webnovel

Ch. 9 Sekte Kelopak Angrek Putih

Tiap langkah yang Ansep lakukan untuk menuruni tangga, selalu dibarengi dengan tertutupnya lorong bawah tanah ini dengan timbunan tanah. Lorong benar-benar tertutup saat Ansep memasuki ruangan seluas10x10 meter persegi.

Puluhan ekor binatang spiritual Kunang-Kunang Bambu terlihat hilir mudik terbang. Menyebabkan ruangan mendapat pencahayaan yang cukup.

Sambil membawa mayat Aswa dan tubuh Diatmar, Ansep berjalan menuju ke gerbang selebar 2 meter. Tanpa daun pintu dan tanpa penjagaan. Melihat ke arah gerbang ini hanya ada kegelapan.

Memasuki gerbang, yang ditemuipun hanya kegelapan dengan satu titik cahaya di ujung jalan. Cahaya ini semakin terang, menandakan lorong yang dilalui sudah hampir berakhir.

Setelah melalui lorong sepanjang jalan, ruangan seluas 100x100 meter menjadi pemandangan yang baru.

Seorang lelaki dan seorang perempuan datang menghampiri Ansep, menggantikannya membopong Diatmar. Sedangkan mayat Aswa masih dipanggulnya.

Dua orang ini sebenarnya kaget melihat kondisi Diatmar yang tidak seperti biasanya. Namun mereka tidak berani bertanya kepada Ansep. Mereka hanya mengikuti Ansep dari belakang.

Bau daging matang pada mayat Aswa sudah tidak lagi tercium sehingga dua orang yang mengikuti Ansep tidak merasa curiga dengan entitas yang dipanggul Ansep.

Sebagian besar orang dalam ruangan bersikap acuh dengan melakukan aktivitas bermain kartu, minum minuman keras, bersemedi, membaca buku dan aktivitas lainnya. Golongan jin dengan bebasnya berterbangan dan melayang di udara sambil berbincang-bincang dengan ras lain.

Ruangan sebesar ini diisi sekitar 50 pendekar dari berbagai ras, belum termasuk bangsa jin. Meja dan kursi panjang yang berjumlah 24 set tidak tersusun dengan rapi, berbaur dengan benda-benda lain yang tidak jelas. Di tepi-tepi ruangan ada meja bar. Beragam jenis makanan dan minuman tersedia di sini. Semuanya gratis.

Memasuki sebuah bilik dalam ruangan itu, Ansep menghadap seorang tetua yang berbaring di pangkuan seorang wanita bertubuh kelinci. Tinggi wanita kelinci ini sekitar 168 senti meter. Tetua terlihat sangat kecil di pangkuan wanita ini. Maklum, tubuhnya hanya kira-kira setinggi 100 senti meter.

Sepintas tetua yang dihadapi Ansep seperti seekor kura-kura, tapi banyak perbedaan saat dilihat secara seksama. Di Pulau Lama, ras tetua ini dikenal dengan Bidawang (dalam bahasa Indonesia disebut "Bulus"). Jumlah populasinya sangat langka, hingga tidak diketahui dengan pasti. Padahal mereka termasuk ras yang memiliki umur yang panjang.

Alasan lain yang membuat ras ini langka adalah fakta bahwa mereka hanya bisa bereproduksi dengan sesamanya. Berbeda dengan ras lain yang bisa kawin silang.

Tetua ini bernama Gusti Amr. Di Hutan Bukit Harta Surgawi ayah tetua pernah menjadi penguasa, raja di sana. Saat ini Tetua Gusti Amr telah berusia 203 tahun!

Mengetahui ada orang penting yang berkunjung, wanita kelinci ke luar bilik tanpa diperintah. Ia jelas mengetahui pembicaraan yang akan dilakukan tidak pantas untuk ia dengar.

"Tetua..." Ansep langsung duduk di hadapan tetua bidawang setelah sebelumnya meletakkan mayat Aswa di hadapannya.

Diatmar berbaring di sisi tetua. Dua orang yang membantunya sudah keluar ruangan.

"Tetua... tolong aku..." Diatmar menangis sambil memegang kaki kecil Tetua Gusti Amr.

Paakk..!!

Sebuah tendangan Tetua mengarah ke wajah Diatmar. Kaki kecil itu ternyata memiliki kekuatan yang besar. Hidung Diatmar mengeluarkan darah, sedang pipinya tampak lebam.

"Kau terkena Racun Jiwa. Butuh waktu dan tenaga yang besar untuk memberikan penawarnya."

