webnovel

Ch. 18 Maafkan Aku, Ning...

Yanda mulai menikmati perannya sebagai juru tembak. Tidak terhitung tembakannya mengenai sasaran. Adapun Neo merasa kesal tidak bisa menyerang Manglong. Setiap ia masuk ke dalam banjir saat itu juga ia harus merasakan pedihnya disengat Manglong. Mereka terus menyerang Manglong yang hendak menghalangi jalan mereka menuju jalan rahasia kediaman keluarga Pipit Ungu.

"Aku mulai penasaran, mengapa kau tau jalan rahasia menunju Keluarga Pipit Ungu?" kata Aswa. Pengetahuan Godel tentang jalan rahasia ini jelas menarik perhatian Neo. Di Pulau Lama, Keluarga Pipit Ungu terkenal dengan jumlah pendekarnya yang banyak dan sangat hebat. Tidak mudah meladeni keluarga ini. Sehingga jalan-jalan rahasia benar-benar menjadi rahasia. Upaya pembantaian beberapa kali keluarga Pipit Ungu alami. Hingga sekarang mereka tetap berdiri kokoh!

Sejak dahulu, banyak keluarga yang diduga berafiliasi dengan gerakan iblis dibantai penguasa hingga namanya tak terdengar lagi. Di negara lain bahkan menyebut nama salah satu keluarga yang dibantai adalah kejahatan berat. Pelakunya harus dihukum mati. Beruntung hal itu tidak berlaku di Negara Federal Antarnusasia.

"Yah, kita sudah sampai..." ujar Godel. Saat itu Godel mengenakan topeng merah dengan dua lubang untuk mata. Semua mengenakan topeng serupa untuk menyembunyikan identitas. Kecuali Neo. Topengnya terjatuh entah di mana. Hal ini membuat Godel kesal dan berharap Neo tertangkap lalu dibunuh dengan sadis!

Mereka berada di area pemakaman keluarga Pipit Ungu. Tepat di pinggir hutan kota. Beberapa ratus meter dari tempat mereka saat ini dapat terlihat dengan jelas kediaman Keluarga Pipit Ungu yang sudah tidak berdiri megah. Bangunan utama telah 60 persen terbakar. Terpampang jelas di gelap malam. Walaupun saat itu tengah bulan purnama.

Awan hitam tebal menaungi  bangunan utama. Terus-terusan menembakkan petir ke arah para pendekar yang masih melakukan perlawanan.

Jeon tertegun melihat peristiwa itu. Persis dalam film yang pernah ia tonton. Hanya saja ini nyata baginya.

Ada lubang di salah satu makam. Itu jelas bukan makam. Tapi jalan keluar pelarian. Bercak darah tidak begitu kering di seputaran lubang itu.

"Ayo kita masuk!" Perintah Neo.

Dengan sengaja Godel merentangkan kakinya hingga membuat Neo terguling di tangga. "Del, cukup bermain-main! Kita tidak banyak waktu." Kata Aswa mengingatkan.

"Aku tidak sengaja, Wa!" jawab Godel tenang. Hingga saat ini ia masih tidak suka gaya Neo yang sok jadi pemimpin.

Aswa melirik Godel lalu berkata, "Setelah masalah ini selesai, kau bisa beradu tanding melawannya... jika perlu aku dan kamu yang beradu tanding. By one?"

"Sepertinya itu tantangan menarik. Baiklah aku akan serius setelah ini," ujar Godel.

Aswa melirik ke arah Jeon yang masih tertegun. "Kau rekam kejadian ini lalu masukkan ke TouYube! Mungkin bisa menghasilkan uang..."

Yanda menarik tangan Jeon. Membimbingnya masuk ke dalam lorong makam.

Mata Jeon terbelalak melihat banyak mayat tertumpuk di sepanjang lorong itu. Di antaranya banyak anak-anak dan wanita!

*Plak!* Aswa menampar pipi Jeon. Datang menyelamatkan Ningtyas adalah keinginan Jeon.

