8 Bagian 8. Kematian

Margarita melepaskan gandengan tangannya dari tangan Ogan. Mereka duduk berdekatan di tepi ranjang. Keadaan hening di kamar itu, terusik dengan suara Margarita.

"Kau tidak apa-apa, 'kan, sayang?" tanya Margarita bermuka khawatir saat memegang bahu Ogan.

"Aku tidak apa-apa. Hanya merasa lemas dan sakit kepala sekarang," jawab Ogan memegang pelipisnya.

"Baru kali ini, aku melihat kau marah seperti itu. Aku sampai kaget."

"Oh ya? Sebenarnya aku tidak bermaksud memarahi Rad. Tapi, dia telah melanggar laranganku, tentu membuatku emosi. Kau tahu, marah itu tidak menyenangkan. Kau tidak pernah kumarahi, tentu bagaimana rasanya di posisi Rad, 'kan?"

"Aku tahu rasanya itu. Karena aku juga pernah dimarahi Ayah saat terlambat pulang. Tapi, Ayah pernah sampai menamparku."

"Ayahmu memang terlalu keras padamu."

"Ya, dia melakukan itu agar aku menjadi anak yang lebih baik."

Margarita bergelayut di lengan kanan Ogan. Kepalanya bersandar di bahu Ogan. Memejamkan mata. Bayang wajah orang tuanya muncul di alam pikirannya.

Ogan tersenyum seraya melirik Margarita, wanita yang setia padanya selama dua puluh dua tahun. Tapi, mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk merawat anak kandung sendiri. Karena ada sesuatu yang fatal terjadi pada Margarita.

"Sayang," ucap Ogan dengan nada yang lembut.

"Ya, kenapa?" tanya Margarita tetap memejamkan matanya.

"Apakah kau berpikir ingin merawat bayi yang baru lahir?"

"Ya. Apakah kau berpikiran yang sama denganku?"

"Iya. Aku ingin tahu bagaimana rasanya mengurus bayi. Selama ini, kita hanya mengurus Rad sejak berumur tujuh tahun. Apa lagi umur kita tidak muda lagi, lalu kau tidak mungkin hamil."

"Aku tahu apa yang kau inginkan."

"Apa?"

Margarita membuka matanya dan melepaskan kedua tangannya dari lengan kanan Ogan. Dia memegang kedua pipi Ogan. Menatap netra biru itu sedalam mungkin.

"Kau menginginkan anak lagi. Tapi, karena umur kita sudah seperti ini, lebih cocok menggendong cucu, 'kan?" tanya Margarita tersenyum lebar.

Ogan sedikit melebarkan mata, lalu mengangguk cepat. "Benar. Cucu. Jika Rad menikah, tentu dia memiliki anak. Kita bisa merawat cucu kita sama-sama."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mencari jodoh untuk Rad?"

"Kita tidak perlu melakukan itu. Biarkan Rad menemukan jodohnya sendiri."

"Tapi, jika kita biarkan, Rad tidak akan bisa melupakan Joyce. Dia sekelas dengan Joyce, 'kan?"

"Iya. Aku yakin Rad bisa melupakan Joyce. Kau tenang saja, sayang."

"Aku tidak bisa tenang sebelum Rad menemukan gadis pengganti Joyce."

"Kalau begitu, mari kita berdoa supaya Tuhan mengirim gadis yang baik dan setia pada Rad."

"Ayo, kita berdoa sekarang!"

Ogan mengangguk. Dia dan Margarita menunduk sambil mengatupkan jari-jari. Berharap penuh pada Tuhan.

***

Acara makan malam berlangsung di istana di kota Eiristophia. Keluarga besar Raja menikmati hidangan yang dibuat oleh koki kepercayaan. Keceriaan yang berlangsung, tiba-tiba dikejutkan dengan Ratu yang tumbang dari kursi.

"Ibu!" teriak Eirlys, yang duduk bersisian dengan Ratu, spontan berlutut di dekat Ratu.

"Istriku, kau kenapa?" tanya Raja bermuka panik, meletakkan kepala Ratu di dua pahanya. Dia melihat mulut Ratu berbusa banyak. Dalam sekejap, tubuh Ratu membiru.

Semua orang terdiri dari pelayan dan penjaga, berkumpul mengelilingi Raja dan Eirlys yang sedang mencemaskan Ratu. Ada seorang pria berambut pirang dan berpakaian serba hijau, memeriksa keadaan Ratu. Dia alchemist sekaligus pengawal Eirlys, Alexandria Frezenhait Winter.

"Alexa, apa yang terjadi pada istriku?" tanya Raja dengan berlinangan air mata.

"Maaf, Kak," jawab Alexa menggeleng kuat dengan wajah sedih, "Istrimu diracun. Racun itu sudah menyebar dengan cepat ke seluruh tubuhnya. Dia ... tidak bisa diselamatkan lagi."

