webnovel

Ch. 8 Mati di Tangan Mata-Mata Iblis

Seberkas kilau mata Aswa tertangkap oleh Pria Demigod. "Diatmar O'Vshaloma..." Nyala api di tubuh Aswa sangat intens, tapi ia masih sanggup berkata-kata...

Melihat dan mendengar kilatan mata dan perkataan Aswa, kepalan tinju Pria Demigod menjadi semakin erat, hal ini menyebabkan semakin intens pula api di tubuh Aswa.

"Itu... Kau..." kata-kata ini keluar bersamaan dengan nafas terakhir Aswa. Tubuhnya telah gosong hingga tidak dapat dikenali. Dalam kematiannya Aswa tersenyum ke arah Diatmar.

"Diatmar O'Vshaloma..."

"Itu... Kau..."

"Diatmar O'Vshaloma..."

"Itu... Kau..."

"Diatmar O'Vshaloma..."

"Itu... Kau..."

Kata-kata Aswa terus terngiang-ngiang di telinga Diatmar dan meresap ke dalam sanubarinya. Mata Diatmar menatap kosong bersamaan dengan kedua tangannya yang lemas terkulai, jatuh di sisi tubuhnya.

Diatmar mengalami shock!!!

Bau daging terbakar sudah memenuhi ruangan. Api masih sangat intens sebelum Ansep memutuskan untuk menutupnya dengan kain berwarna kuning. Kobaran api menghilang seketika, meninggalkan tubuh hitam, panas, dan mengeluarkan asap.

Rambut Aswa terbakar habis meninggalkan kepala bulat hitam, botak matang.

Bola matanya melotot.

Hidungnya yang dulu mancung kini sudah hampir rata dengan mulut yang terbuka menganga. Memperlihatkan gigi yang masih ditempel daging bibir.

Kain ditubuhnya sudah habis terbakar. Telanjang dalam kondisi terbakar sangat tidak elok dipandang. Wajah Aswa memang tidak tampan, menambahkannya dengan kondisi tubuh penuh luka bakar ini bisa membuat para gadis muntah-muntah...

Posisi tubuh Aswa seperti seekor undang.

Kedua tangannya saling silang memegang lengan atas, memeluk lututnya yang ditekuk rapat dengan perut dan dada.

Posisi ini lebih cocok disebut orang yang sedang kedinginan.

Senyum Aswa kala meregang nyawa membuat Diatmar shock. Aura yang terpancar dalam diri Aswa menekan mental Diatmar. Aura ini melebihi Aura iblis! Sebagai keturunan Demigod, Diatmar jelas tau tidak ada yang ditakutinya sejak kecil. Bahkan ayahnya. Namun ia tidak pernah menyangka hal ini membuatnya sangat ketakutan. Keringatnya menetes saat bayangan senyum Aswa kembali terbesit di ingatannya. Padahal saat memutuskan membunuh Aswa, Diatmar sudah siap dan dengan senang hati meladeni berbagai konsekuensi dari orang terdekat Aswa. Siapapun mereka, akan dibunuh Diatmar. Inilah kesombongan seorang yang memiliki tubuh Demigod yang ternyata masih ada lubangnya.

Diatmar sebelumnya benar-benar telah berpikir bahwa jika ia membunuh anak ini tidak akan membawa banyak masalah. Diatmar jelas sudah hapal Informasi lengkap tentang Aswa dan keluarga rendahannya.

Setelah kematian Aswa, ketakutan menjalari jiwa Diatmar. Tubuhnya gemetar. Saat ini ia masih terus berupaya mengalihkan pikirannya, fokus pada apa yang dilakukan Ansep untuk mengurangi efek survival dalam diri makhluk hidup. Dalam ketakuan, Ia juga tidak pernah terpikir dan menduga jika Ansep akan mengambil tindakan sebelum mayat Aswa terbakar hingga menjadi debu. Otak Diatmar sulit diajak berpikir hingga tidak lagi mampu merangkai kata untuk mengajukan pertanyaan.

"Apakah kau tidak sadar? Tidak ada teriakan minta tolong dari anak ini... Pada akhirnya pertanyaanmu juga terjawab." Ansep memeluk tubuh Aswa yang sudah tidak bernyawa.

