" Tanyaku, benar-benar serius kali ini.

"Iya, kakak juga di sekitar sini?" Aku hanya mengangguk seraya tersenyum kearahnya.

"Kakak jalan? Atau dijemput?"

"Aku dijemput, kamu jalan?"

"Yupp."

"Rumah kamu dimana nya?"

"Deket kok dari sini."

"Eh, deket?"

"Iya, kakak tinggal keluar komplek, terus belok kanan, yang-"

"Dek, buruan!" Ucap seseorang. Aku melihat jauh ke depan, dan tampaklah kakak sepupuku dengan adikku. 'Tumben mereka cepet, biasanya kalau jemput aku se-abad' benakku berucap.

"Itu kakak nya?" Ia bertanya lagi.

"Ya, begitulah. Kita lanjutin lagi ntar, aku dah dijemput, maaf ya."

"Iya kak, ngga apa-apa."

Akupun memberinya sebuah senyuman sebelum berlari kearah kakakku. Ia segera melajukan motornya, mendahului si –adik-. Aku berbalik badan dan melambaikan tanganku kearahnya. Ia membalasnya, tersenyum ragu-ragu seraya melambaikan tangannya canggung. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah lakunya. Dia lucu, menurutku.

Untuk mempermudah, namanya Ernesta.

Ernesta Fiennes Tiffin lebih tepatnya. Dia salah satu sophomore [kelas X] ku di sekolah. Sejujurnya, aku tak tahu banyak tentangnya. Yang aku tahu, ia pintar bahasa Inggris, ia mengikuti PMR selain mengikuti English Club dan dia jurusan IPS, sama denganku.

Sedangkan aku, namaku Ashley.

Ashley Pimenova Stylinson, aku seorang junior [kelas XI] berjurusan IPS. Tak banyak hal menarik yang perlu kuceritakan. Aku hanyalah remaja normal pada umumnya yang kelewat receh, kelewat 'miring', dan juga kelewat banyak mikir menurut teman-temanku. Terkadang, ini membuatku berpikir bagaimana ceritanya aku bisa disukai seseorang, terlebih lagi memiliki seorang pacar.

Ya, benar. Aku sudah mempunyai pacar.

Namanya Thomas Anderson Justice. Seorang pria Pure British yang entah bagaimana jadinya berakhir menjadi pacarku. Singkat cerita, mamanya adalah teman tanteku. Saat aku berlibur ke London dikala aku kelas 4, mereka meninggalkan aku dirumah berdua hanya dengannya. Waktu berjalan begitu cepat, kami berubah menjadi sahabat untuk lebih kurang 4 tahun, sebelum akhirnya ia memintaku untuk menjadi pacarnya.

∞∞flashback started∞∞

"So uh… you're single and I'm single… And I was wondering…" Ucapnya benar-benar gugup. Aku menatap layar laptop ku dengan penasaran. Apa yang ingin ia katakan?

"Yeah, I know… And then?"

"Uh… could you… I mean, would you be my girlfriend?"

∞∞flashback ended∞��

Setelah hari itu, aku resmi menjadi pacarnya. Aneh memang, kita terpisahkan beribu-ribu bahkan berjuta-juta kilometre, tapi kita bisa tetap melanjutkan hubungan ini. Lebih kurang 3 tahun 4 bulan hubungan ini berlangsung. Tak banyak yang mengetahui fakta bahwa aku sudah memilki seorang pacar. Bahkan, mayoritas teman-teman sekolahku berfikir bahwa aku masih available. Lol. Cukup tentang pacarku, kembali lagi pada kehidupanku saat ini.

1 bulan sudah, aku dan Ernesta menjadi teman yang cukup dekat. Entah harus kusebut apa hubungan ini, aku dengannya sudah seperti adik dan kakak, tapi ini tidak seperti adik dan kakak pada umumnya. Apakah itu nyambung?

Maksudku, terkadang aku berpikir bahwa dia itu lucu, seperti benar-benar lucu sampai aku jadi gemas padanya. Ia juga terkadang menyebalkan karena sering meninggalkan obrolan kami pada status 'read' walau akhir-akhirnya ia juga yang memulai topic baru beberapa jam berikutnya, tapi tetap saja. Aku paling tak suka jika chat ku hanya di 'read' doang.

Terkadang, aku juga menjadi seketika protective padanya hanya karena hal-hal kecil. Ku akui itu sedikit berlebihan, tapi jika perasaan sudah terikutsertakan, bisa bilang apa?

Apakah aku barusan bilang 'perasaan'?

Kurasa itu benar. Sudah seminggu lebih aku terus-menerus menolak untuk mengakui ini. Sahabatku terus berkata bahwa aku suka padanya, tapi apakah benar, bahwa aku suka padanya?

Ini tidak seperti aku yang biasanya.

Aku paling anti sama yang namanya suka ke seseorang yang lebih muda dibandingku. Terlebih lagi, ke seseorang yang tak kuketahui latar belakangnya.

Hal ini terus menerus mengahantui pikiranku, merajalela dengan sewenang-wenangnya, menguasai otakku. Pikiranku terbuyarkan saat sebuah notification masuk ke ponselku.

Ting!

Ernesta : Hehehe…

Ha? Dia ketawa kenapa?

Aku pun men-scroll chat nya sedikit ke bawah.

Oh, aku abis commenct WhatsApp story-nya. Ia mem-posting sebuah foto candid dirinya dengan caption 'Cogan memandang masa depan' dan aku membalasnya dengan berkata 'Apa iniiii' diikuti dengan emoticon ketawa ngakak.

Jujur saja, ia memang terlihat lucu dan menggemaskan di foto itu, pipinya sedikit merah (mungkin karena panas) dan pandangannya benar-benar seperti seseorang yang sedang membayangkan masa depannya.

Ashley : Iyain aja lah ya, biar cepet. Hahahahaha

Balasku lalu membuka status update terbaru. Aku melihatnya memposting sebuah video disaat api unggun 5 hari yang lalu. Video itu berisi saat kami semua sedang bernyanyi dan menari, awalnya memang tidak ada yang aneh dengan postingan baru nya ini, tapi saat aku membaca caption nya, aku langsung terdiam.'Nih, biar orangnya makin seneng'

Di story berikutnya, ia hanya menuliskan satu hurf. G.

Orangnya makin seneng? Siapa?

G? 'G' siapa?

Apakah dia sedang menyukai seseorang dan tidak memberi tahuku? Lagi-lagi aku terlalu memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu ku pikirkan. Ponselku kembali berdenting, menandakan notification baru.

Ernesta : Kan emang kasep, kak.

Ashley : Kalau kamu geulis, kamu cewe, dek.

Ashley : (Story attached) Siapa?

Daripada aku penasaran, lebih baik kutanya kan? Ia tak kunjung menjawabnya, dan baterai ponselku pun tinggal kenangan (habis hingga mati). Ku letakkan ponselku asal lalu kembali ke ruangan utama untuk melanjutkan latihanku

avataravatar
Next chapter