"Apakah sebaiknya kita berikan Diatmar ekstrak itu?" Sambil berkata-kata jari telunjuk dan jempol Ansep memberikan kode besaran suatu botol ramuan.

Gusti Amr berpaling ke arah Ansep lalu menggelengkan kepala. "Ekstrak itu bukan obat, walau bekerja pada domain pikiran." Gusti Amr memandang Diatmar kemudian.

"Dalam beberapa jam jiwa Diatmar bisa saja mati keracunan. Membunuhnya jauh lebih baik dari pada membuatnya berlama-lama dalam penderitaan."

Tubuh Ansep terperanjat saat mendengar pernyataan Gusti Amr. Ia tidak bisa menutupi kengerian dari Racun Jiwa yang ditanamkan Aswa ke diri Diatmar. Serta kapan Aswa melakukan itu? Ansep hanya bisa tertunduk sesudahnya. Menerangkan bahwa Diatmar adalah tokoh penting dalam sekte.

Kematiannya bisa menjadi pukulan telak bagi sekte.

Gusti Amr kemudian memejamkan mata ."Apa yang terjadi? Ceritakanlah..."

Ansep menoleh ke arah Diatmar dan mulai menceritakan awal masalah yang tidak diketahui Gusti Amr. Dimulai dengan kebijakan baru Arum Naja Nadvorce yang ingin merekrut guru dari kalangan murid baru. Hingga akhirnya pertemuan Ansep dengan Aswa.

"Saat berjalan dengan ku, anak ini mengatakan bahwa ia dari lingkaran gerakan iblis. Aku mengira ia sedang bermain-main layaknya seorang anak polos... namun anehnya..." Bayangan percakapannya dengan Aswa masih membekas di minda Ansep.

Kembali ke perjalanan Ansep dengan Aswa menuju ruang Diatmar beberapa jam yang lalu...

Berjalan menuju lift, Ansep dan Aswa melakukan percakapan.

"Untuk meyakinkan Anda, saya perlu mengorbankan nyawa saya." Aswa berkata dengan santai seperti orang dewasa namun dengan nada anak-anak.

"Maksud mu?" Ansep masih tidak bisa mengerti dengan apa yang dipikirkan Aswa.

"Saya harus benar-benar bergabung dengan mata-mata gerakan iblis. Semakin cepat semakin baik. Walau nyawa taruhannya." Mendengar kata-kata Aswa ini Ansep tiba-tiba berpikir dan bertanya tentang identitasnya sebagai mata-mata yang kemungkinan diketahui Aswa. Tapi di sekolah ini hanya Diatmar saja yang tau. Jika bocor sekalipun, itu pasti dari kalangan sesama mata-mata di luar. Kemungkinannya pun sangat kecil, bahkan mustahil.

"Hahaha... anak muda, kelak kau akan menyadari bahwa menjadi orang baik jauh lebih indah dari pada menjadi orang jahat. Penguasa jelas tidak akan melepas mereka yang ketahuan menjadi mata-mata. Aku pun pernah berpikir seperti itu. Tapi akhirnya setelah lulus sekolah aku mulai menyadari pentingnya menjaga orang-orang yang kita sayangi dan menjadi orang baik." Ansep menatap wajah Aswa dengan senyum. Tidak ada kesan jahat di wajah Ansep. Wajahnya sangat hangat dan bersahabat.

Aswa mengatakan kepada Ansep bahwa ia dan keluarganya berada di lingkaran gerakan iblis hanya untuk mengkonfirmasi idiologi Ansep. Dengan janggut putih Ansep, di mata Aswa pria ini jelas sudah berumur dan memiliki sejumlah besar wawasan. Di awal pertemuan, Ansep mengatakan bahwa Aswa pantas untuk sombong, menunjukkan tingkat kebijaksanaannya sebagai seorang pendekar. Selain itu ia tidak menekan Aswa setelah Aswa mengatakan bahwa ia beridiologi iblis. Walaupun memang Aswa masih belum bisa mengkonfirmasi idiologi Ansep sejauh ini.

Di sisi lain, bagi Ansep, Aswa tidak ubahnya seorang remaja yang sedang mencari jati diri. Tentang keluarganya yang beridiologi iblis, ia masih belum bisa mempercayainya. Ansep memang jelas mata-mata iblis. Merekrut Aswa sangat mudah. Tapi ia ingin tau sejauh mana Aswa bisa mengorek informasi darinya.