"Se-sejauh ini aku memang belum pernah menemui a-anak seperti ini. Bakatnya sangat menjijikan. Tapi tidak ketakutan saat aku memukulinya." Diatmar berbicara dengan terbata-bata. Menggambarkan kondisi mentalnya saat ini. Setelah menarik nafas yang dalam agar bisa rileks, ia melanjutkan dalihnya, "Me-memang itu bukan..." Diatmar tidak mampu melanjutkan kalimat. Ia masih tetap tak dapat mengendalikan kondisi mentalnya.

Keringat terus membasahi tubuhnya.

"Sudahlah... ini bukan masalah. Arum Naja jelas menginginkan tambahan tenaga pendidik. Tidak ada yang melamar, maka cara ini adalah alternatif lain baginya. Mungkin alternatif terakhir. Aku tau kebencianmu kepada Arum Naja kau lampiaskan kepada anak ini. Kau sangat tidak suka dengan segala hal yang terkait dengan Arum Naja." Sambil berbincang Ansep memandang ke arah tubuh Aswa.

"Bukan i-itu..." Diatmar masih mengelak.

"Sebagai mata-mata gerakan iblis, kau masih berkutat pada satu kelemahan. Meremehkan orang lain. Kau jelas meremehkan anak ini." Ansep memanggul mayat Aswa dalam bungkusan kain kuning di pundaknya.

"Hah?" Mata Diatmar terlihat sayu dan berkaca-kaca. Memandang ke arah Ansep. Dalam kondisi seperti ini, untuk menunjukkan raut terkejut pada pernyataan Ansep bahkan tidak segarang dulu.

"Aku katakan kalau kelemahanmu ada pada sifatmu yang masih meremehkan orang lain. Sudah jelas?" setelah merasa cukup berbicara dan merapalkan mantra [Tubuh Tembus Pandang] tubuh kasar Ansep dan mayat Aswa mulai memudar.

"Tunggu sebentar..." dengan kecerdasan gen Demigod, Diatmar mulai menyadari ada sesuatu yang salah dan mencoba menahan Ansep untuk meminta kejelasan. Tekadnya masih ada untuk keluar dari krisis ini.

 "Seluruh tubuhku terasa gemetar. Kenapa aku merasa takut yang berlebihan? Aku bahkan takut kau tinggalkan sendiri..." Seluruh tekad, ranah spiritual dan energi Diatmar telah digunakan hanya untuk melafalkan kalimat ini. Sesaat setelah berbicara, tubuh Diatmar jatuh terkulai. Kakinya seolah tidak sanggup menopang tubuhnya yang kekar.

Ansep kaget melihat drama yang terjadi pada diri Diatmar. Lebih terkejut lagi saat ia menatap wajah wakil kepala sekolah ini.

Pria Demigod yang perkasa sedang menangis...!!!

"Apa yang dilakukan Aswa kepadanya?" wajah Ansep menunjukkan kesan bingung yang menerpa dirinya. Aswa dengan kekuatan fisik dan spiritual sampah mampu membuat seorang Demigod tidak berdaya.

Menang jadi arang, kalah jadi abu.

Pepatah ini sangat tepat menggambarkan kondisi akhir pergolakan antara Diatmar yang sangat berpengalaman dengan Aswa yang baru mendapat mimpi "mesum".

Diatmar yang tentu saja masih hidup terlihat sangat menyedihkan. Menjadi seorang pria tanpa harga diri. Sedangkan Aswa. Mayatnya sudah menunjukkan bahwa ia belum siap menghadapi orang-orang dengan tingkat spiritual yang tinggi.

Sebenarnya tidak ada yang menang dalam drama munafik tersebut.

Kedua-duanya kalah!!

Namun, situasi akan berubah jika Aswa bisa dihidupkan kembali.

Tidak ada yang kalah maupun menang kala itu.

Skornya imbang.

Seri.

Dalam permainan catur disebut: REMIS.

