webnovel

Ch. 14 Rahasia Buku Resep Masakan

Godel mencekik leher Aswa untuk menyadarkannya. Aswa terlalu menikmati pemandangan vulgar ini hingga meneteskan air liur di bibir dan darah di hidung!

Dalam kondisi kelelahan Aswa tidak dapat menahan terpaan informasi dari alat sensornya! Artinya Aswa tidak dapat berpaling dari pemandangan yang tidak patut ia lihat secara normatif.

Aswa mengerti keadaan ini namun tetap membiarkannya terjadi. Dalam proses pemulihan tidak banyak yang bisa Aswa lakukan. 

Di antara Harta, Tahta, dan Wanita, kelemahan Aswa ada pada wanita. Walau masih perjaka, Aswa memiliki hasrat di bidang itu. 

Penyebab utama adalah kebiasaan Aswa membaca memungkinkan informasi yang tidak patut untuk dikonsumsi remaja menerpa dirinya. Disadari atau tidak efek informasi yang menerpa secara terus-menerus akan membesar.

Walaupun Aswa bisa saja menghindari informasi-informasi yang tidak layak ia terima, namun hasrat biologisnya adalah sesuatu yang belum bisa ia kelola dengan baik. Aswa sering kalah dengan libidonya. Hal ini jelas kelemahan terbesarnya. 

Beruntung ia mengetahui kelemahan tersebut. Sehingga ia terus berupaya meningkatkan kemampuan kognitifnya dengan memikirkan hal-hal yang jauh lebih penting. Aswa terus berupaya menyibukkan alam pikirannya agar tidak berfikiran negatif.

Namun dalam kondisi alam pikirannya yang lemah tidak ada yang perlu ia lakukan selain menikmati momen bonus ini.

Setelah menyapu darah dan air liur, Aswa masih memandang ke arah wanita seksi itu. Godel menggeleng lalu berkomentar, "Aswa, kau benar-benar mesum sejati. Aku bahkan tidak separah kau!"

Tanpa mengalihkan pandangannya, Aswa berkata kepada Godel, "Aku cuma remaja normal yang tidak bermoral. Menghindari pemandangan ini akan mengganggu proses penyembuhan ku."

Godel tidak terima dengan jawaban Aswa dan bertanya, "Coba kau jelaskan apa alasanmu memilih tempat duduk di depan wanita ini?"

Sepengetahuan Godel, Aswa yang memilih tempat duduk. Ini bukti sahih kalau Aswa benar-benar niat mengintip!

Dengan santai Aswa menjawab, "Sudah ku katakan sebelumnya, Aku tidak menghindari pemandangan ini karena aku tidak ingin mengganggu proses penyembuhan. Bagaimana jika kau melihat kesempatan ini lalu membiarkannya begitu saja? Namun akhirnya kamu menyesali keputusanmu sendiri dan tentu saja itu mengganggu."

"Ya, sudahlah... kita nikmati saja! Hehehe..." Godel tidak ingin menjawab pertanyaan Aswa yang sudah pasti jawabannya.

Libido tiap orang dapat dikatakan berbeda-beda tingkat pengaruhnya. Tergantung daya tahan orang tersebut dan ketertarikannya. Orang yang hanya memiliki satu ranah pikiran saja mengalami kesulitan saat membendung libidonya. Lantas, bagaimana dengan Aswa yang memiliki sembilan ranah pikiran?!

Hal ini memang mengganggu ranah pikiran karena merusak konsentrasi. Bagi mereka yang ingin meningkatkan kekuatan melalui ranah pikiran dituntut untuk menghindari hal-hal tersebut. Sehingga mereka berlaku taat pada norma yang mengatur hal-hal yang bersifat spiritual. Saat mereka melanggarnya, mereka harus kembali bertobat untuk membersihkan jiwanya.

Bagaimana dengan para penjahat yang selalu berhubungan dengan hal-hal yang berbau eksotisme? Jelasnya, libido bisa disalurkan atau dipuaskan. Setelah itu mereka bisa lebih berkonsentrasi pada ranah pikirannya tanpa terganggu hal-hal yang berbau duniawi. Walaupun tingkat kepuasan itu tidak sama antara satu orang dengan orang yang lain.

Tanpa terasa karena disibukkan oleh hal-hal yang mereka senangi, trio Aswa, Neo dan Godel telah sampai di halte yang mereka tuju.

"Pertamax!!!" Seruan dari Neo ini menandakan ia yang paling pertama turun bus.

"Keduax dan ketigax..." Neo menunjuk Aswa dan Godel yang sedang dihalangi kernet bus.