"Entah mengapa aku berfirasat buruk ketika bertemu dengan wakil kepala sekolah nanti." Secara jujur Aswa mengungkapkan perasaannya saat ini. Misi yang diberikan ayahnya kemungkinan besar akan gagal di sini. Kekurangan informasi jelas membawa kabar buruk bagi Aswa yang lebih mengandalkan kecerdasannya.

"Musuh besarku jelas Penguasa tertinggi. Aku tidak boleh gagal di sini." Aswa kembali berkata-kata. Sedangkan pandangan Ansep terhadap Aswa masih berlum berubah.

"Tenang saja, Pak Wakil adalah orang yang baik hati walau sangat kaku. Semisal dia memukulmu, ya hanya sekedar memukulmu. Dia tidak akan membunuhmu. Hahaha..." Ansep menjadikan kepolosan Aswa sebagai lelucon.

"Kemungkinan terbunuh masih tetap ada. Sekecil apapun itu tetap harus diperhitungkan." Aswa membalas perkataan Ansep dengan serius sambil memasuki lift. Hanya ada mereka berdua saat itu.

Ansep sedikit tertegun, lalu menganggukkan kepala sambil mengelus jenggot. Ansep mulai menaruh apresiasi kepada Aswa. Kata-kata ini menunjukkan kecermatan Aswa yang sangat tajam. Penuh kehati-hatian. Banyak mata-mata gerakan iblis gagal hanya karena meremehkan detil kecil tapi krusial. Untuk titik ini, Ansep kagum dengan Aswa.

"Untuk menghadapi masalah ini, saya butuh sekutu. Sudikah bapak membantu saya?" Aswa kembali menundukkan kepalanya kepada Ansep sesaat sebelum lift berhenti bergerak dan pintunya terbuka.

Setelah keluar dari lift Ansep menepi di sudut lorong. "Apa yang bisa saya bantu, Nak?"

"Saat saya tewas, mohon uruslah jenazah saya." Aswa kembali menunduk dengan penuh pengharapan. Wujud sopan santunnya.

"Hahaha... lagi-lagi kau bersikap seperti itu. Sebelum kau mati tentu aku akan menolong." Ansep lagi-lagi mengelus jenggotnya yang putih.

"Mohon tunggu sampai Saya benar-benar mati. Selain itu..." setelah menyampaikan niatnya, melalui pikiran [Domain 4] Aswa mengeluarkan kain kuning di tangannya.

Ansep terkejut melihat aksi Aswa. Kemampuan menyimpan item dalam domain pikiran sangat sulit. Membutuhkan keluasan alam pikiran. Selain itu dibutuhkan pemusatan pikiran tingkat tinggi dan kehendak yang kuat. Kemampuan ini salah satu syarat kelulusan sekolah. Siswa super jenius dapat melakukan itu di semester kedua kelas 10. Itu rekor sekolah saat ini. Tapi Aswa dapat dengan mudah melakukannya di hari pertama masuk sekolah. Ansep jelas lebih tertarik lagi dengan Aswa.

"Untuk apa kain ini?" Ansep tidak mengetahui asal muasal item ini.

"Itu item kuno. Kain Keramat yang sangat langka. Gunakan itu untuk membungkus mayat saya nanti, jika benar-benar saya mati." Dengan tenang Aswa memberikan kain itu dengan kedua tangan.

"Ini kain untuk membungkus makam pendekar di Pulau Lama. Konon dikenakan sebagai pembungkus tubuh pendekar semasa menyendiri dalam hidupnya. Apakah kau tidak takut jika aku tidak mengembalikan kain ini?" Ansep mengetahui sedikit informasi mengenai Kain Keramat. Saat ini baru pertama kali ia melihat dan memegangnya secara langsung.

"Setidaknya bapak harus membayar mahar untuk kain itu..." Aswa menjawab seadanya.

Ada mahar yang harus dibayar untuk kepemilikan kain itu. Tanpa mahar, walau dibawa ke dimensi lain sekalipun, kain akan kembali kepada pemiliknya. Benda mistis dalam dunia ini tidak mudah berpindah tangan.

Mendapat jawaban lugas dari Aswa, Ansep mengerutkan dahi. Kain Keramat tiba-tiba menghilang, memasuki ranah pikiran Ansep. Penilaian Ansep terhadap Aswa kembali meningkat.

Aswa dan Ansep melanjutkan tujuannya ke ruang wakil kepala sekolah, Diatmar. Percakapan mereka sekarang berkaitan dengan hal-hal lain. Sesekali tawa terdengar di antara mereka. Dengan pertemuan yang singkat ini mereka sudah seperti orang yang telah lama saling mengenal. Secara jujur Ansep mengakui jika ia menyukai Aswa walau bakat fisik dan spiritualnya rendah.