"Meninggalkanmu sendirian di sini akan membuatmu malu. Kendalikan dirimu. Tahan. Jangan sampai ngompol!" Ansep menggelengkan kepalanya sambil marah saat memandang kondisi Diatmar.

Sebuah gadget tipis tiba-tiba muncul di hadapan Ansep. Saat ini ia sedang mencoba menghubungi seseorang untuk membereskan ruang wakil kepala sekolah. Membereskan serapi mungkin seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Diatmar... Setidaknya kamu harus berupaya untuk duduk!" Ansep sudah merasa kesal hingga membentak Diatmar.

Siapa Ansep Balasudewa hingga berani bertindak sejauh ini kepada jajaran pimpinan tingkat tinggi di bawah kepala sekolah?

Namun, seperti anak kecil yang patuh dengan orang tua, Diatmar sebisa mungkin berupaya bangkit!

Ansep meraih tangan Diatmar, mengalungkannya di punggung lalu memegang pinggang Diatmar dengan tangan kanan. Mayat Aswa masih dipanggul Ansep di pundak kiri.

Membopong dan memanggul dua sosok ini bukan tugas sulit bagi Ansep.

Sesaat setelah merapal kalimat mantra [Tubuh Tembus Pandang], tubuh tiga sosok ini dengan cepat memudar. Lalu hilang tak terlihat secara kasat mata.

Langkah kaki terdengar dengan samar. Jendela kaca tiba-tiba terbuka diiringi hembusan angin yang masuk dengan semilir ke dalam ruangan. Masuk melalui sela-sela tubuh tiga sosok. Sesaat kemudian angin masuk lebih kencang. Tiga orang ini telah pergi meninggalkan tempat kejadian perkara.

Beberapa menit kemudian sosok lain masuk melalui jendela yang sama lalu menutupnya.

Sekolah Spiritual Menengah Atas Mahakama, Pukul 13:10

Para siswa berhamburan keluar sekolah setelah Bel berbunyi. Banyak ras yang bersekolah di sana. Selain manusia, ada Ras Elf, Ras Kadal jenis tokek, Demigod, Ras Neofelis yang terlihat memdominasi. Masih ada ras lain yang tubuhnya seperti tanaman namun jumlahnya hanya satu dari sekian banyak kerumunan.

Jeon sudah tidak lagi marah dengan dua orang tetangganya. Bersama Yanda ia kebingungan mencari Aswa yang tidak berada di kelas. Yanda berkali-kali mencoba menghubungi Aswa. Namun tidak dapat menjangkau ke jaringan Aswa.

"Mengingat kejadian ia dihajar lalu bertemu dengan Godel, aku merasa terjadi sesuatu yang buruk dengan Aswa. Hari pertama sekolah sudah mengalami banyak konflik." Hati Jeon seperti menangkap sesuatu yang buruk terjadi pada Aswa.

Walau sekalipun terbukti benar Aswa beridiologi iblis, Jeon masih mau berteman dengannya. Suatu ketika manusia bisa saja menjadi baik.

Di usia mereka saat ini, masalah utama yang sering dihadapi adalah "pencarian jati diri". Hal ini sudah lumrah, biasa saja, dan harap maklum. Mereka yang memiliki jiwa yang bijak dapat menerima hal ini dengan lapang dada.

"Samudra Karang Wasi sudah dijemput keluarganya pukul 10 tadi. Kemungkinan besar tidak berurusan dengan Aswa. Kalau Godel..." Sebelum menyelesaikan kalimatnya, mata Yanda menatap pria berambut merah bertelanjang dada yang berjalan ke arahnya.

"Oh, itu Dia."

"Aswa?" Jeon segera berbalik dan melihat Godel yang sedang berjalan sendirian.

"Aswa? Mana?" Godel melihat ke arah belakang setelah Jeon menyebut nama "Aswa". Tidak ada Aswa yang Godel lihat.

"Aswa tidak mucul di kelas. Ku pikir ia bersama mu." Jeon merasa khawatir dengan Aswa. Dalam situasi normal Jeon tidak akan berinteraksi dengan Godel. Itu sudah jelas.

"Aku juga sudah mencoba menghubunginya. Pesan singkatku pun belum terkirim ke gadgetnya." Godelnya merasa bingung dengan kehilangan Aswa yang tiba-tiba ini.

