9 Bagian 9. Rosa, ibu pengganti

Pagi itu, menjadi hari terakhir bagi Eirlys dan Raja untuk melihat wajah Ratu. Ratu dikuburkan di pemakaman tanpa berselimutkan salju -- tempat itu berada di hutan pinus. Semua rakyat menyaksikan prosesi pemakaman yang diiringi isak tangis.

Sejak pulang dari pemakaman, Raja menjadi lebih diam dan mengurungkan diri di kamar. Eirlys memahami perasaan ayahnya itu. Menuntunnya untuk mengganti posisi ayahnya. Hal itu dibicarakannya pada Alexa saat berada di kamarnya.

"Aku akan memimpin kerajaan ini untuk sementara waktu karena ayah sedang berduka. Bagaimana menurutmu, Paman?" tanya Eirlys duduk di pinggir ranjang, berhadapan dengan Alexa.

Alexa berdiri, tersenyum. "Menurutku, itu bagus, Putri. Tapi, apakah kau sudah membicarakannya pada ayahmu?"

"Belum."

"Sebaiknya kau beritahu dulu pada ayahmu."

"Tapi, sepertinya, ayah tidak bisa diganggu."

"Begitu, ya?"

Alexa memegang dagu dengan tangan kanannya. Pria berambut pirang itu sedang berpikir untuk mengatasi permasalahan kepemimpinan itu. Eirlys menunggu jawabannya dengan sabar.

"Biar aku yang membicarakannya pada ayahmu," kata Alexa tersenyum lagi, "dia adalah kakakku, tentu dia mau mendengarkanku."

"Baiklah, aku serahkan semuanya pada Paman," sahut Eirlys mengangguk.

"Kalau begitu, aku permisi dulu, Putri."

Alexa sedikit membungkuk seraya menyilangkan tangan kanan di dadanya. Memberi hormat pada Eirlys dan melangkah keluar dari sana. Bersamaan itu, seorang wanita berambut hitam dan bermata cokelat masuk. Alexa beradu pandang dengannya sekilas saja di ambang pintu yang terbuka lebar.

Pelayan pribadi Eirlys, Rosa, berjalan mendekati Eirlys. Dia meletakkan baki yang berisikan semangkuk sup daging dan teh hangat di nakas di samping tempat tidur. Senyuman muncul di wajahnya yang masih muda, tetapi keningnya dan bagian bawah matanya, sedikit dihiasi keriput.

"Ini makan siang untuk anda, Putri," ujar Rosa dengan mata yang melembut.

"Aku tidak lapar, Bibi Rosa," balas Eirlys menggeleng cepat.

"Kenapa?"

"Aku mengkhawatirkan keadaan ayah. Dia tidak makan sejak pagi hingga sekarang. Mungkin karena masih bersedih."

"Oh, tapi, jika kau tidak makan, nanti kau sakit, sayang. Ayo, makan! Mau Bibi suapi?"

"Tidak usah. Aku bisa makan sendiri."

"Tidak ada apa-apa, sayang. Karena kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri."

Rosa tersenyum lembut. Dia mengambil piring dan mengaduk sup itu dengan sendok agar bumbunya yang tergenang dalam air, tercampur rata. Eirlys terpaksa menerima niat baik Rosa itu. Senyuman seindah pelangi terpatri di wajah putri sematawayang sang Raja.

Rosa menyuapi Eirlys dengan penuh kasih sayang. Perlakuannya yang hangat, mengingatkan Eirlys pada sosok mendiang ibu. Eirlys hendak menangis, tetapi ditahannya agar tidak mencemaskan Rosa.

"Sudah habis. Nah, begitu. Putri harus tetap makan dan minum walaupun apa yang terjadi," ungkap Rosa seraya meletakkan gelas kosong ke meja, "kita boleh bersedih karena kehilangan seseorang yang telah tiada, tetapi jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Itu tidak baik, bisa menyiksa batin orang yang telah meninggal itu sehingga dia sulit untuk lepas dari dunia ini."