Sambil meremas kerah jubah Jeon, Aswa berucap, "Gara-gara kau, Ning bisa saja sudah mati sekarang!"

Mendapat perlakukan kasar dari Aswa membuat Jeon menjadi sadar. "Pembantaian ini tidak benaar! Terlebih, Aku sudah berada di sini. Sebentar lagi kita akan sampai. Ningtyas belum mati! Hiaaattt...!"

Jeon berlari dalam lorong. Menjadi yang pertama di antara tim. "Ikuti Jeon! Dia bisa di luar kendali!" Yanda berseru. Lalu berlari mengejar Jeon. Yang lain mengikuti dari belakang, berlari dengan cepat.

"Tidak ada simpangan dalam lorong tersebut. Jeon tidak mungkin tersesat," Kata Godel.

Berlari dengan cepat, Aswa menghampiri Godel. "Del, sepertinya ada tamu yang datang lewat jalur ini juga..." ujar Aswa setelah melihat beberapa mayat yang menggunakan jubah serupa namun berbeda dengan yang dimiliki keluarga Pipit Ungu.

"Ya, sepertinya mereka mengikuti anggota keluarga yang kabur lewat jalur ini," kata Godel.

Terus-terusan berlari tidak membuat nafas mereka berat. Hasil olah fisik tim ini sudah cukup baik. Bahkan Aswa yang memiliki postur tubuh yang sedikit berlemak masih bisa berlari dengan kecepatan tinggi.

"Ada gerbang!" Yanda berseru.

"Hati-hati... kita tidak tau siapa yang ada dalam ruangan itu!" ujar Aswa.

Jeon telah masuk ke dalam gerbang. Perkataan Yanda benar. Jeon di luar kendali!

Puluhan belati tiba-tiba menyerang tubuh Jeon. Beberapa berhasil Jeon tangkis dengan Sepatula, tiga bilah pisau merobek kulit paha dan perutnya! Akan tetapi Jeon tidak merasakan apapun! 

Seketika tubuh dan Spatula yang dipegang Jeon mengeluarkan api! Secepat-cepatnya Jeon berlari ke arah seorang pendekar berbaju hitam. 

*Bam!*

Pukulan spatula membentur kepala pendekar tersebut hingga terpental beberapa meter. Seberkas cahaya menyelimuti penyerang itu. Membuatnya menggelepar-gelepar!

"Panas! Toloong... panas!" teriaknya.

Aswa sudah berada di sisi Jeon dan segera menyalurkan energi pengobatan. Pendarahan Jeon segera berhenti dan luka-lukanya mulai pulih.

Saat memberikan pengobatan, Aswa merasakan hawa panas di tubuh Jeon. Aswa  mempersepsi bahwa aura api yang ditimbulkan sesungguhnya bukan api, melainkan sumber cahaya! Boleh jadi elemen ranah pikiran Jeon adalah cahaya. Hal ini juga yang menyebabkannya bisa melayang di udara! 

Godel yang menyaksikan adegan itu juga merasa takjub. Ranah pikiran berelemen cahaya benar-benar super langka di Benua Kuning!

Jeon mulai diperhitungkan oleh Godel.

Dua belas pendekar berpakaian hitam muncul dengan tiba-tiba menembakkan listrik. Tim menghindar dan berpencar untuk melakukan serangan balasan. Hanya Neo yang terkena serangan itu.

"Aaagh... aku benci kena strum!" teriak Neo dengan kesal.

Formasi dua belas pendekar terpecah karena Godel dan Aswa berinisiatif menyerang dari dua sisi berbeda. Sedangkan Jeon dengan gagah berani masuk ke dalam formasi dua belas pendekar tersebut. Jeon saling berbagi pukulan dengan dua orang pendekar. Walau kewalahan, Jeon masih dapat bertahan. 

