7 Bagian 7. Sakit hati

"Sampai nanti, Papa!" seru Rad dengan suara yang keras. Dia keluar dari mobil, langsung berlari masuk ke pintu gerbang sekolah.

"Ya, sampai nanti, Rad!" balas Ogan dari dalam mobil. Dia melihat Rad lewat pintu jendela kabin depan yang sedikit terbuka. Keningnya mengerut karena Rad begitu bersemangat untuk pergi ke sekolah lebih awal.

Bisakah kau membayangkan jam berapa Rad tiba di sekolah? Jam enam pagi, padahal jam masuk dimulai pada pukul delapan, tetapi ada sesuatu hal yang membuat Rad tidak sabar ingin pergi ke sekolah.

Ogan tersenyum karena merasa Rad mulai jatuh cinta. Tapi, dia tidak tahu gadis mana yang telah membuat hati Rad berbunga-bunga. Rasa penasaran memenuhi benaknya. Ingin mencari tahu siapakah gadis itu. Tapi, ada tugas penting yang harus dikerjakan, menuntun Ogan untuk tancap gas.

Mobil yang dikendarai Ogan melaju di jalanan sepi. Kegelapan masih menyelimuti, tetapi masih ada cahaya fajar yang tampak di langit. Lampu-lampu jalanan juga masih menyala, menemani perjalanan Ogan menuju rumah.

Tentu sekolah masih lengang. Hanya Rad yang baru datang. Dia memasuki gedung khusus SMA, berlari menyusuri lorong demi lorong hingga sampai di kelasnya yang berada di lantai empat.

Rad meletakkan tas ke meja dan duduk seraya mengeluarkan sebuah buku tebal yang merupakan buku yang ditulisnya sendiri. Buku yang berisikan materi pelajaran selama di kelas dua belas. Dia membaca buku itu sebentar untuk mengusir kebosanan.

Jam bulat yang terpasang di dinding, tepatnya di belakang kelas, selalu dipandangi Rad ketika berhenti membaca. Buku dimasukkan kembali ke tasnya. Rad meneliti setiap pergerakan jarum panjang yang melewati detik dan menit. Dia tahu jam berapa Joyce biasanya datang ke sekolah.

"Pukul setengah enam lewat lima belas menit, Joyce sudah ada di sini," kata Rad pada dirinya sendiri. Telinganya yang tajam, mampu menangkap suara langkah kaki yang menggema keras dari luar kelas. Senyuman lebar menghiasi wajah Rad yang cerah.

Joyce memang datang. Gadis berambut cokelat terang sebahu itu memasuki kelas, terkesiap dengan kehadiran Rad.

"Selamat pagi, Joy!" sapa Rad bangkit berdiri dan berjalan mendekati Joyce.

Joyce berdiri di ambang pintu, matanya terbelalak. "Rad, kau?"

"Kenapa? Kau kaget karena aku datang cepat, ya?"

"Ya. Biasanya kau datang sebelum lima menit bel masuk berbunyi."

"Kali ini, aku berusaha menjadi orang yang terbaik untukmu, Joy."

"Untuk apa kau melakukan itu?"

"Karena aku mencintaimu. Lalu...."

Perkataan Rad terpotong karena kedatangan Axel. Axel berdiri di belakang Joyce. Joyce sedikit terkejut saat tangan Axel memegang kedua bahunya. Axel berbisik ke telinganya.

"Katakan yang sebenarnya. Jangan ditutupi lagi." Axel menyipitkan kedua matanya.

Joyce melebarkan matanya lagi, kemudian mengangguk pelan. Dia menatap mata biru Rad dalam-dalam. Mata itu bersinar terang, ada cinta yang kuat untuknya, tetapi hal itu tidak bisa dipertahankannya lagi.

Dengan berat hati, Joyce melepaskan rasa sesak di dadanya. Netranya sayu. Napasnya terasa tidak mau keluar. Air mata tertahankan, berganti topeng kepalsuan yang menutupi wajahnya.

"Rad, ada hal penting yang ingin kuberitahu padamu sekarang," ucap Joyce dengan alis yang menukik tajam.

"Apa itu?" tanya Rad mengerutkan keningnya.

"Rad, aku ... aku dan Axel akan segera bertunangan. Jadi, kita akhiri hubungan kita hari ini. Aku ... lebih memilih Axel atas pilihan orang tuaku."