Eirlys mengangguk dengan kedua netra meredup. "Aku tahu itu, Bi. Tapi, sepertinya ayahku yang sulit melepaskan kepergian ibu. Lalu bagaimana caranya agar ayah kembali bersikap biasa tanpa ada ibu?"

"Caranya ... mencari pengganti ibumu."

"Hah?"

Mata Eirlys nyaris terbelalak keluar saking kaget. Mulutnya terbuka lebar. Ekspresi Rosa yang dilihatnya, sangat serius.

"Ma ... maksud Bibi, ayah menikah lagi?" tanya Eirlys. Jantungnya berdegup kencang, tidak bisa membayangkan jika ayah memiliki istri baru.

"Iya. Itu solusi terbaiknya," jawab Rosa mengangguk cepat.

"Itu tidak mungkin. Ayah bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta secepatnya. Ibu saja butuh bertahun-tahun menaklukkan hati ayah, barulah mereka menikah di umur dua puluh lima tahun."

"Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Ayahmu yang baru saja kehilangan ibumu, pasti merasa kesepian. Tentu dia harus memiliki pendamping hidup baru, untuk mengisi kekosongan hatinya. Kau tenang saja dengan masalah itu. Ibu tiri itu tidak kejam, justru sebaik ibu kandung."

"Aku tidak keberatan jika memiliki ibu tiri. Tapi, sulit menemukan wanita yang baik seperti ibu untuk ayah. Aku tidak mengenal wanita manapun kecuali Bibi sendiri."

"Seandainya, Bibi menjadi ibumu, apakah kau akan menerima Bibi?"

Rosa menatap wajah Eirlys lekat-lekat. Mengharapkan Eirlys menjadi anaknya. Hati Eirlys tersentuh karena kebaikan Rosa selama delapan tahun ini.

"Aku mau Bibi menjadi ibuku." Eirlys tersenyum.

Rosa tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, anakku."

Eirlys mengangguk. Dirinya dipeluk erat oleh Rosa. Air mata berlinang di dua pipi Eirlys seiring Eirlys memejamkan mata.

Ibu, pasti ibu mendengar suaraku. Aku harap ibu hidup tenang di alam sana. Tolong hibur ayah meskipun hanya dalam mimpi.

Eirlys membatin. Bibirnya melengkung, membentuk senyuman manis.

***

Rad termenung saat seisi kelas satu persatu keluar karena jam istirahat sudah selesai. Dia tidak ingin memandang Joyce lagi, berusaha melupakan Joyce demi orang tua angkatnya. Menekan hatinya bahwa masih ada gadis lain yang menunggunya di luar sana.

Joyce yang giliran memandang Rad sejak awal pelajaran dimulai, merasakan hati yang pedih. Sesungguhnya dia masih mencintai Rad, tetapi ada Axel yang berdiri di antara dirinya dan Rad. Axel bagai gunting tajam yang telah memotong benang merah milik Joyce yang seharusnya terhubung dengan Rad.

"Rad, maafkan aku," bisik Joyce tatkala berdiri di depan kelas. Dia tidak menyadari kedatangan Axel yang mendekatinya.

"Joy, kau kenapa?" tanya Axel yang membuyarkan lamunan Joyce.

"Ah, oh. Axel, kau rupanya. Lihat, aku sudah membawakan bekal untukmu."

Axel tersenyum riang ketika Joyce menyodorkan kotak yang terbungkuskan kain merah. Dia menerima bungkusan itu dengan jiwa yang bernyanyi.

"Terima kasih, Joy. Kau perhatian sekali padaku," ucap Axel memegang bungkusan itu dengan kedua tangannya.

"Ayo, kita makan di taman saja!" seru Joyce langsung menarik tangan Axel. Mereka keluar meninggalkan Rad. Rad sempat mengamati mereka, merasakan pilu yang belum berakhir.

"Kau benar-benar sudah berubah, Joy," gumam Rad. Dia mengeluarkan kotak bekal yang dipersiapkan Margarita dan makan sendirian di kelas.

