webnovel

Ch. 3 Teman Lama Abu-Abu, Teman Baru Jalur Setan

Rumah yang ditingali Aswa dan ayahnya sangat sederhana untuk ukuran dunia ini. Luasnya hanya 8x12 meter persegi. Ruang keluarga mendapat porsi paling luas, di situ ada dapur yang terlihat seperti mini bar. Ada dua kamar di lantai bawah dan satu kamar di lantai dua. Bentuk atapnya segitiga, memanjang ke belakang. Di atas atap ada budidaya tanaman rumput spiritual. Tanaman ini merupakan bahan ramuan untuk binatang spiritual jenis anjing.

Sewaktu-waktu binatang spiritual dapat menyerang perkampungan. Ramuan ini dapat melumpuhkan binatang spiritual jika dioleskan pada senjata. Serangan dari binatang spiritual juga menyebabkan rumah-rumah di kawasan ini dibangun lebih tinggi dari tanah. Sekitar 2 meter. Selain untuk menghindari banjir yang selalu datang setiap pasang air laut.

Banjir di Kota Samareand adalah gejala alam yang biasa penduduk alami. Tiap rumah menyediakan perahu untuk berpergian kala gejala itu datang. Mereka menikmatinya, dan menjadi daya tarik wisatawan.

Pagi itu Aswa membuka pintu rumah dan bersiap menuju ke sekolah barunya. Di depan rumah seorang pria dan seorang wanita sedang menunggunya. Yandara Ariesta dan Jeon Moftuha. Yandara teman sekelas Aswa di sekolah menengah pertama. Berperawakan tinggi kurus sekitar 174cm, berotot keras dengan totol macan dahan di punggung tangannya. Rambutnya berwarna abu-abu, lurus ke atas. Ayah Yanda seorang Demigod, pahlawan masa lalu Negeri Federal Antarnusasia yang sudah meninggal. Ibunya adalah keturunan Ras Neofelis, makhluk seperti manusia namun sebagian kulitnya dipenuhi corak macan dahan khas Kalimantan. Yanda kerap menggunakan sarung tangan untuk menutupi kulitnya. Namun gigi taringnya yang runcing tidak ingin ia tutupi. Menunjukkan kesan garang, ia gemar hanya menggunakan  kaos dalam. Jas sekolah dibiarkan menggantung di pundaknya.

Sedangkan Jeon, Aswa sudah tau namanya sewaktu anak-anak. Mereka tidak pernah satu sekolah dan tidak pernah bertegur sapa. Perawakan Jeon kurus setinggi 160 senti meter. Kulitnya putih mulus, bermata sayu dengan telinga yang sedikit runcing. Jeon bukanlah dari Ras Elf,  walau memang identitas sang Ayah dirahasiakan ibunya yang merupakan ras manusia asli.

Jeon mengenakan blouse batik berwarna putih yang ditutupi blazer merah hati khas sekolah. Headset yang dikenakannya juga berwarna putih dengan variasi bening berbahan mika. Rambutnya yang berwarna kuning tidak disisir dengan rapi sehingga nampak sedikit keluar dari sisi feminim.

"Bah... peringkat satu mau terlambat ke sekolah... kayak dewa saja lagu lu!!" Yandara menunjukkan wajah kesal karena merasa menunggu lama, padahal hanya lima menit. Jeon sibuk bermain gadget ilusi keluaran satu tahun silam.

"Ayo berangkat no, dari tadi kau juga sibuk sendiri. Itu gadget mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat!!" Yandara beranjak dari sandarannya di pagar setelah memandang Jeon yang biasa dia panggil Jeno.

Dengan bakat bawaan mereka berdua untuk masuk ke sekolah yang sama dengan Aswa tidak lah sulit. Hanya saja untuk kasus Yandara, sekolah yang akan mereka masuki lebih banyak mengajarkan kemampuan spiritual dibanding kemampuan fisik. Para siswa diharapkan memiliki budi pekerti yang luhur untuk mencapai tahap spiritual tertinggi.

Yandara? Anak bengal yang malas melakukan ritual ibadah, terobsesi menjadi spiritualis iblis.

Nasib yang malang, Yandara dilahirkan di keluarga spiritualis taat. Memberikan ia gen kebaikan dalam norma. Semestinya, jika mengikuti hasrat terpendam ia harus memilih sekolah yang lebih mengutamakan kekuatan fisik dan belajar seni iblis sembunyi-sembunyi. Remaja putih yang hitam. Abu-abu.