Sunyi. Rad membulatkan mata sempurna. Mulutnya terbuka lebar. Bergeming. Hatinya bergetar seakan hancur bagai kaca yang dipecahkan dengan kepalan tangan. Pedih. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya senyuman tipis yang ditunjukkan Rad.

"Oh, begitu. Itu bagus. Pilihan orang tuamu memang yang terbaik. Selamat untuk kalian berdua, Joy dan Pangeran," ujar Rad tetap tersenyum sambil berjalan mundur, "aku menghargai keputusanmu, Joy. Terima kasih karena kau mencintaiku dan aku bahagia bisa menjalin hubungan lebih dari teman denganmu hanya dua hari ini saja."

Usai itu, Rad berjalan cepat meraih tasnya di meja dan berlari keluar kelas. Joyce hendak mengejarnya, tetapi tangan gadis itu ditahan oleh Axel.

"Lepaskan aku, Axel!" seru Joyce dengan emosi yang meningkat tajam lagi.

"Kau masih tetap bebal juga? Ingat orang tuamu!" hardik Axel dengan suara yang keras.

"Tapi, kasihan Rad! Kau juga tidak kasihan padanya?"

"Aku kasihan, tetapi aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menghiburnya."

"Andai kau mau merelakan aku untuk Rad, tetapi kau tetap memaksaku untuk menerimamu!"

"Aku mencintaimu, Joy! Tentu aku akan berusaha mendapatkanmu!"

"Kau tetap tidak berubah!"

Terjadi perdebatan antara Axel dan Joyce. Suara mereka menggema. Tidak ada yang mau mengalah. Sama-sama bersikap keras kepala.

Sementara itu, Rad berlari tidak tentu arah. Air mata telah bercucuran di dua pipinya. Jiwanya ringkih, merasakan luka yang telah mengiris lubuk hati terdalamnya. Kakinya terasa tidak kuat untuk diayunkan, akhirnya tubuhnya roboh di dekat sebuah pohon yang ada di halaman depan sekolah.

Tas milik Rad tergeletak lunglai di samping Rad yang berlutut di tanah berlapis rerumputan. Kepalanya tertunduk. Tubuhnya bergetar kuat. Perasaan amarah, benci, sedih, dan kecewa, bercampur menjadi satu perasaan yang membuat Rad meninju tanah beberapa kali.

"Joy telah memutuskanku! Pangeran juga berkhianat, telah merebut kekasihku! Tuhan, kenapa aku harus mengalami kejadian ini? Aku harus kehilangan orang kucintai secepat ini juga!" Rad menangis. Dia tetap meninju tanah berulang kali untuk menghibur dirinya sendiri.

Matahari datang menyebarkan cahaya kehangatannya ke sebagian dunia. Dia terperangah saat melihat Rad, lalu menyentuh kulit Rad dengan sinarnya. Turut sedih, merasakan jiwa Rad yang membutuhkan sandaran.

Sebelum orang-orang datang ke sekolah, Rad memutuskan pergi ke tempat yang menurutnya bisa menenangkan dirinya. Rad berjalan lambat bersama kesedihan yang tetap menyertainya di sepanjang trotoar.

***

Mobil Ogan berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Mata birunya menelusuri setiap wajah yang keluar dari pintu gerbang. Lama menunggu. Kesabaran tetap diuji. Hati yang resah, menuntun Ogan untuk keluar dari mobil.

Tidak ada telepon genggam di dunia itu. Jika kau menghubungi seseorang yang sangat jauh, biasanya melalui surat yang dikirim langsung oleh merpati pos. Hal itu berlaku di kerajaan Summer. Karena itu, Ogan tidak mengetahui bahwa Rad tidak bersekolah.

Orang-orang sudah pulang, tetapi masih ada yang tetap berkumpul di sekolah. Biasanya mereka yang berkumpul, memilih meminjam buku atau sekedar membaca di perpustakaan. Hal itu dimanfaatkan mereka untuk mengisi waktu luang sebelum pulang ke rumah.

Ogan yang berdiri di dekat pintu gerbang, bertanya pada orang-orang melewatinya. "Maaf, permisi. Apa kalian mengenal Rad Ramos Aldebaria?"

Para remaja perempuan berstatus pelajar SMP, mengangguk cepat. Salah satu dari mereka, menjawab, "ya, kami mengenalnya."

"Apa kalian melihat dia di sekolahnya?"

"Tidak, Paman."

"Baiklah, terima kasih."

"Sama-sama."