"Kalau tidak punya uang jangan naik bus ini!" Kata kernet bus 

Merasa tertekan, Godel berkelit, "Kami ini pelajar, bang! Biasanya kan gratis!"

Dengan wajah merah kernet bus membentak, "Gratis pakle mu ganteng! Baca ini, E.K.S.E.K.U.T.I.F! Kalau memang pelajar kalian pasti bisa baca!" 

"Abang mau bertarung? Ayok!" Kata Godel sambil mengepalkan tangannya. Bagi Godel, lebih baik mati daripada malu!

"Udah, Del! Biar aku yang urus!" Aswa menepuk pundak Godel. Sejurus kemudian mengeluarkan gadget yang ia miliki dan memberikannya kepada kernet bus.

Melihat adegan itu mulut Godel menganga sebelum mengatakan, "Hah... Uang digital, Wa? Kenapa gak dari tadi? Dasar pelit!" 

Kernet bus terlihat bingung karena bukan seperti itu cara pembayaran via gadget. Aswa lalu menjelaskan, "Masukkan barcode identitas anda di situ. Nanti orang tua saya yang akan menyelesaikan pembayaran."

Godel kembali menganga... Kali ini tidak ada kata-kata yang dapat ia ucapkan.

"Tidak ada jaminan seperti ini, mana bisa aku percaya!" Kernet bus semakin marah sambil mendorong dengan telunjuk kepala Aswa berulang-ulang.

"Baiklah, Anda ingin jaminan, bukan? Godel, kamu kerja di bus ini sampai hutang kita lunas, oke?" Selesai berkata-kata Aswa segera berlari menjauh dari bus.

Melihat Aswa kabur Godel ikut berlari. "Aswa bangsat! Cuiihh!"

"Anak setan! Kecoa buntung! Pemecah persatuan bangsa! ..." Kernet bus terus memaki hingga trio Aswa, Neo dan Godel tidak terlihat lagi.

.....

Setelah bebas dari kejadian tersebut mereka berjalan kaki menuju rumah pohon yang diceritakan Aswa.

Aswa berhenti di salah satu pohon dengan diameter 50 sentimeter dan berkata, "Kita sudah sampai. Ikuti aku."

Melihat pohon tanpa rumah di atasnya, Neo protes, "Ini hanya pohon! Mana rumahnya?"

"Sudahlah, ikut saja," kata Aswa.

Aswa mendaki pohon itu dengan cepat, diikuti Godel. Neo ikut mendaki pohon dengan malas. Ini jelas di luar ekspektasinya.

Di atas pohon ternyata ada jembatan yang terbuat dari anyaman kayu dan tali. Melihat jembatan itu Neo kembali bersemangat dan mencoba menjadi yang pertama menyeberang jembatan.

Jembatan menjadi sangat bergoyang saat Neo berlari di atasnya. Aswa dan Godel menghentikan niatnya menyeberang, menunggu jembatan kembali stabil.

Jembatan ini mengarah ke sebuah pohon yang menghubungkan jembatan ke pohon lainnya. Ada tiga jembatan yang harus mereka lalui sebelum mencapai rumah di atas pohon dengan luas 6x6 meter.

"Waaah... Ada televisi, konsol games, lemari es... Sejahtera mamen!" Kata-kata Neo mampu mendeskripsikan kondisi dalam rumah pohon.

Dari luar Godel menyembunyikan ketertarikannya setelah mendengar kata-kata Neo. Godel berkata dalam hatinya, "Punya rumah pohon beserta fasilitas, Aswa pasti orang kaya. Sedikit memanfaatkannya tidak menjadi masalah."

Neo melompat ke tanah setelah Godel dan Neo masuk ke rumah pohon. 

Godel melihat sekeliling ruangan, hanya ada bantal dan meja di sana. Dinding-dinding rumah pohon ditempeli baliho bergambar artis ibu kota, calon legislatif, televisi, konsol game  hingga kulkas.

Melihat wajah Godel yang kusam, Aswa bertanya, "Apa yang kau pikirkan? Tidak ada yang special di rumah ini."

Tidak ada yang lain selain bantal yang menarik perhatian Godel. Ia lalu mengambil bantal dan segera tidur. 

Aswa memandang ke arah jendela lalu sejenak merenung. Bagi Aswa hari ini benar-benar pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Memandang ke arah Godel, Aswa mulai memahami karakter Godel yang lebih memandang manfaat ketimbang persahabatan. Itu terbukti dengan tidak adanya kesedihan dalam diri Godel setelah melihat temannya tewas.

Pada dasarnya para penganut ideologi iblis memang seperti itu. Aswa pun kurang lebih sama. Mereka akan saling memanfaatkan selama masih bisa bermanfaat. Bahkan tidak menutup kemungkinan mengorbankan nyawa sesamanya.