Keluhuran budi dan ritual rutin memicu kekuatan spiritual untuk memudahkan manusia dalam mengeluarkan potensi dirinya. Potensi ini dapat berbentuk perisai tubuh, kecepatan gerakan, sihir elemental, dan masih banyak kegunaan lainnya.

Bagi mereka yang menyembah kekuatan, sebenarnya potensi itu dapat pula dipicu. Tanpa perlu bakat. Anda hanya perlu bekerja lebih keras. Menggunakan seluruh sumber daya yang ada. Semua cara adalah halal. Jalan pintas selalu ada. Kalau memang bakat masih diperlukan, ambillah bakat itu dari orang lain. Masalah selesai.

Itu jalur iblis. Sangat praktis.

Di Gerbang Sekolah Spiritualist Menengah Atas Mahakama

"Kalian duluan. Aku ingin menyapa keluargaku di kelas 12." Yandara meninggalkan Aswa dan Jeon tanpa persetujuan keduanya.

"Apa yang terjadi di depan?" Jeon melirik dengan terkejut  ke arah pria berambut merah di tengah kerumunan. Seratus meter sebelum memasuki gerbang sekolah.

"Aku cuma minta 1 Rupiah! Tidak perlu sampai Anda berdarah!" pria berambut merah mengambil koin emas dari seorang siswa baru. Ini tradisi rutin. Dia hanya akan berhenti setelah mendapat 10 Rupiah tiap harinya. 10 orang sudah cukup.

Tujuh orang siswa menyerang secara bersamaan. Merapalkan mantra yang menyebabkan lengan 3 orang siswa berbalur cahaya yang berbeda. 4 yang lain menyerang dengan bergerombol.

Dengan sekali pukul 1 penyerang terjatuh, disusul dengan satu tendangan ke arah pinggang yang menjatuhkan penyerang yang lain.

Dua penyerang berikutnya berhasil melancarkan serangan. Namun diiringi dengan wajah masam karena memukul tubuh dan wajah es pria berambut merah. Dua siswa ini dibiarkan kesakitan di atas tanah.

"Masih berniat menyerang??" pria berambut merah berlari ke arah tiga siswa yang siap melancarkan serangan.

Sambil melayang di udara pria berambut merah menabrak bahu siswa pertama, menendang siswa kedua ke udara dan mencekik leher siswa terakhir.

"Ma.. ma.. maf.. bang!! Ugh.." merasa sulit bernafas siswa ini mengeluarkan dua lembar uang kertas 10 Rupiah. Uang terjatuh ke tanah.

Setelah melepaskan leher siswa, pria berambut merah mengambil selembar uang 10 Rupiah. Mengembalikan 3 receh koin 1 Rupiah.

"Kalian!"

Saat ini giliran Jeon dan Aswa.

Dengan kehendaknya, tangan Aswa memancarkan cahaya. Aswa mengeluarkan parang! Pekakas sejenis golok dari besi hitam yang biasa dipakai oleh petani. Bagian ujungnya tidak runcing, lebar dengan hanya satu sisi yang tajam. Tidak cocok untuk menghunus seperti pedang. Menuju ganggangnya bentuk bidang parang akan lebih mengecil.

Tanpa basa-basi, menebas ke arah pria berambut merah!

Wusss...!!!

Pria berambut merah mengelak dan balik menyerang dengan satu telapak es. Telapak ini setajam pisau, menuju leher Aswa yang terbuka tanpa pertahanan.

Cesss.... darah keluar di leher Aswa.

"Anak lemah ini... pakai artifak haram. Percuma." pria berambut merah mencela dalam hati.

Pukulan es berbalik arah menuju punggung Aswa.

tang... crackk...

Pukulan es mengenai sisi tajam parang dan mengalami keretakan. Serpihan es jatuh ke tanah.

Sabetan parang menjadi cepat dan tidak karuan, menyebabkan pria berambut hitam hanya mencoba menangkis serangan.

"Serangannya tanpa pola, tapi tujuannya jelas. Ingin membunuhku. Anak baru ini boleh juga." Matanya bersinar melihat potensi Aswa.

Pria berambut merah mengeluarkan ledakan es melalui mulutnya. Seketika Aswa tidak dapat bergerak karena membeku.

Jeon bertindak, menyentuh permukaan es dan meledakkannya. Aswa berdiri di sisi Jeon dengan serpihan es yang beberapa masih menempel di seragam sekolahnya.

