webnovel

Sekali Lagi, Terima Kasih Undian

"Sungguh kemenangan yang tidak terduga bukan begitu para penonton?" tanya pembawa acara dengan suara lantangnya.

"Tidak, tidak. Lebih tepatnya kemenangan yang komedi. Apa-apaan mereka menang dengan cara seperti itu," kata Yursa sambil menggebrak botol minumnya.

"Kurasa tidak komedi juga. Kau lihat perempuan itu bisa menggunakan puncak Verborumnya. Tidak semua orang bisa menggunakan itu. Itu seperti tingkat guru," kata Natur sambil memperbaiki sepatunya.

"Terserah saja. Bukannya semua orang harusnya bisa menggunakan puncak Verborum?" tanya Yursa sambil mengkorek-korek telinga kirinya.

"Memang kau bisa?" tanya Natur dengan nada meremehkan.

"Bisa. Lihat nih, 'tunduklah pada-'"

"Shhh ..., iya aku percaya," kata Natur sambil menutup mulutnya.

"Lebih baik kita melihat kelas selanjutnya."

Papan undian yang berada diatas langit mulai mengundi kelas selanjutnya siapa yang saling bertanding. Sementara itu, Weka baru balik dari luar turnamen untuk membeli 'Pocky'. Sempat-sempatnya dia membeli makanan. Setidaknya tidak separah Dien yang bolos.

"Kelas XI-4 melawan XI-3 ..., bukannya itu kalian," kata Yursa sambil menunjuk Natur dan Lusia.

"Sial," kesal Natur sambil menepuk mukanya.

Natur dan Lusia langsung menghilang daru tempat dudukunya, begitupun dengan anak-anak kelas XI-4 dan XI-3. Arena turnamen tersebut tidak berubah, berarti pertandingan ini langsung bermain kekuatan dan kerja sama. Tidak seperti sebelumnya yang seperti labirin. Meskipun ujung-ujungnya dihancurkan oleh mereka. Kalian tahukan siapa?

"Jadi ini rasanya turnamen? Menarik. Bukan begitu, Lusia?" kata Natur sambil menyenggol pundak Lusia dengna sikutnya. "Tetapi apakah yakin kita bisa menang melawan mereka. Lihat teman-teman kita," kata dia sambil melihat ke arah teman-temannya. "Para berandal yang tidak bisa diajak kerja sama."

"Selama mereka pengguna Verborum kita tetap bisa melawan mereka," kata Lusia dengan tenang.

"Yah ..., tunggu yang kau maksud mereka atau XI-4?"

'DAAAR!!!'

Suara ledakkan bola api yang ditembakan ke atas pertanda pertandingan dimulai. Natur dan Lusia masih memikirkan apa yang akan mereka lakukan, sementara teman sekelasnya langsung maju tanpa memikirkan apapun. Natur mencoba membantu mereka, tetapi Lusia menghalangi badannya dengan tangan kirinya sambil melihat dia dan menggelengkan kepala yang membuat Natur tidak jadi maju untuk membantu mereka. Mereka berdua hanya melihat mereka maju seperti babi yang buta. Atau mereka memang buta?

Dari jauh, mereka melihat Wage mulai memainkan biolanya. Lelaki berkacamata dan berbadan kurus ini membuat indra mereka menjadi kacau. Beberapa dari mereka kakinya ada yang lumpuh, ada juga yang jadi buta sesaat, ada juga yang terjatuh karena telinganya terganggu. Laki-laki yang menggunakan topi polisi yang bernama Kuri ini langsung mengangkat mereka dengan Verborum telekinesisnya dan membuang mereka keluar arena. Mereka hanya memerlukan dua orang. Oh ya, mereka termasuk kelas 'top' jadi hanya memerlukan tiga orang.

"Itu ..., sungguh cepat kurasa," kata Natur dengan kebingungan. "Mereka 'top' kan?"

Lusia hanya menganggukkan kepalanya.

"Mau maju atau mundur?" tanya Natur.

Lusia langsung membunyikan jari-jari tangannya. "Akan kutunjukan berandal sebenarnya," kata dia sambil berjalan ke arah mereka.

"Hah?"