Tidak mau kalah, Neo menyusul Jeon dan langsung berhadapan dengan empat orang pendekar. Bertarung menggunakan palu seberat 20 kilogram membuat pergerakan Neo menjadi lambat. Alhasil, Neo tidak dapat membalas tiap pukulan dari empat pendekar itu.

Melihat satu kesempatan, Yanda mencoba menyumpit seorang pendekar penyerang Jeon. Ia masih ragu-ragu menyumpit manusia. Tapi dalam keraguan itu Yanda tidak sengaja meniup sumpit.

*Bles!*

Jarum sumpit menancap di tubuh pendekar itu. Walau tidak begitu dalam, pendekar tersebut mulai kehilangan keseimbangan dan lalu tidak sadarkan diri. Ini jarum beracun!

Yanda sempat terkejut sebelum tersenyum puas. Ia masih harus banyak belajar menjadi iblis yang tidak takut mengambil nyawa orang lain...

Aswa melompat ke arah salah satu pendekar. Lalu menebaskan Mandau dengan lemah. Pendekar itu menangkis menggunakan pedang. Seketika itu juga baluran Kain Keramat pada parang terbuka. Tanpa benturan keras, Aswa berlutut di tanah dengan satu kaki. Sejurus kemudian Aswa memutar tubuhnya, menyebabkan parang di tangan kiri Aswa merobek sedikit paha depan pendekar tersebut. Aswa lalu mengarahkan bilah tumpul Mandau ke perut.

*Uuegh..!* Pendekar tersebut memuntahkan darah lalu tak sadarkan diri.

Saat ini Aswa urung melakukan pembunuhan. Selama ia bisa melumpuhkan maka ia hanya sekedar melumpuhkan. Terlebih tebasan parang maupun Mandau tidak begitu mempan terhadap tubuh pendekar ini. Setidaknya pertahanan yang dimiliki para penyerang ini sudah ditingkatkan dengan baik. Di samping itu mereka juga melengkapi diri dengan beberapa item penguat tubuh. 

Kain Keramat kembali membalur parang tanpa perintah Aswa. Hal ini sejenak membingungkan Aswa.

Sama halnya dengan Aswa, Godel hanya bisa melumpuhkan lawannya. Walaupun demikian, Godel sangat puas dengan kinerja sebelas pisau yang ia pinjam dari Aswa.

Dalam waktu singkat dua belas pendekar berhasil mereka kalahkan. "Jangan cepat puas! Mereka hanya bawahan," pesan Godel mengingatkan.

"Kau mengambil momen kebangkitanku, Jangkung!" teriak Neo kepada Yanda. Seluruh pendekar yang dilawan Neo dibantai oleh Yanda dengan Sumpitnya. "Sorry... sorry, bos!" kata Yanda dengan menyesal.

Aswa menepuk pundak Neo lalu kembali berlari menuju kediaman Ningtyas. "Ayo, Bos! Di dalam masih ada seribu musuh!" seru Aswa.

"Lain kali jangan ulangi, ya!" pinta Neo. Semangat Neo kembali bergelora mendengar perkataan Aswa.

Tanpa tanda-tanda kelelahan, tim bergerak dalam lorong panjang. Setidaknya mereka sudah berlari sejauh satu kilometer. Jantung Jeon berdegub kencang. Pikirannya terfokus pada penyelamatan Ningtyas.

Tim tiba-tiba menghentikan gerakannya.

"Oh, tidak... kita berada di persimpangan. Kita harus cari petunjuk!" keluh Yanda.

Jeon masih terus berlari mengambil jalur lurus. "Alah... ambil lurus saja!" instruksi Neo sembari berlari mengikuti Jeon.

"Hah, seharusnya kita ambil jalur kiri! Tapi biarlah..." kata Godel dalam hati.

Kala itu, sambil berlari Aswa memandang ke arah Godel. Membuat Godel merasa tidak nyaman. "Jangan bilang kau penyuka sesama jenis!" bentak Godel kepada Aswa.