Pria berambut merah tersenyum, "Ini dia... ini dia... kawan, aku undang kau ke kantin bawah sekolah. Ada sedikit sambutan untukmu."

Aswa mengambil tisu yang diberikan Jeon dan meletakkannya di leher. Luka ini hanya berupa goresan, masih jauh dari lubang penyawaan.

"Sekolah ini mengejar citra sebagai sekolah orang-orang yang saleh. Tapi tetap ada siswa berhati iblis yang bisa masuk," Jeon memandang ke arah punggung pria berambut merah yang berjalan menuju sekolah.

"Dunia tanpa diskriminasi sangat indah... selamat datang di Sekolah Spiritualist Menengah Atas Mahakama." Aswa tersenyum sambil menunjuk ke arah gapura yang bertuliskan "Selamat Datang di ...."

Bentuk bangunan Sekolah Spiritualist Menengah Atas Mahakama seperti stadion sepak bola, namun bulat penuh. Di tengahnya ada gelanggang pertempuran berdiameter 100 meter. Dikelilingi gedung sekolah dengan empat kaca jendela yang tersusun secara vertikal menandakan ada 4 jumlah lantai. Belum termasuk lantai bawah yang menjadi wadah perniagan bagi siswa. Ada 2 pintu masuk utama, dan 10 pintu masuk lainnya.

Murid yang terdaftar saat ini berjumlah 700 lebih. Terdiri dari kelas 10, 11 dan 12.

"Aswa, Jeon... di sini!!" Yandara melambaikan tangan di tengah kerumunan siswa.

Plok...!

"Aduh... ngapa ya?" Yandara pura-pura bingung saat kepalanya dipukul Jeon.

Plok...!!!

"Bocah anjer, kabur sendirian...!!" wajah Jeon terlihat murka. Giginya hampir berubah menjadi taring.

"Aku cari bantuan tadi..." Yandara hanya menutup kepalanya sambil terduduk saat Jeon terus-terusan memukul kepalanya.

Plok...! plok...! plok...!

"Mana batuannya??... mana?! !!" Jeon mengutuk.

Saat itu Aswa pura-pura melerai, hanya memegang tangan Jeon dengan longgar. Hitung-hitung buat hukuman bagi teman yang paling setia.

Tragedi ini menarik perhatian siswa di sekelilingnya. Banyak yang tertawa melihat kejadian itu.

Mereka bertiga berpisah karena berbeda kelas, Jeon dengan tangan merah masuk ke kelas 10-2, Yandara dengan benjolan tiga tingkat ke kelas 10-7 dan Aswa masuk ke kelas 10-1. Goresan luka tidak lagi mengeluarkan darah.

Posisi yang paling strategis dalam kelas adalah barisan kursi nomor dua paling belakang. Tidak banyak mendapat perhatian dari orang lain.

Tapi kursi dari depan hingga nomor dua paling belakang sudah diisi penuh. Siswa kelas 10-1 adalah peserta ujian yang memasuki peringkat 1 sampai 24. Mereka adalah orang-orang berbakat yang serius mengikuti kurikulum sekolah. Bagi mereka, duduk di kursi paling depan adalah yang terbaik untuk memudahkan mereka memusatkan perhatian kepada tutor.

Praktis hanya kursi belakang yang tersisa, dan tidak ada perebutan untuk mendapatkan kursi itu. Itu kursi untuk mereka yang datangnya terlambat di hari pertama masuk sekolah. Bagi Aswa itu tidak buruk.

Melihat gadis yang duduknya paling dekat dengan kursinya Aswa memulai perkenalan, "Asnawarman Hamran, dipanggil Aswa, salam kenal..."

"Ning... ya... sama-sama" gadis ini kaget saat tiba-tiba Aswa menghulurkan tangan mengajak perkenalan, sang peringkat satu tes masuk.

Rambut Ning berwarna oranye, ciri khas keluarga Pipit Ungu. Keluarga ini berada di bawah pengawasan pemerintah karena diduga berafiliasi dengan gerakan iblis tingkat nasional.

Pada bagian dada kanan balzer Ning tertulis namanya: Scarlet Ningtyas Pipit Ungu. Setelah perkenalan di kelas nanti, tujuan Aswa selanjutnya adalah menemui pria berambut merah di kantin bawah sekolah. Pria di jalur setan, Teman barunya.

***

Next chapter