Rombongan gadis SMP itu pergi meninggalkan Ogan. Ogan melanjutkan penyelidikannya dengan bertanya setiap orang yang ditemuinya, tetapi tidak ada yang mengetahui keberadaan Rad. Hingga Ogan mencari sampai ke seluruh sudut sekolah dan bertemu dengan salah satu guru di lorong sunyi.

"Permisi, Tuan. Apakah anda melihat Rad Ramos Aldebaria?" tanya Ogan pada guru laki-laki yang berpakaian seperti orang kantoran.

"Oh. Rad, ya? Kata temannya, dia izin karena merasa tidak enak badan. Apa anda tidak mengetahui anak anda sedang sakit?" jawab guru itu seraya memegang kacamatanya.

"Aku baru mengetahuinya sekarang. Kalau begitu, terima kasih. Saya permisi dulu, Tuan."

"Ya, sama-sama."

Ogan berlari cepat melewati lorong. Guru tadi sempat memerhatikannya, lalu melanjutkan perjalanan ke arah Ogan pergi tadi. Ogan keluar dari sekolah. Mengebutkan mobilnya karena diserang kecemasan tingkat tinggi.

"Mungkin Rad sudah tiba di rumah. Aku harus memastikan keadaannya baik-baik saja," gumam Ogan. Naluri sebagai ayah, menuntunnya untuk fokus menyetir. Tidak peduli dengan apa yang terjadi padanya, asalkan bisa bertemu dengan Rad secepatnya.

Butuh beberapa menit, Ogan sampai di rumahnya. Mobil berhenti mendadak dan nyaris mengenai tanaman hias saat Ogan mengeremnya. Ogan cepat keluar dari mobil dan berlari memasuki rumah sambil berteriak sehingga mengejutkan semua orang.

"Rad!" seru Ogan berdiri di pintu berdaun dua yang terbuka lebar. Memerhatikan semua pelayan yang ada di hadapannya. "Apakah Rad sudah pulang?"

Annie datang dari arah dapur. "Rad belum pulang, Tuan."

"Apa?"

"Memangnya ada apa, sayang?" tanya Margarita muncul di balik tubuh Annie.

"Rad tidak bersekolah hari ini karena sakit. Kata gurunya, ada teman Rad yang mengizinkan Rad agar tidak dianggap bolos. Jika Rad belum pulang, berarti dia ada di mana?"

Semua orang ribut. Setiap wajah diliputi kecemasan. Margarita yang lebih khawatir, berjalan mendekati Ogan.

"Jangan-jangan Rad pingsan di jalan saat mencoba pulang ke sini dengan berjalan kaki," tutur Margarita memegang tangan Ogan, "kita harus mencarinya sekarang juga, sayang."

"Ya, ayo!" balas Ogan mengangguk. Dia menarik Margarita, tetapi saat hendak keluar, tiba-tiba muncul sosok yang dicari.

Rad pulang dengan keadaan yang kacau balau. Rambutnya kusut. Wajahnya kusam. Matanya sayu. Pakaiannya berantakan. Tas bergantung di bahu kanannya. Tubuhnya seperti tidak bertenaga.

"Rad!" teriak Margarita spontan memeluk Rad erat sekali, "kau darimana saja, nak? Kami semua mencemaskanmu."

Rad tidak menjawab, tetapi hanya senyuman lemah yang terukir di wajahnya. Ogan memerhatikannya saksama, merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada diri Rad.

"Rad, kau kenapa?" kata Ogan memegang bahu Rad.

"Tidak ada apa-apa, Papa," tukas Rad tersenyum.

"Kau tidak sakit." Margarita menempelkan punggung tangannya di dahi dan leher Rad. "Tapi, kenapa kau pergi dari sekolah? Kau punya masalah di sekolah, ya?"

"Tidak ada masalah di sekolah, Mama."

"Jangan ditutupi. Kau cerita saja pada kami. Selama ini kau selalu berterus terang pada kami, 'kan? Karena itu, biar hatimu lega, ungkapkanlah masalahmu sekarang. Kami sebagai orang tuamu, akan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalahmu itu."

Ogan memegang pucuk rambut Rad. Rad menunduk, menghelakan napas panjang. Berusaha mengeluarkan segala keresahan yang dirasakannya.

"Baiklah, aku minta maaf, aku memang pergi sebelum bel masuk berbunyi. Itu karena ada sesuatu yang terjadi di kelasku." Rad tidak berani menatap wajah kedua orang tua angkatnya. "Aku telah dikhianati oleh sahabatku sendiri. Pangeran Axel telah merebut kekasihku sehingga kekasihku memutuskan aku. Mereka akan bertunangan sebentar lagi. Padahal aku berniat memberikan kalung itu untuk kekasihku, akhirnya tidak jadi kuberikan."

