6 Bagian 6. Di antara Axel dan Joyce

Joyce keluar dari mobil yang berhenti di sebuah mansion. Mansion yang berhalaman seluas lapangan sepakbola. Banyak tanaman hias yang tersebar rapi di sisi-sisi jalan lebar yang memotong halaman. Pohon-pohon Maple juga berdiri kokoh di sana, berfungsi sebagai peneduh.

Saat Joyce masuk ke mansion. Dia disambut oleh beberapa pelayan yang memberi hormat ala bangsawan padanya. Langkahnya terhenti saat bertemu dengan ibunya.

"Joy, kita bicara sebentar," kata Paloma Mia Castellanos berwajah serius. Dia adalah wanita berambut cokelat terang panjang, cukup mirip dengan Joyce.

"Ada apa, Ibu?" tanya Joyce mengerutkan keningnya.

"Apa kau masih dekat dengan anaknya Tuan Breogan?"

"Oh. Soal itu, aku tidak pernah dekat lagi dengannya."

"Syukurlah. Kau mau menuruti Ibu. Lalu ada satu hal yang harus kau ketahui sekarang."

"Apa itu?"

"Kau akan segera menikah dengan Pangeran Axel."

Mata Joyce melebar. Mulutnya sedikit ternganga. Syok. Dengan cepat, kepalanya menggeleng.

"Kenapa mendadak begitu? Aku masih sekolah, belum mau menikah cepat. Lagipula aku tidak mencintai Axel," tolak Joyce dengan suara sedikit keras.

"Kalian tidak menikah sekarang, tetapi setelah tamat sekolah. Tentunya kalian bertunangan dulu. Urusan cinta, soal belakangan. Jalani hubungan ini dulu untuk menyelamatkan hidup Raja," sahut Paloma dengan tenang.

"Raja hanya sakit biasa. Kenapa aku yang harus menyelamatkannya?"

"Itu memang benar. Tapi, Raja dan keluarganya akan datang melamarmu malam ini. Mau tidak mau, kau harus menyambut kedatangan mereka."

"Baiklah. Aku menerima permintaan Ibu."

Joyce mengangguk pelan, terpaksa menuruti ibunya. Hatinya bimbang, harus memberitahukan hal ini pada Rad secepatnya. Langkahnya gontai saat beranjak melewati Paloma.

"Aku ke kamar dulu," lanjut Joyce menunduk.

"Ya. Ibu juga pergi ke tempat ayahmu," balas Paloma yang berjalan keluar rumah.

Joyce menoleh, melihat Paloma yang sudah tidak ada lagi di hadapannya. Netranya sayu. Dadanya sesak. Wajahnya diliputi kesuraman.

"Rad, bagaimana dengan hubungan kita yang baru dimulai ini? Kau pasti terkejut mendengar kebenaran ini," gumam Joyce. Dia segera menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Di rumah keluarga Aldebaria, Rad sedang menulis semua materi pelajaran yang diserapnya hari ini di halaman buku yang kosong. Sudah banyak buku yang ditulisnya sejak mulai dari kelas satu hingga kelas dua belas. Buku-buku itu digabung menjadi satu buku dan terpajang rapi di lemari besar yang terletak di samping meja belajar miliknya.

Senyuman bahagia selalu terkembang di muka Rad yang semringah. Rad tidak sabar ingin bertemu dengan Joyce besok. Berpikir ingin memberikan sesuatu untuk Joyce sebagai tanda cinta. Tapi, apa? Rad tidak berhenti memikirkannya selagi menulis.

"Kata Papa, gadis itu suka dengan bunga, cokelat, puisi, boneka, dan sesuatu yang manis. Aku pernah memberikan semua itu pada Joyce, tetapi Joyce tidak menyukainya. Joyce memang gadis yang beda. Hmmm...."

Rad memegang dagu dengan tangan kanannya. Celangak-celinguk untuk mencari sesuatu yang memancing otaknya untuk menentukan pilihan hadiah terbaik. Lalu matanya tertancap pada lukisan buah blueberry yang pernah dibuatnya saat SD. Lukisan itu tertempel di dinding bercat kuning.

Rad memandang lukisan blueberry itu dengan saksama. Matanya melebar. Senyuman terukir lagi di parasnya.

"Aku tahu!" Rad bangkit dan menghentikan kegiatan menulis. Dia berlari keluar dari kamar. Berteriak memanggil ibunya. "Mama!"

Margarita sedang ada di kamar, bersama Ogan. Dia sedang melipat pakaian, dan Ogan sedang membantunya untuk memasukkan pakaian terlipat ke lemari. Margarita keluar dari kamar. Melongokkan kepalanya dari pintu yang sedikit terbuka.

"Ada apa, Rad?" tanya Margarita. Dia tetap awet muda, meskipun sudah berusia lima puluh tahunan.

"Ma, apa aku bisa minta tolong?" jawab Rad yang balik bertanya.

"Minta tolong apa?"