Semua orang di sekolah itu, sudah tahu bahwa Axel akan bertunangan dengan Joyce. Hal itu membuat beberapa gadis yang menyukai Rad, merasa senang karena memiliki kesempatan untuk mendapatkan Rad. Sebelumnya, mereka tahu Rad sempat berpacaran dengan Joyce.

Salah satu gadis yang menyukai Rad itu adalah siswi SMP kelas tiga, bernama Amora Carolanne Hoshea. Dulu, dia pernah tinggal di panti asuhan yang sama dengan Rad, karena insiden kebakaran panti asuhan, menyebabkan dia dan teman-temannya terlunta-lunta di jalanan. Hingga akhirnya bernasib baik seperti Rad yakni menjadi anak keluarga bangsawan.

Karena satu atap, para murid SD, SMP, dan SMA, bercampur baur sehingga mereka boleh sesuka hati mengunjungi gedung sekolah masing-masing. Hal itu dimanfaatkan Amora dan gadis-gadis SMP lain untuk mencari Rad ke gedung SMA yang sangat besar. Hanya Amora sendiri yang menemukan Rad di kelas.

Tentu saja Rad mengenali Amora. Dia tidak terkejut saat Amora datang menghampirinya.

"Hai, Kak Rad. Maaf, mengganggumu," sapa Amora berdiri di dekat meja milik Rad.

"Hai, Amora," balas Rad tersenyum dan menghentikan kegiatan makan sebentar, "ada apa sehingga kau mencariku kemari?"

"Itu, Kak. Ada sesuatu yang ingin kuungkapkan pada Kakak sekarang."

"Katakan saja sekarang."

"Anu ... i ... itu...."

Amora bersikap malu-malu kucing. Gadis berambut merah yang diikat kepang udang itu, melirik ke arah lain. Jantungnya kembang-kempis, seakan ingin meledak karena harus jujur pada Rad.

"Kakak, masih ingat saat masih kecil dulu? Itu ... Kakak pernah melindungiku saat anak-anak nakal itu menggangguku. Kakak sangat keren!" Amora memegang kedua pipinya yang memerah dengan kedua pipinya. Gadis periang itu tersenyum lebar saat membayangkan masa kecilnya bersama Rad.

"Oh, aku ingat. Memangnya kenapa?" Rad mengangguk, memerhatikan Amora dengan teliti.

"Aku kagum pada Kakak. Karena itu, aku merasa bahagia saat bersama Kakak selama di panti asuhan. Terima kasih, lalu aku sangat menyukai Kakak dan ingin menjadi pacar Kakak."

Amora berhasil mengeluarkan isi hatinya selama ini. Rad yang mendengarkan, terkesiap. Matanya melebar, senyuman datar terpatri di wajahnya.

"Aku menghargai perasaanmu itu, Amora. Tapi, maaf, aku tidak bisa menerima cinta lain untuk saat ini." Suara Rad terdengar lirih, sangat menyentuh hati Amora.

Amora menyipitkan mata iba. "Aku tahu karena hubungan Kakak dan Joyce sudah berakhir. Kakak pasti sedang berusaha melupakan Joyce, 'kan?"

"Ya."

"Pasti sangat sulit melupakannya."

"Iya. Tapi, aku yakin aku bisa melupakannya."

Rad tersenyum, berusaha menutupi keperihan yang dirasakannya. Amora juga tersenyum, merasakan jiwanya yang menangis karena penolakan Rad. Namun, dia akan menunggu, siapa tahu Rad akan membuka hati untuknya.

"Itu bagus, Kak. Aku mendukung Kakak supaya bisa mendapatkan cinta baru. Oh ya, apa kita tetap berteman seperti biasa?" tutur Amora dengan wajah berseri-seri.

"Ya, kita tetap berteman," sahut Rad mengangguk cepat.

"Kalau begitu, aku menemani Kakak di sini. Boleh, 'kan?"

"Boleh."

Rad mengangguk lagi. Amora duduk di bangku Joyce, dan berbicara tentang apa saja dengan Rad. Di dalam lubuk hati masing-masing, telah tertanam suatu tujuan.

***

avataravatar
Next chapter