Sekarang sudah pukul 10 malam. Aswa sudah sangat lelah hingga ia memutuskan menyusul Godel pergi tidur.

#Pukul 13.10 Rumah Pohon

Rasa lapar membangunkan Godel dari tidurnya. Lalu ia bergegas menuju meja yang kini telah tersedia masakan dan minuman di atasnya.

Saat makan Godel terlihat sangat beretika. Berdoa dan menyantap makanan tanpa ada suara yang tidak perlu.

Rasa lapar juga membangunkan Aswa. Melihat Godel sedang makan Aswa bertanya dalam hati, "Dari mana Godel mendapatkan makanan itu?" Aswa belum bisa mengkonfirmasinya. Belum lagi, di mana Neo? Aswa melihat ke sekeliling ruangan.

Sebelum beranjak dari bantal Aswa harus terlebih dahulu merasakan jejak ranah pikirannya yang sebelumnya tertutup.

*Cess*

Perasaan Aswa  campur aduk setelah delapan [Domain] pikirannya terbuka secara perlahan.

"Apa yang kamu tau dari buku ini, Wa?" Tanya Godel sambil menunjuk ke kepalanya sendiri saat Aswa menatapnya. Di hutan kemaren Godel melihat Aswa mengambil kesempatan membaca buku itu.

"Oh, sebentar..." Aswa mengambil sebotol air mineral lalu menghabiskannya dalam sekali minum.

Aswa duduk dekat dengan Godel menghadap meja makan. "Kau bisa mencapai puncak seni beladiri dengan buku  itu. Yang aku kagumi, cara penulis buku itu menjaga rahasia benar-benar brengsek..." Ujar Aswa sambil menyapu ujung bibirnya yang basah.

*Duk..!* 

Godel meninju kepala Aswa hingga terguling. 

Ia lalu meraih kerah Aswa dan berkata, "Penulis yang kau maksud adalah ibuku, bangsat!"

Aswa dan Godel saling membalas pukulan. Baik Godel maupun Aswa membiarkan tubuh mereka terkena pukulan tanpa upaya bertahan. Hal ini menyadarkan Godel bahwa sebenarnya Aswa tidak bermaksud menghina ibunya. 

Terlebih Aswa juga tidak tau siapa penulis buku tersebut. Walaupun memang setidaknya Aswa mencoba untuk mengkonfirmasi asal buku itu dari Godel tanpa menggunakan direct question.

Mencaci dalam pergaulan anak muda bisa diartikan sebagai suatu pujian. Mereka tidak segan untuk mengumpat guna menunjukkan ekspresi kekagumannya.

Setelah puas melancarkan pukulan, Godel duduk bersandar di dinding lalu berkata, "Yah, ku anggap pernyataan mu tadi sebagai pujian. Setelah ku pikir-pikir kau tak bermaksud menghina ibuku."

"Kalau otakmu masih bodoh seperti itu maka tidak ada tempat untuk mu di dunia iblis! Hahaha..." Kata Aswa sambil menyapu darah yang mengalir di hidungnya.

"Mari makan!" setelah salah paham dengan pernyataan Aswa, Godel mencoba bersikap sopan.

Aswa dan Godel lalu mendekat ke arah meja. Melihat makanan sebanyak ini Aswa sedikit kebingungan. Ia lalu bertanya, "Dari mana makanan ini kau dapat?"

"Dari meja ini lah…" Godel menjawab seadanya.

"Ah, sudahlah… " Aswa benar-benar lapar sehingga ia tidak berniat untuk mengajukan pertanyaan lain.

Selesai makan Aswa mulai menjelaskan sebagian dari apa yang ia persepsi dari buku itu. Jelas hanya sebagian dari yang ia pahami untuk menarik manfaat dirinya bagi Godel.

Hal ini penting untuk menjaga hubungan dengan orang yang memiliki sifat khianat seperti Godel. Bagi Aswa, Godel akan bermanfaat dalam upayanya menjaring kekuatan. Hal ini sudah ia putuskan sejak Godel mau berbisnis dengannya.

Aswa mulai menjelaskan, "Ada pengulangan kalimat 'membersihkan diri' dalam tiap resep masakan yang ibumu tulis. Dalam memasak, kebersihan diri memang penting bagi seorang koki. Tapi tidak harus diulangi setiap menerangkan resep masakan, bukan?"

Mendengar penjelasan Aswa, Godel tertarik untuk membuka Buku Resep Masakan milik ibunya. Lembar demi lembar ia buka dan menemui tips-tips memasak suatu menu masakan yang selalu diawali dengan membersihkan diri sebelum memasak.