Lusia yang awalnya berjalan, lama-lama semakin cepat hingga berlari. Kuri mencoba menggunakan Verborum padanya, tetapi tidak terjadi apa-apa. Wage pun mencoba hal yang sama, tetapi tidak terjadi apa-apa. Turun tanganlah Zardi, laki-laki yang mengenakan kalung lidah berwarna oranye. Dia mulai mengurung Lusia dengan keempat gerbangnya. Gerbang kuning yang berada di sisi kanan Lusia mulai mengeluarkan muka monster dengan gigi yang tajam. Monster tersebut berbentuk seperti badak, tetapi tanpa kulit. Bola matanya juga tidak ada. Lalu gerbang berwarna merah di sisi kiri Lusia mulai mengeluarkan tangan seperti tangan manusia, tetapi tanpa kulit. Lalu di belakang Lusia muncul gerbang berwarna ungu mulai mengeluarkan kaki kepiting yang seluruh kulitnya mengeluarkan cacing-cacing yang menggeliat. Lalu di depan Lusia muncul gerbang berwarna hitam yang mengeluarkan ekor pari yang sangat panjang berwarna hitam pekat. Gerbang raksasa ini mengeluarkan mereka yang berukuran raksasa juga. Mukan monster tersebut mulai menggigit Lusia, tetapi Lusia terus maju menembus gerbang berwarna hitam yang ada di depannya. Ekor monster tersebut mencoba untuk mencambuk Lusia, tetapi Lusia dengan cepat menghindari cambukkan tersebut dengan melompat dan berlari ke arah samping gerbang hitam tersebut sehingga dia bisa keluar dari kurungan gerbang-gerbang Zardi.

"Mustahil," kata Zardi melihat Lusia berlari dan melompat ke arah dia. Lusia mencoba menendang Zardi, tetapi berhasil ditangkis oleh Zardi.

"Apa Verborum kau?" kata Kuri dengan kesal.

Lusia tetap maju menyerang Zardi tanpa mempedulikan mereka berdua. Zardi terus menahan, tetapi tangannya tidak kuat karena pukulan Lusia sangat kuat. Lusia kemudian menhempaskan tangannya ke atas tangkisan Zardi sehingga tangkisan Zardi lepas. Lusia langsung menendang dadanya yang membaut Zardi terjatuh. Zardi yang terjatuh sudah tidak bisa menahan pukulan Lusia. Bisa dilihat tangan Zardi sudah berwarna ungu. Lusia menumpah Zardi dengan badannya, kemudian memukul mukanya terus, terus, terus ,dan terus hingga wajah Zardi babak belur. Monster-monster gerbang tadi mencoba untuk menyerang Lusia, tetapi Lusia tidak peduli. Serangan monster tersebut tidak berpengaruh pada Lusia. Lusia kemudian berhenti dan berdiri dengan darah bercucuran di kedua tangannya. Beberapa cipratan darah mengenai mukanya.

"Ada lagi?" tanya Lusia sambil tersenyum sadis.

Para penonton, Wage, Kuri, dan Natur langsung terdiam kaget melihat kesadisan Lusia. Wage dan Kuri langsung mempersiapkan senjatanya. Aku tidak tahu mengapa mereka berdua tidak membantu Zardi ketika dia disiksa oleh Lusia. Apakah karena mereka terlalu kaget atau gimana?

Wage mempersiapkan 'bow' biolanya yang terlihat tajam, sedangkan Kuri mengeluarkan golok dengan senjata api di tangan kirinya. Kurasa itu 'handgun'. Mereka mulai berjalan mengitari Lusia untuk mencari celah. Mereka setelah menemukan celah langsung maju menerjang Lusia, tetapi terjadi ledakkan di dekat Lusia sehingga membuat mereka terpental.

"Bertarung tidak ngajak-ngajak," kata Natur sambil terbang dengan topan di bawah kakinya.

Wage dan Kuri merasa kebingungan, apakah mereka harus menggunakan Verborum atau tidak. Munculnya Natur membuat mereka harus berpencar. Wage melawan Lusia, sedangkan Kuri melawan Natur.

"Menarik," kata Kuri sambil menembakkan senjata apinya ke arah Natur, tetapi peluru tersebut di hempaskan oleh angin Natur.

"Telekinesis melawan alam? Waraskah anda?" ejek Natur.

"Kita lihat saja," kata Kuri sambil terus menembakan senjata apinya. Sudah berapa kali dia mengisi ulang senjatanya. Lima kali kayaknya sampai. Natur memanjangkan tanah yang ada di bawahnya seperti pilar untuk melindungi badannya. Dia hanya berdiam di situ hingga akhirnya terdengar ledakkan yang menghancurkan beberapa bagian pilarnya.