"Semoga item Rantai Babi-nya baik-baik saja." Godel menarik celana longgarnya lebih tinggi. Celana yang diikat dengan tali plastik, pengganti ikat pinggang. Ia lalu bergegas meninggalkan Jeon dan Yanda.

Jeon menghalangi jalan Godel. "Tolonglah. Mari kita cari bersama."

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari seorang Aswa. Ia jelas bisa menjaga diri." Godel mencoba melewati Jeon.

Jeon kembali beralih ke hadapan Godel. "Kalian beridiologi sama, bukan? Kamu jelas lebih tau sekolah ini. Jadi, tolonglah..."

Godel menggaruk kepalanya hingga ketombe bertebaran ke mana-mana.

"Baiklah... baiklah." Niat Godel jelas tidak tulus. Ia hanya ingin menjalani aktivitas lain saat tidak bertemu Aswa.

Jeon membiarkan Godel berjalan meninggalkannya bersama Yanda. Memandang punggung bertato Godel yang semakin lama semakin jauh berjalan. Ia sangat berharap Godel bisa dipercaya mencari Aswa.

"Permisi..."

Seorang Gadis berambut oranye berlalu melewati Jeon. "Ya..." Jeon tidak bisa menahan rasa kaget.

Memandang wajah gadis yang mengagetkannya, tidak ada kata-kata lain yang bisa dikatakan Jeon. Gadis ini bernama Scarlet Ningtyas Pipit Ungu memiliki kulit putih, bibir tipis dan hidung mancung. Sebagai sesama gadis, Jeon tidak bisa menutupi kalau paras Ning cukup cantik. Hanya saja bukan paras itu yang membuatnya kaget, tapi Ning jelas sekelas dengan Aswa.

"Maaf... bisa tunggu sebentar?" Jeon mencoba memegang lengan Ning, sesaat kemudian segera melapaskannya.

"Oh, yaa..." Ning menghentikan langkahnya ketika Jeon memengang lengannya.

"Aswa.. Ada melihat Aswa? Teman sekelas anda." Jeon bertanya sambil memegang kedua tangannya sendiri.

"Ya... tadi Aswa pergi bersama seorang guru. Sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kembali. Oh, iya ini tasnya. Kalian temannya, bukan?" Ning meyakini Jeon adalah temannya. Tidak diragukan lagi. Sehingga ia menyerahkan tas punggung Aswa yang terlihat cukup kecil.

"Makasih ya..." Jeon mencoba tersenyum kepada Ning.

"Sama-sama... sampai jumpa lagi..." Ning melambaikan tangan lalu meninggalkan Jeon.

"Kalau ada tasnya... Aswa seharusnya kembali kemari!" Pikiran Yanda sedikit cerdas kali ini.

"Apa kita harus menunggunya?" Jeon bertanya kepada Yanda karena sekarang ia merasa lebih khawatir.

"Sebaiknya kita pulang ke rumah. Biar aku yang mengantar tas itu ke ayahnya. Aku percaya Aswa baik-baik saja." Yanda mengambil tas Aswa dari Jeon.

"Aku berpikir sebaliknya. Tidakkah ini aneh? Mari kita tunggu satu jam lagi. Aku berfirasat buruk saat ini." Setelah menyerahkan tas Aswa, Jeon tersandar di dinding sekolah.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu memang. Tapi sebaiknya kita tunggu beritanya di rumah kita masing-masing." Yanda berjalan meninggalkan Jeon.

Tanpa berkata-kata Jeon ikut pergi mengikuti Yanda.

Di tengah hutan belantara, di tepi Kota Samareand.

Ansep menghentikan pergerakannya. Setelah mengawasi situasi di sekitarnya dengan cermat, ia masuk ke pintu bawah tanah yang terbuka secara otomatis. Sesaat setelah masuk ke bawah tanah, pintu tertutup dengan sendirinya. Daun pintu dilapisi tanah tebal dengan tanaman rimbun yang tumbuh di atasnya untuk menghindari orang-orang yang tidak diinginkan.

***

Next chapter