Godel lalu teringat tentang masa anak-anaknya dulu yang selalu disuruh mandi sebelum makan. Wajah cantik ibunya terbayang saat berkata, "Badan yang bersih akan mencerminkan hati yang bersih. Walau kita dihina orang-orang sebagai keluarga iblis yang kotor, kita harus tetap menjaga hati kita agar tetap bersih. Salah satu caranya ya membiasakan diri membersihkan badan." Kata-kata ibunya ini membuatnya bergetar. Setelah ibunya tewas sebagai pejabat di Guild Cahaya, Godel selalu hidup kotor. Bukan hanya tubuhnya yang kotor karena jarang mandi, tetapi hatinya juga kotor!

Aswa melihat Godel meneteskan sedikit air mata! Walupun secepatnya Godel menundukkan kepala dan menghapusnya.

Kejadian ini menarik perhatian Aswa yang kemudian melanjutkan penjelasannya. "Hanya membaca sekilas tentu saja hanya sedikit yang aku pahami. Tapi yang jelas, urutan resep masakan itu merupakan jembatan untuk mencapai puncak seni bela diri yang mematikan! Contohnya pada resep pertama."

Seperti seorang murid, Godel membuka resep pertama pada buku itu.

"Pada resep pertama ibumu menerangkan cara memasak nasi bekepor. Istilah 'bekepor' berasal dari bahasa kutai. Sayangnya bahasa itu saat ini sudah tidak dilestarikan dan bisa dikatakan hilang seribu tahun silam. Padahal pengetahuan tentang arti istilah ini penting untuk memulai tahap membangun pondasi seni bela diri yang dijelaskan pada buku itu. Terkait rempah-rempah yang digunakan untuk disatukan dengan nasi, itu merupakan sebuah filosofi  yang bisa aku telaah lebih jauh. Namun lagi-lagi semua itu tidak bermanfaat tanpa mengetahui arti 'bekepor' itu sendiri."

Sambil menggaruk kepala, Godel menutup buku itu dengan wajah datar. "Jika demikian, hingga saat ini tidak ada seorang pun di Guild Cahaya yang dapat memahami buku ini. Itu sudah sangat bagus," kata Godel.

"Belum tentu." Aswa segera menyela.

"Maksudmu?" Godel mulai mengernyitkan dahi.

"Selama mereka menemukan orang yang memahami istilah itu, maka sangat mudah bagi mereka membuat pondasi dari resep pertama." Pernyataan Aswa ini adalah bentuk kehati-hatiannya. Kemungkinan makna konotasi dalam resep itu diketahui oleh orang-orang Guild Cahaya masih tetap ada. Jika diperlukan, mereka dapat mengkonfirmasinya.

Godel sedikit terkejut, lalu bertanya, "Apa yang harus kita lakukan?"

"Apa yang harus kita lakukan? Aku jelas belum memahami isi resep itu dengan hanya membaca sekilas. Kalau kau tertarik untuk menguak misterinya, biarkan aku ikut menganalisisnya. Manfaat bisa kita ambil bersama." Kata Aswa. Walaupun pada kenyataannya Aswa sudah hafal isi dalam buku itu!

Adapun pernyataan Aswa ini ditujukan untuk mengikat Godel agar tidak mencoba mengkhianatinya suatu saat nanti. Selama Aswa memegang tali yang diikat di leher Godel, maka Godel tidak akan berbuat macam-macam.

"Jadi apa yang harus kita lakukan?" Godel kembali bertanya.

"Jadi apa yang harus kita lakukan? Tentu saja kita harus mencari orang yang tau istilah itu!" Kata Aswa dengan nada menekan.

"Hahaha… aku tidak pernah melihatmu ngegas seperti itu…" Godel menyimpan buku resep ibunya ke ranah pikirannya dan berkata, "Selama kita belum menemukan jawaban, sebaiknya kita simpan dulu buku ini." Godel mulai berhati-hati dengan Aswa karena sudah menyadari ada maksud tersembunyi dari Aswa.

"Sebaiknya memang seperti itu… dalam bisnis kita harus memulainya dengan sikap tidak saling percaya. Bagaimana? Sepakat?" kata Aswa sambil mengulurkan tangan ke arah Godel.

Godel menggenggam tangan Aswa dan berkata, "Sepakat!"

*Nguiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing...!*

Tiba-tiba Aswa mendengar suara seperti sirene. Rasa pusing yang hebat menghinggapi otaknya!

"Wa?" Godel kebingungan dengan kondisi yang dialami Aswa.

Seketika Aswa terbaring tak sadarkan diri.

***

Next chapter