"Bagaimana kau bisa membawa senjata apai?" tanya Natur dengan kaget.

"Apapun bisa terjadi di tempat terpencil ini, nak," balasnya.

Kuri akhirnya kehabisan semua peluru senjata apinya. Peluru-peluru yang dai tembakan muali bercecearn di tanah. Kurasa ada lebih dari puluhan. Aku rasa Natur tahu bahwa Kuri tidak bisa mengendalikan batu yang dia kendalikan. Sudah terbukti Natur lebih unggul dalam segi pengendalian. Kuri mulai maju menerjang Natur, tetapi badannya terhantam oleh batu yang Natur kendalikan dari bawah.

"Hati-hati, tanjakan ada dimana-mana," ejek Natur.

Kuri terpental ke atas, tetapi dia berhasil mengendalikan badannya dengan Verborum miliknya. Mereka berdua terbang di udara. Dari sinilah terjadinya perang udara. Sungguh menarik. Kuri mulai melihat ke arah peluru yang berceceran di bawah tanah. Dengan cepat dia langsung mengendalikan peluru-peluru tersebut dengan kekuatan penuh untuk diluncurkan ke arah Natur. Peluru tersebut lebih cepat dibandingkan dengan senjata api. Natur dengan cepat mengangkat salah satu tanah yang dia kendalikan. Kurasa ada tujuh tanah melayang yang melindungi Natur. Karena tanah tersebut melindungi sekaligus menghalangi Natur, Kuri langsung mengambil granatnya, membuka pinnya, dan melempar granat tersbut dengan cepat dengan Verborumnya. Ledakkan tersebut cukup membuat Natur terpental jatuh ke tanah. Kuri langsung mendekati Natur yang terjatuh, tetapi Kuri lupa bahwa Natur lebih bahaya dalam pertarungan jarak dekat. Natur langsung merentangkan tangannya dan menutup tangannya sehingga kedua batu yang dia kendalikan menghimpit badan Kuri dengan sangat kencang. Kuri yang terhimpit mulai dilemparkan oleh Natur keluar arena, tetapi gagal.

Mereka berdua kelelahan. Mereka terus berdiam di tempat untuk menentukan gerakan yang tepat. Satu kesalahan bisa membuat mereka kalah.

Kuri mengelap mulutnya dengan tangannya. "Bergeraklah sesuai keinginanku," kata Kuri sambil merapalkan frasanya dibalik tangannya yang sedang mengelap mulutnya yang berdarah. Semua benda di sekitarnya hingga radius dimana Natur berdiri, mulai terangkat termasuk tanah yang dimiliki oleh Natur. Kuri mulai menghantam semua benda yang dia angkat ke arah Natur yang terangkat tinggi. Arena ini cukup besar, jadi tidak sampai pada pertarungan Wage dan Lusia. Natur terkurung oleh benda-benda Kuri. Para penonton mulai menganggap bahwa Natur sudah tidak sadarkan diri.

"Semua alam tunduk dihadapanku," kata Natur sambil mengucapkan frasanya. Frasa tersebut sepertinya sangat kuat hingga Kuri bisa mendengarnya dari bawah, meskipun Natur terkurung di tumpukkan benda-benda yang lumayan besar dan banyak. Benda-benda yang mengurung Natur langsung meleleh. Dia arena, bahkan di luar arenah mulai turun hujan. Tanaman-tanaman mulai muncul di luar arena. Semua orang melihat kejadian ini seperti keajaiban alam. Natur hanya terbang di atas mereka dengan guntur-guntur yang menyambar arena kecuali Natur itu sendiri. Dia mengarahkan menutup semua jari pada tangan kanannya kecuali telunjuk dan jempolnya. "Hukum dia!" perintah Natur. TIba-tiba tanah retak hingga membuat kaki Kuri terjerumus ke dalam tanah. Angin dingin mulai mengitari tubuh Kuri yang nantinya membuat pillar es yang secara instan mejulang ke atas sehingga membuat Kuri membeku di dalam pillar tersebut. Lalu dengan cepat petir-petir dengan magma di sekelilingnya menyambar pilar es tersebut membuat pilar tersebut hancur. Secara logika badan Kuri pun harusnya hancur, tetapi terdapat sebuah pelindung berwarna hitam melindungi dia. Kuras itu sistem keamanan ketika terjadi kekuatan yang bisa membunuh seseorang. Pantas saja di arena ini keluarkan semua kemampuan itu harus dilakukan.