Rad memberitahukan apa yang dipikirkannya. Margarita manggut-manggut mengerti, tersenyum.

"Baiklah. Tunggu sebentar. Ogan sayang, aku mau bicara denganmu!" seru Margarita berjalan mendekati Ogan.

"Ada apa?" Giliran Ogan yang bertanya. Dia mendengar apa yang diminta Margarita. Matanya membulat sempurna saat melihat Rad.

Wajah Rad memerah karena malu. Dia hanya tersenyum lebar sehingga gigi-gigi putihnya terlihat.

***

Joyce menghelakan napas berkali-kali saat duduk berhadapan dengan keluarga Axel di ruang tamu. Raja dan Ratu berbicara dengan orang tuanya mengenai hari pernikahan itu. Axel yang duduk di antara orang tuanya, memerhatikan Joyce dalam diam.

"Pertunangan antara anak-anak kita akan diadakan dua minggu lagi," ucap Brandon Aal Summer. Pria berambut hitam itu bersikap tenang. "Lalu pernikahan mereka, dimulai setelah mereka diwisuda."

"Kami setuju saja, Paduka Raja," sahut Caprio Mia Castellanos. Pria berambut hitam keperakan itu, mengangguk.

"Bagaimana denganmu, Joy?" tanya Paloma memegang bahu Joyce yang duduk di antara dirinya dan Caprio.

"Terserah kalian saja," sahut Joyce mengangguk.

"Baguslah."

Paloma tersenyum. Mata jingga gelapnya tertuju pada Raja, Ratu, dan Axel. Axel menampilkan senyum yang memikat. Joyce yang melihatnya, langsung membuang muka.

Percakapan antara keluarga Castellanos dan Summer tetap berlanjut. Kini Axel dan Joyce yang berkesempatan untuk berbicara di taman depan rumah. Mereka duduk berjauhan di bangku kayu bercat putih.

"Tampaknya kau tidak menyukaiku, Joy," kata Axel memandang lurus ke depan, "karena di hatimu, cuma ada Rad, 'kan?"

"Kau sudah tahu itu. Kenapa kau tidak menolak permintaan ayahmu yang ingin menjodohkan kita? Padahal ayahmu cuma sakit demam biasa," tukas Joyce menunjukkan muka garang dengan mata yang melotot.

"Karena ... aku mencintaimu, Joy."

Perkataan Axel membuat Joyce terperanjat. Mata Joyce membulat sempurna. Mulutnya terbuka lebar. Situasi ini sangat membingungkannya. Kedua tangannya terkepal kuat. Merasakan tubuhnya sedikit melemah.

"Ternyata pertemanan itu adalah siasat untuk menjodohkan kita seperti ini. Tapi, aku tidak mencintaimu, Axel. Laki-laki yang kucintai, cuma Rad saja. Kau tidak bisa memaksaku untuk mencintaimu," terang Joyce menunduk, tidak berani bertatapan dengan Axel.

"Aku tidak akan memaksamu. Tapi, aku akan menunggumu sampai kau melupakan Rad. Ini sudah takdir, aku tidak bisa menentang permintaan ayahku yang menginginkan aku menikahimu. Karena syarat menjadi Raja Summer harus memiliki permaisuri."

"Aku tidak bisa melupakan Rad! Apalagi memutuskan hubungan kami!"

Emosi Joyce meluap-luap bagai lahar yang keluar dari puncak gunung berapi. Napasnya tersengal-sengal. Dadanya naik-turun. Tenaganya turun drastis.

"Joy, jangan marah!" Axel bergeser duduk dan merangkul bahu Joyce dari samping.

"Lepaskan aku!" Joyce meronta-ronta dalam dekapan Axel.

"Tenangkan dirimu. Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Tapi, jika kau masih bebal begini, keluargamu yang akan lebih marah padamu karena mengetahui hubungan dirimu yang sebenarnya dengan Rad. Jalan terbaik cuma ada satu. Maafkan atas kelancanganku. Kau ... harus mengakhiri hubunganmu dengan Rad," tutur Axel panjang lebar.

"Itu tidak bisa. Kami baru sehari ini berpacaran!" sanggah Joyce dengan intonasi yang keras.

"Kau harus melakukannya! Ini demi kebaikan orang tuamu! Kau tidak mau membuat mereka sedih, 'kan?"

"Aku tidak mau mereka sedih."

"Kalau begitu, utamakan orang tuamu daripada urusan pribadimu."

Kata-kata Axel mampu membius jiwa Joyce yang gundah. Joyce mengangguk pelan. Terpaksa lagi menerima kehadiran Axel di kehidupannya. Axel memeluknya erat, tersenyum.

Hati Joyce yang panas perlahan mendingin. Dia terdiam dalam kurungan kedua tangan Axel. Netranya yang menutup, terbayang wajah Rad.

Rad, maafkan aku, batin Joyce. Suaranya menggema di kesenyapan malam yang begitu dingin.

***

avataravatar
Next chapter