"Tidak! Ibu tidak meninggal!" pekik Eirlys melotot. Suaranya yang sangat keras, melengking di ruang makan itu.

"Istriku, Nalda...."

Nalda Frezenhait Winter, sosok istri dan ibu yang cantik, kini telah pergi jauh meninggalkan dunia ini. Isak tangis mewarnai tempat itu kecuali ada dua orang yang tersenyum bahagia. Wajah dua orang itu terlihat karena terselimuti kegelapan.

Raja yang diliputi kesedihan, mendapatkan bisikan dari Alexa. Sehingga menyulut emosinya saat itu. Spontan, suaranya meledak, menggelegar sampai mengejutkan orang yang dipanggilnya.

"Kepala koki!" Raja berseru lantang. Orang yang dimaksud datang mendekatinya ketika kerumunan memberinya celah.

"Ya, Paduka Raja." Kepala Koki menunduk hormat.

"Siapa yang membuat makanan untuk Ratu tadi?"

"O ... orang yang membuatnya ... adalah dia."

Kepala Koki menunjuk orang yang berdiri di antara keramaian. Telunjuknya bergetar takut, bertepatan koki yang ditunjuknya, berjalan pelan dan berdiri di sampingnya.

"Saya yang membuat sup daging untuk Ratu hari ini, Paduka Raja," ungkap wanita berambut cokelat itu.

"Berarti kau yang telah meracuni istriku!" bentak Raja dengan tampang yang mengeras.

"Bu ... bukan saya!"

"Pengawal! Tangkap dia dan jebloskan dia ke penjara!"

"Baiklah, Paduka!" Dua pengawal yang berdiri di dekat Raja, mengangguk patuh. Mereka memegang kedua tangan koki wanita itu.

Wanita tua itu meronta-ronta saat diseret kasar oleh dua prajurit. Dia berteriak, memohon Raja membebaskannya. Namun, Raja tidak memedulikannya, lebih fokus mengurus jasad istrinya yang tidak bernyawa lagi.

Raja dan Eirlys sama-sama terpukul. Mereka tidak bisa merelakan kepergian Ratu, tetapi mereka harus merelakan Ratu dibawa oleh para prajurit dengan menggunakan tandu. Sekujur tubuh Ratu yang kaku dan dingin, ditutupi kain. Prosesi pemakamannya akan dilakukan besok pagi.

Atas permintaan Raja, Ratu dibaringkan di tempat tidur di kamar. Para pengawal meninggalkannya bersama Eirlys. Kesunyian menghampiri tatkala pintu kamar ditutup oleh satu pengawal. Lalu suara Eirlys memecahkan kesenyapan itu.

"Ayah," kata Eirlys menyeka air matanya dengan dua tangannya, "maafkan aku karena aku tidak memenuhi permintaan Ayah yang menginginkan aku segera menikah. Aku tidak menduga kejadian ini menimpa kita. Ibu telah meninggalkan kita untuk selamanya. Dia tidak akan pernah bisa melihatku memakai gaun pengantin."

Raja yang duduk di samping mayat istrinya, menatap wajah Eirlys dengan lirih. "Kau tidak ada salah apa-apa, putriku. Kau berhak menentukan hidupmu sendiri. Lalu penuhilah harapan terakhir ibumu itu."

"Harapan terakhir ibu?"

"Apa kau ingat cerita ibumu tentang kalung yang kau pakai itu?"

Raja menunjuk kalung yang tersembunyi di balik gaun Eirlys. Eirlys mengangguk pelan.

"Aku ingat, Ayah. Tapi, aku tidak boleh keluar dari kerajaan sebelum menemukan pangeranku yang sesungguhnya," ucap Eirlys dengan mata yang berkaca-kaca.

"Itu memang benar. Tapi, jika kau mengalami keadaan genting, larilah ke hutan. Kau akan menemukan desa elf yang tersembunyi di sana. Para elf menyimpan kunci untuk membuka pintu gerbang perbatasan antara kerajaan Winter dan kerajaan Summer. Mintalah kunci itu, lalu pergilah ke kerajaan Summer," tutur Raja berekspresi hampa.

"Kerajaan Summer itu masih ada? Kukira sudah runtuh karena perang itu."

"Kerajaan Summer masih ada, tidak pernah ikut berperang. Mereka terlindungi oleh barier yang diciptakan pahlawan itu. Pahlawan yang telah menghentikan monster itu."

Raja bercerita tentang pahlawan yang diketahui Eirlys dari buku. Eirlys mendengarkan dengan serius. Mereka berbincang-bincang untuk meredakan rasa kesedihan. Berharap bisa melepaskan Ratu yang sudah tiba di dunia sebenarnya.

***

avataravatar
Next chapter