"Lusia, kuserahkan sisanya padamu!" perintah Natur sambil duduk di samping badan Kuri yang sudah tidak sadarkan diri. "Pertarungan yang bagus," kata Natur sambil menyentil hidung Kuri.

"Temanmu hebat juga," kata Wage sambil menebas Lusia.

Lusia tidak membalas. Dia hanya terus menghindara tebasan Wage yang membahayakan. Lusia akhirnya menemukan kesempatan untuk menyerang. Dia langsung menyerang kepalanya dengan tangan kanannya, tetapi berhasil Wage hindari. Pukulan Lusia membuat tanah tersebut retak hingga tangan dia masuk ke dalam.

"Kau ini apa?" tanya Wage melihat kengerian yang dia lawan. yang tidak terpengaruh oleh Verborumnya. Wage terus berpikir untuk mengalahkannya hingga akhirnya dia terpikirkan untuk menggunakan puncak Verborumnya. Dia mulai mengambil biola dari pundaknya. Menendang Lusia sehingga memberikan jarak untuk merapalkan frasanya. "Cacatlah bersama laguku," rapal Frasa Wage.

Lusia langsung terjatuh seperti semua badannya tidak bisa digerakan. Wage mencoba mendekatinya, tetapi di dalam dirinya terdapat keraguan. Wage mulai menyentuh badan Lusia yang terbaring dengan 'bownya'. Badan Lusia tidak bergerak. Wage kemudian mencoba menyeret dia keluar arena.

"Aah, kurasa tipe pengontrol adalah kelemahanmu," kata Natur.

"Warna di dunia ini hanya merah," rapal frasa Lusia yang membuat Wage melepas tangannya dari Lusia. Wage langsung mundur kebelakang mempersiapkan senjatanya. Tiba-tiba semua pandangan menjadi merah semerah darah. Bukan hanya Wage saja, tetapi Natur bahkan semua penonton. Lusia mulai berdiri seperti mayat hidup yang baru bangkit.

Wage mencoba memainkan biolanya. "Mengapa Verborumku tidak berfungsi?" tanya Wage dengan kebingungan sekaligus panik.

"Apa kau pernah mendengar yang namanya Anti-Verborum?" kata Lusia dengan suara yang mengerikan dan sadis. "Apa kau juga pernah mendengar yang namanya kegilaan?" tanya Lusia lagi sambil berjalan pelan ke arah Wage. Wage dengan ketakutan menebas Lusia secara membabi buta dengan senjatanya, tetapi tidak berefek apa-apa. Lusia langsung mencekik leher Wage dan mengangkatnya seolah-olah boneka. Lusia menghantam badan Wage ke tanah, menimpa badannya dan memukul mukanya. Para penonton langsung ketakutan dan mencoba untuk menghentikan pertarungan, sementara Natur hanya melihat dia tanpa bisa berbuat apa-apa karena tenaganya habis. Bahkan sistem pelindung hitam itu tidak bisa melindungi Wage.

Tiba-tiba semua arena tertutup oleh kicauan gagak yang sungguh berisik. Terdapat lingkaran berbentuk seperti bintang bercampur dengan gambar bunga anyelir. Muncul tangan-tangan berwarna abu-abu dengan pinggiran berwarna merah. Muncul perempuan dari tengah lingkaran tersebut. Dia adalah guru pindahan baru yang menjadi wali kelas XI-3. Dia berjalan ke arah Lusia yang daritadi memukuli Wage. Dia mengangkat kepala Lusia yang membuat Lusia berhenti memukuli Wage. Dia kemudian memeluk Lusia yang diikuti oleh tangan-tangan aneh tersebut. Lusia pun langsung berhenti dengan air mata mengalir dari matanya.

Aku tidak heran semua penonton langsung terkejut. Guru tersebut mulai merangkul Wage dan Lusia seolah-olah mereka lumpuh. Dia berbalik badan dan melihat ke arah Natur dari kejauhan. Dia mengendalikan tangan yang aneh tersebut untuk menunjuk Zardi dan Kuri yang tidak sadarkan diri. Natur yang mengerti langsung memberikan salam hormat menggunakan tangan kanannya.

Yursa melhat Weka dan sebaliknya. "Kukira dia berandal biasa," kata Yursa sambil mengambil 'pocky' milik Weka yang tidak habis-habis karena pertarungan yang intens tadi.

"Dia ..., sadis," kata Weka sambil memukul tangan Yursa yang terus-menersu mengambil 'pocky' miliknya.

Next chapter