Semua orang yang mendengarkan curahan hati Rad, merasa iba. Ogan dan Margarita saling pandang, mencoba menahan diri agar tidak menangis. Sampai Ogan bertanya, "siapa kekasihmu itu?"

Jantung Rad tersentak, tetapi Rad harus memberitahukannya. "Dia ... anaknya Tuan Caprio Mia Castellanos."

Saat itu juga, mata Ogan melebar. Alisnya menukik naik. Wajahnya mengeras. Suara yang biasa lembut, kini terdengar sangat menyakitkan hati Rad.

"Kau sudah melanggar larangan Papa! Papa tidak menyangka kau telah berbohong selama ini! Ternyata kau berteman dengan anak musuh Papa, dan malah mencintainya! Papa tidak setuju kau mencintainya! Lupakan dia sekarang juga!"

Emosi Ogan meledak ganas. Semua orang terkejut karena baru melihat Ogan semarah itu. Tidak ada yang berani berkomentar. Hanya suara Ogan yang terdengar.

Rad tetap menunduk. Kupingnya takut mendengar bentakan Ogan. Margarita mendekap lengan Rad erat, menunjukkan muka tidak nyaman. Ogan tetap marah, dan menasehati Rad.

"Cuma karena gadis itu, kau jadi seperti ini? Rad, kau begitu lemah pada satu cinta! Ingat, nak, masih ada satu bintang lain yang bersinar lebih terang di langit, dibanding bintang-bintang lain. Itu berarti masih ada satu gadis yang akan menjadi pengganti Joyce." Suara Ogan kembali lembut. Dia tidak tega dengan keadaan Rad yang tampak memprihatinkan.

Rad hanya mengangguk. "Maaf."

"Jangan bersedih. Papa tidak suka melihatmu seperti ini."

Mata Ogan meredup. Dia menepuk-nepuk bahu Rad dengan pelan. Rad tidak tahan lagi menahan rasa sakit di hatinya, langsung merangkul pinggang Ogan. Menangis lagi.

"Tidak apa-apa. Laki-laki boleh menangis karena bersedih," ungkap Ogan mengelus rambut Rad.

Margarita ikut menangis dan memeluk kedua pria yang sangat disayanginya. Momen haru membiru itu juga menular pada semua pelayan. Isak tangis mewarnai suasana sore di mansion itu.

Perasaan Rad menjadi lega. Kini dia berada di kamarnya dan duduk di pinggir ranjang. Tas terbaring di sampingnya.

Rad mengeluarkan sesuatu dari saku celana panjangnya. Sesuatu yang berkilauan. Sebuah kalung yang terbuat dari emas berbentuk daun blueberry.

"Kalung ini tidak ditakdirkan untuk Joyce, tetapi untuk gadis lain," gumam Rad menatap kalung yang berayun di genggaman tangan kanannya, "tapi apakah aku bisa melupakan Joyce?"

Rad memejamkan matanya, meremas seluruh kalung itu. Perasaan benci muncul saat teringat perkataan Joyce.

"Rad, aku ... aku dan Axel akan segera bertunangan. Jadi, kita akhiri hubungan kita hari ini. Aku ... lebih memilih Axel atas pilihan orang tuaku."

Axel dan Joyce adalah dua orang yang telah masuk dalam daftar hitam di pikirannya. Mereka tidak pantas didekati lagi. Rad bertekad tidak akan menghiraukan mereka saat bersekolah besok.

"Aku harus bangkit dan tetap akan menjadi Rad yang seperti biasa."

Rad memakai kalung itu. Perasaannya menjadi lebih baik karena teringat orang yang telah memberikan kalung itu padanya. Orang yang telah berjasa merawatnya sejak bayi.

"Ibu Yuka, terima kasih karena sudah memberiku kalung ini."

Ucapan Yuka saat menitipkan kalung itu pada Rad, masih terngiang di telinga Rad. Tapi, Rad belum bisa menepati janjinya pada Yuka. Bayang wajah Yuka yang tersenyum, memenuhi ruang otaknya.

Yuka, ibu pemilik panti asuhan, kini telah tiada. Namanya yang tertinggal di jiwa setiap anak asuhnya, terutama Rad.

***

avataravatar
Next chapter