Kembali ke saat sekarang... di kediaman Aswa dan Muhayman

"Apa yang harus ku katakan kepada pak Muhayman?" pikiran ini terus muncul di benak Jeon hampir sepanjang jalan bersama Yanda. Hingga akhirnya mereka berada di depan pintu rumah Aswa.

Tok.. tok.. tok..

Plak!!

"Aduh! Apaan lu No? Main pukul aja..." Yanda mengelus kepalanya yang sakit.

"Pikirkan dulu apa yang mau diomongin... baru ketok pintu." Jeon menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Ya... sebentar." Pintu tiba-tiba terbuka, seorang pria dengan rambut plontos dan berkulit sawo matang berdiri di sana.

"Tas Aswa..." Yanda menyerahkan tas Aswa dengan spontan ke arah pria tersebut lalu bergegas pergi.

Jeon tetap bertahan dengan wajah cemberut ke arah Yanda. Lalu berpaling ke arah pria di dalam rumah. "Maaf, kami teman Aswa. Tadi Aswa pergi bersama seorang guru, sampe kami pulang ia gak ada muncul lagi jadi tasnya kami bawain..."

"Oh, ya... " Jawab pria yang sangat sedikit mirip Aswa ini. Namanya Fidel Hayman, terpaut 3 tahun dengan Aswa yang merupakan anak bungsu.

Perawakan Fidel 10 cm lebih tinggi dari Aswa yang memiliki tinggi 159 cm. Ukuran normal remaja manusia di Negara Antarnusasia. Perut Aswa sedikit buncit, sedangkan Fidel kurus. Perbedaan lain ada di pipi. Pipi Aswa sedikit menggelembung. Sedangkan Fidel memiliki pipi yang kurus dengan dagu tirus. Tapi mereka benar-benar kakak beradik dari ayah dan ibu yang sama.

"Pergi dulu om..." Jeon mempercepat langkahnya pulang ke rumah.

"Kurang ajar!" Fidel mengutuk Jeon karena dipanggil "Om". Bergegas ia mendekati cermin, mengerucutkan bibirnya hingga masuk ke dalam mulut lalu memperhatikan kerutan di wajahnya.

"Bisa-bisanya aku dipanggil om."

"Ada apa?" Muhayman keluar dari kamarnya.

"Oh, ada teman Aswa membawakan tasnya." Fidel menghadap ke Ayahnya setelah menaruh tas Aswa di atas kursi.

Muhayman berjalan ke ruang tamu, lalu duduk di kursi yang menghadap ke arah jendela.

"Aswa masih baru belajar. Walaupun pemikirannya cerdik, menjalani tugas untuk pertama kali masih perlu untuk dikhawatirkan." Sebagai seorang Ayah, Muhayman jelas harus khawatir. Lebih-lebih kemampuan fisik dan spiritual Aswa di bawah rata-rata orang normal. Walau demikian, Muhayman memiliki keyakinan yang mutlak pada Aswa.

"Pada akhirnya aku akan meninggalkan kalian di dunia fana ini. Aku hanya perlu untuk mempersiapkan kepergianku. Tidak boleh dipengaruhi hal-hal yang bersifat duniawi. Bahkan dengan hilangnya Aswa ini."

Di usianya yang sudah uzur untuk ukuran manusia, Muhayman lebih fokus pada perjumpaannya dengan maut. Baginya hidup yang sebenarnya adalah setelah hidup di bumi ini. Hal inilah yang diajarkannya kepada anak-anaknya. Ajaran dari nenek moyangnya.

Laksana orang yang sedang tidur dan bermimpi. Ketakutan, kesenangan, tangis, dan tawa semua itu seolah nyata. Saat orang itu terbangun, ia baru menyadari bahwa yang ia alami adalah mimpi. Begitu pula orang yang menjalani hidup di dunia fana. Ketakutan, kesenangan, tangis, dan tawa semua itu seolah nyata. Saat orang itu mati, ia baru menyadari bahwa yang ia alami tak ubahnya seperti mimpi.

Mendengar perkataan Ayahnya, Fidel menawarkan diri. "Ayah, Fidel memiliki beberapa koneksi di Sekte Kelopak Anggrek Putih. Fidel pikir tidak ada salahnya meminta bantuan mereka."

Fidel dan Muhayman benar-benar tidak memiliki petunjuk di mana Aswa berada. Memanfaatkan koneksi merupakan langkah yang tepat.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Benar, saat ini mayat Aswa sudah berada di Sekte Kelopak Anggrek Putih.

***

Next chapter