Mampu sedikit membaca pikiran Godel, Aswa mengerti jika mereka salah jalur.

Sejak Godel menyebut nama keluarga Pipit Ungu, terlintas di pikiran Aswa isi pikiran Godel. Ada pengalaman mendalam yang dialami Godel dari Keluarga Pipit Ungu.

Godel sebenarnya hafal jalur rahasia ini. Ia berbohong jika hanya tau kurang dari setengahnya. Walaupun hingga sekarang Godel belum tau secara persis gudang rahasia.

Aswa secara mandiri sudah merencanakan semua dengan matang. Tanpa diketahui rekan-rekannya! Membuat rencana bersama bagi Aswa sebenarnya hanya untuk misi utama. Misi sampingan perlu keluwesan. Aswa harus sangat fleksibel dalam menyusun strategi dan taktik dengan melihat hasil analisis situasi. Mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan terkini untuk situasi internal. Menginventaris sebanyak mungkin peluang dan ancaman yang sedang dan akan dihadapi.

Hal terpenting bagi Aswa dalam kasus ini adalah "mobilisasi" lingkungan! Memikirkan perkembangan yang semakin menguntungkan membuat Aswa sengaja tersenyum untuk menarik minat Godel.

"Hah! Orang Gila!" kutuk Godel saat melihat Aswa tersenyum sendiri. Akan tetapi senyum Aswa sedikit membuatnya was-was. "Apa yang sedang direncanakan Aswa?" pikir Godel.

.....

Akhirnya Jeon menjadi yang pertama memasuki sebuah ruangan besar tanpa pintu selain tempat masuk mereka saat ini. Di ruangan itu ada dua kerumunan pertarungan. Tidak terhitung jumlah mayat yang berada di lantai. Membuat gerakan para pendekar menjadi terbatasi. Lantai sangat licin karena genangan darah!

Satu kerumunan di sisi kiri hingga tengah ruangan tampak paling banyak jumlah pendekarnya. Setidaknya sepuluh orang pendekar Pipit Ungu melawan tiga puluh orang pendekar penyerang. 

Kerumunan di sudut lain mempertontonkan pertarungan dua puluh penyerang melawan satu orang wanita! Walaupun sosok ini berkerudung dengan wajah yang ditutupi topeng, tonjolan di dadanya jelas menunjukkan identitas gender.

Jeon berlari menuju pertempuran yang melibatkan wanita bertopeng.Aswa segera mengejar Jeon.

"Bantu yang sebelah kiri!" teriak Aswa sambil menarik tangan Jeon yang masih ngotot ingin membantu wanita itu. "Lihatlah! Walau kalah jumlah wanita itu sebenarnya masih bisa menghabisi mereka."

Dengan sekuat tenaga Jeon melepaskan tangan Aswa lalu berlari ke arah pertempuran yang berada di sisi kanan. Genggaman tangan Aswa menjadi longgar saat ia tertegun melihat gaya bertarung wanita bertopeng. 

"Hah? Ia bertarung menggunakan lima pedang dengan hanya dua tangan! Kecepatan macam apa itu?" pikir Aswa dengan takjub.

Ada total lima sarung pedang di pinggang wanita bertopeng. Kelima Pedang keluar dan masuk sarung sekaligus! Saking cepatnya gerakan tangan wanita ini hingga seolah tampak seperti menggunakan lima tangan!

Aswa bergabung dengan Neo, Yanda dan Godel yang sudah masuk ke pertempuran di sisi kiri. Ia hanya bertarung di sisi Yanda untuk melihat setiap perubahan situasi. Sesekali ia melihat ke arah Jeon yang membantu wanita bertopeng. Usaha wanita bertopeng cukup terbantu dengan kehadiran Jeon. Ini terbukti dengan hanya ada empat orang penyerang yang tersisa.

Tiba-tiba para penyerang memutuskan kabur melalui jalur rahasia makam. Jeon memandang ke arah wanita bertopeng. Seketika sosok wanita itu telah tiada.

Setelah melihat sekeliling tidak ada jalur masuk lain. Jeon terduduk di lantai.

Pendekar dari keluarga Pipit Ungu hanya tersisa lima orang dalam ruangan itu. Seorang pendekar Pipit Ungu berusia 40 tahun mendekat ke arah Godel. Saat itu pula Godel menatap dengan sinis.

Pendekar itu berkata kepada Godel, "Sepertinya kita pernah bertemu. Oh, tapi Terima kasih karena mau membantu kami..." pendekar ini lalu menatap tim remaja ini, "Kalian berniat mencuri, ya?" tanyanya.

"Kami ingin menyelamatkan seseorang! Sekaligus mau mencuri! Bagaimana, Wa?" Jawab Neo tegas dan tanpa diperlukan ia berkata jujur.

"Paman, di mana Ning sekarang?" tanya Aswa.

*Uhugh..!* *Uhugh..!*

Pendekar itu batuk darah. Lalu menggelengkan kepala tanda tidak tahu.

"Paling tidak tunjukkan kami di mana kamarnya," ujar Aswa.

Seorang pendekar lain yang sudah sangat terluka mendekati Aswa dengan mengesot. "Adik kecil, kau bisa mengikuti rekanku. Jika memang kau ingin menyelamatkan Nona Ning, segera selamatkan!" pinta pendekar itu yang tiba-tiba langsung tak sadarkan diri.

.....

Hanya ada tiga pendekar yang tersisa di ruangan itu. Satu orang pergi untuk memandu Aswa dan timnya ke kamar Ningtyas. Jalur yang mereka lewati lebih banyak dalam lorong sempit tempat pelarian. Sesekali mereka memasuki ruang keluarga dan dapur lalu kembali masuk ke dalam lorong rahasia. Rumah keluarga Pipit Ungu terlalu luas! Bak istana!

"Di sini!" seru pemandu tim.

*Duarrr!* 

Tanpa basa-basi Neo memalu pintu beton hingga membentuk satu lubang menganga. Sejauh ini Neo terus berkembang. Palu yang ia bawa seolah hanya seperti sapu lidi. Sangat ringan di tangan Neo!

Mereka lalu melalui ruangan sempit yang dipenuhi pakaian. "dari wangi ini... ini wangi Ningtyas!" pikir Jeon yang dengan secepatnya keluar dari ruangan tersebut.

Akhirnya mereka sampai di kamar Ningtyas setelah keluar dari lemari pakaian.

Setidaknya butuh waktu tiga puluh menit menuju kamar Ningtyas. Mengingat masih adanya beberapa pertarungan pendekar tingkat tinggi yang harus mereka hindari. Dengan kekuatan mereka yang rata-rata masih dalam Ranah Pikiran Hijau, hanya Godel yang hampir menyentuh tingkat Biru, untuk sementara ini tidak ada yang bisa mereka lakukan.

Mata seluruh tim melotot melihat adegan di depan mata mereka. 

 "Niiiiing.... tidaaak..." teriak Jeon.

Tidak pernah sekalipun Jeon berani membayangkan adegan yang saat ini terpampang di depannya. Walaupun kemungkinan itu tetap ada. Memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada Ningtyas, terus-terusan Jeon hindari. Ia memusatkan pikiran pada keyakinan akan pertolongan Tuhan untuk Ningtyas. Ningtyas pasti baik-baik saja. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil.

Apa yang terjadi saat ini pada Ningtyas membuktikan harapan Jeon dengan keinginan Tuhan bertolak belakang. Sebuah pisau menancap di perutnya!

Tubuh Ningtyas dipenuhi darah!

Beberapa sosok mayat wanita dan laki-laki terlihat di sana.

Jeon memeluk Ningtyas yang sudah tidak sadarkan diri di lantai. "Maafkan aku, Niiing..." kata Jeon sambil menangis sejadi-jadinya.

***

Next chapter